HARUSKAH tamat cerita seorang pahlawan? Tidak. Kita selalu kepingin mendengarnya kembali. Sayangnya, orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya: orang tak sadar bahwa pahlawan mati untuk kedua kalinya -- dan tak akan hidup lagi -- ketika ia jadi orang keramat. Menjadi orang keramat, bagi si pahlawan, adalah sebuah proses yang mudah meskipun sebenarnya ganjil. Bahkan kian lama sering kian kabur apakah makam Bung A (dia pahlawan) tidak berbeda dengan makam Kiai A (dia keramat). Pengeramatan terjadi dengan mudah, ketika kita, seraya memandang kagum sang pahlawan, kehilangan kepekaan terhadap tragedi. Di masa lampau, ketika "pahlawan" tak sekadar sejenis gelar kedinasan -- dengan diberi surat dengan nomor dan dimakamkan berderet di sebuah kuburan khusus kepahlawanan selalu mengandung satu tragedi. Tragedi adalah sesuatu yang mengalahkan manusia tapi sekaligus menempatkannya di medan kebesaran. Bayangannya adalah Bhisma yang gugur bersandar pada puluhan anak panah yang mencoblosi tubuhnya. Monginsidi yang ditembak mati. Kartini yang remuk berbenturan dengan struktur sosial Jawa di masa kolonial abad ke-19. Kita memang umumnya tergetar oleh gugurnya Bhisma, kematian Monginsidi, dan penderitaan Kartini, tapi kita sering lebih terpesona oleh keperwiraan di sana. Kita lupa akan rasa sakit yang menyengat dalam luka dan kekalahan. Dengan segera, tokoh besar itu pun jadi tokoh keramat. Tragedinya cuma jadi latar belakang bukan justru sesuatu yang esensial untuk menentukan sejauh mana tindakan seseorang benar-benar heroik, sejauh mana pula itu sekadar sebuah bravado. Seorang teman yang cemerlang baru-baru ini mengatakan bahwa di Indonesia, "Setiap tahun ada Hari Kartini di mana 99% dari kata-katanya dengan khidmat diabaikan." Dia benar, tapi saya agak berbeda menilai kenapa begitu. Menurut teman itu, ini terjadi karena Kartini telah kena "bencana halus" yakni sudah dimasukkan dalam kategori "pahlawan". Menurut saya, karena dia telah mengalami transformasi dari seorang pahlawan menjadi seorang keramat. Sekarang kita rasanya lebih sering membayangkan Kartini (disebut dengan khidmat "Ibu Kita Kartini") dengan paras muka yang cerah dan seakan-akan dilingkari praba yang terang. Ada hiasan di sanggulnya. Ada bros di kebayanya. Ada suasana kebesaran, gabungan antara kewaskitaan dan keningratan. Ada pamor, kombinasi antara tingginya "rasa" dan luhurnya silsilah. Dan tiap kali kita berdiri di depan bayangan itu, atau tiap kali kita berbicara tentangnya, kita seperti memasuki sebuah makam lama yang sepi, wingit. "Ssstt," kita berbisik, "jangan keras-keras bicara," kata kita kepada anak-anak. Dan semua diam. Tidakkah kita lupa bahwa seorang keramat sebenarnya kebal terhadap tragedi? Bahkan seorang yang di luar tragedi: tak akan terkena kesunyian, kebimbangan, ketakutan, dan rasa sakit pada tubuh? Bahwa semua tetek bengek itu -- pada saat menggempur dirinya -- hanya ibarat angin lalu. Tapi siapa yang memandang tokoh seperti Kartini (atau juga Monginsidi, Pak Dirman, Bung Karno) dengan pandangan itu akan menghentikan semua cerita pahlawan, atau lebih tepat cerita perbuatan kepahlawanan. Seorang manusia yang begitu gagahnya hingga tidak menanggungkan suatu kesedihan apa pun, atau kebimbangan apa pun, atau bahkan pamrih apa pun, tak bisa disebut pernah berbuat heroik. Tindakan keorik mengandung pengorbanan diri sendiri yang sangat besar. Tindakan heroik adalah hasil pilihan yang pedih, antara "ya" atau "tidak". Tanpa pilihan gawat itu, tindakan gagah yang mana pun akan keluar sebagai tindakan biasa saja, tanpa gundah hati, tanpa gelora, cuma otomatis. Maka, cerita perbuatan kepahlawanan selalu memikat, karena apa yang terjadi bukanlah perbuatan sebuah otomaton yang cuma mengikuti satu gerak yang sudah diprogram. Kisah Kartini, misalnya, menjadi menarik karena, seraya ia menggigit bibir dan menahan tangis mengalahkan dirinya, riwayat hidupnya jadi cerita perjuangan yang tak semudah "perjuangan" dalam film TVRI -- dan sekaligus suatu pengungkapan tentang banyak hal yang tak beres dan tak adil. Mungkin sebab itu saya ingin membayangkan Kartini tanpa lingkar cahaya di wajahnya. Saya membayangkan dia sebagai seorang yang dengan gementar di tepi saat untuk terkeping-keping: ia keturunan bapak ningrat tapi lahir dari seorang ibu jelata yang diperlakukan di rumah itu sebagai pembantu. Ia seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tubuhnya bagaikan disandera. Ia seorang yang tahu indahnya cakrawala Barat tapi seorang gadis pribumi yang selalu peka akan cemooh orang Belanda kepada ke"Barat"-annya. Ia lahir dari kancah seperti itu, dengan jiwa yang mengagumkan besarnya: tetap lembut, tetap memandang ramah manusia, tetap tanpa sinisme. Jika kita ingin selalu tergetdr oleh inspirasi jiwa yang seperti itu, kita tak sepatutnya membuat ceritanya berhenti. Jangan nobatkan dia jadi orang keramat. "Panggil aku Kartini saja," kata sebuah judul buku tentang wanita itu oleh Pramudya Ananta Toer sekitar seperempat abad yang lalu. Lebih baik lagi: panggil dia tanpa tanda seru pada namanya. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini