Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Puji syukur untuk sang raja

Ulang tahun raja bhumipol adulyadej ke-60 dirayakan secara besar-besaran. seluruh rakyat ikut merayakan. bhumipol dikenal sangat dekat dengan rakyat dan taat beribadat. bhumipol mempunyai hak istimewa.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA desa itu hanya menatap taifa la-ong prabat, debu di bawah kaki sang raja. "Desa kami kekurangan air," ujarnya lirih, dengan kaki bersimpuh dan tangan menyembah. Maka, Bhumibol Adulyadej mengajaknya berdiskusi sampai tiga jam, sebelum melanjutkan peninjauan ke hamparan sawah Desa Muno, satu dari ratusan desa yang dikunjunginya sejak ia berkuasa 39 tahun silam. Seperti bisa diduga, beberapa bulan kemudian Desa Muno mendapat jatah proyek irigasi. Inilah anugerah raja, yang tak henti menelusuri keprihatinan rakyatnya. Dalam upaya yang tak kenal lelah untuk selalu dekat dengan rakyat, Bhumibol menempuh perjalanan 48 ribu km, selama delapan bulan tiap tahunnya. Rakyat mengenal Bhumibol sebagai raja yang murah hati. Demi rakyat, ia tak pernah segan mengorek kocek pribadi. "Saya mencintai Raja karena membawa air ke desa kami," ujar Ja Phu, 40 tahun, petani dari Desa Ang Khan. Berkat santunan Raja, desa ini memiliki bendungan berkapasitas 75.000 m3. Tanpa uluran tangan Raja, Desa Ang Khan, Desa Muno, dan desa-desa lainnya belum tentu beroleh sarana yang mereka butuhkan. Adalah wajar jika Sabtu pekan lalu, giliran rakyat Muangthai membalas budi rajanya. Di hari itu, 5 Desember 1987, Sri Baginda Bhumibol Adulyadej, yang bergelar Raja Rama ke-9 Dinasti Chakri, merayakan ulang tahunnya ke-60. Rakyat tumplek di kuil-kuil seantero Muangthai, mendoakan kesejahteraan dan menyanyikan tembang sanjung pula. Raja Bhumibol, beserta seluruh keluarga kerajaan, siap menanti di balairung istana. Sebuah upacara puncak disiapkan di sana. Saat itu tiga abdi puncak kerajaan -- PM Prem Tinsulanonda, Ketua Parlemen Ukrit Mongkolnavin, dan Hakim Agung Chamras Khemacharu -- menyerahkan air suci kepada Raja, yang dibawa sendiri dalam pawai akbar dari Wat Sudhat Thepvanaram, tak jauh dari pusat pemerintahan Bangkok. Perayaan ulang tahun raja Bhumibol tahun ini memang punya makna tersendiri. Usia 60, menurut orang Thai, adalah saat ketika seseorang mencapai puncak kedewasaan dan kebijaksanaan. Mereka percaya, kesempurnaan hidup diukur dari jumlah putaran hidup -- satu putaran 12 tahun yang sudah dilewati. Puncaknya adalah putaran kelima, jatuh pada usia 60 tahun. Bahkan Kongres AS tak ketinggalan ikut mengucapkan selamat, Jumat lalu, seraya menghentikan sidang yang riuh dengan masalah defisit dan pertemuan puncak Reagan-Gorbachev. Perayaan ulang tahun Bhumibol sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun ini. Rakyat mengadakan pawai akbar, upacara tradisional, dan upacara militer. Dengan itu mereka menunjukkan kesetiaan, di samping keakraban. Semua ini sungguh menakjubkan. Apalagi kalau mengingat nasib para raja dari negara tetangganya. Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan Pangeran Souvanapong dari Laos, misalnya, tak hanya kehilangan takhta, tapi juga terpaksa mengungsi dari negerinya. Muangthai sendiri tidak sepi dari pergolakan politik. Selama 40 tahun terakhir, negeri itu sudah 13 kali diguncang kudeta. Toh kerajaan masih tetap berdiri. Rahasianya? Raja dilimpahi hak mutlak oleh seluruh rakyatnya untuk mengatasi krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa. Inilah hak istimewa yang sangat jarang dipakai, sejak berlakunya undang-undang kerajaan konstitusional tahun 1932. Sejak naik takhta, 39 tahun lalu, Bhumibol baru dua kali memakai hak istimewa itu. Sukses. Ia berhasil membendung banjir darah rakyat Thai. Peristiwa pertama tahun 1973, ketika mahasiswa melancarkan demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan militer. Waktu itu PM Jenderai Thanom Kittikachorn kalap, lalu memerintahkan tentara membabat mereka. Ratusan mahasiswa tewas di jalan-jalan. Bhumibol segera menitahkan agar Thanom mengundurkan diri. Dia patuh, sehingga lahir pemerintahan sipil, yang sempat berkuasa beberapa tahun. Lalu, enam tahun silam, Bhumibol menyelamatkan PM Prem Tinsulanonda dari ancaman kudeta militer. Para pemberontak segera menghentikan aksinya, begitu Bhumibol menyatakan dukungannya pada Prem. "Saya melakukan apa yang diperlukan, itu saja," ujarnya saat itu. Selain itu, Bhumibol membuktikan bahwa gerakan amalnya mampu membendung kaum komunis, petani opium, dan gerakan separatis. Di awal tahun 1970-an, ketika militer sedang gencar-gencarnya menghajar kaum komunis di provinsi-provinsi timur laut, Bhumibol tiba-tiba berkunjung ke sana. Tak lama kemudian, berdirilah sebuah bendungan yang sanggup mengairi ladang-ladang kering. Pemberontakan segera mereda. Di selatan, Bhumibol melawan gerakan separatis Islam dengan memberikan keleluasaan pada mereka untuk beribadat. Termasuk memberlakukan hukum Islam seprovinsi Pattani, Satun, dan Narathiwal. Sementara itu, di kawasan utara, Chiang Mai dan Chiang Rai, Bhumibol mengirimkan sejumlah ahli untuk membantu para petani di sana mengubah tanaman opiumnya menjadi kopi dan kacang kedelai. Tapi Bhumibol pernah keblinger. Suatu saat, dalam kunjungannya ke desa suku Hmong, seorang pria mengeluh. Istrinya, yang telah dibeli dengan tiga ekor babi kabur bersama pria lain. Sedangkan keluarga istrinya tak mau memenuhi tuntutan ganti rugi. Sang raja kontan mengeluarkan duit untuk menutup persoalan itu. "Tapi, menurut adat Hmong wanita itu otomatis jadi istri saya," ujar Baginda sambil tersenyum kepada anggota rombongannya. Bhumibol tetap Bhumibol, yang tak suka poligami. Waktu senggangnya diisi dengan membaca buku agama dan berdiskusi dengan para biksu. Ia seorang pengikut Budha yang taat, kendati lahir di Amerika dan menyelesaikan kuliah politik dan hukumnya di Universitas Loussane, Swiss. Selera makannya juga tak "wah", favoritnya tetap tumis taoge. Raja yang pandai bermain klarinet itu kadangkala menyalurkan jiwa kerakyatannya dalam irama jazz. Sebagian tertumpah salah satu gubahannya yang berjudul Hungry Man's Blues. Sesekali dia mengundang pemain jazz profesional seperti Benny Goodman dan Lionel Hampton dari Amerika. Sanggupkah Putra Makota Maha Vajiralongkorn mengikuti jejak langkah ayahnya dekat pada rakyat dan dihormati kaum militer? Inilah yang masih tanda tanya. Praginanto (Jakarta), Yuli Ismartono (Bangkok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus