BERDIRI di dermaga sambil melambai-lambaikan tangan ke kapal
Appia, Yasser Arafat masih sempat tersenyum, lalu bicara tentang
Yerusalem dan negara Palestina. Terusir untuk kedua kalinya dari
Libanon, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) itu
akhirnya menerima kenyataan pahit: pasukannya akan kehilangan
basis militer strategis untuk cita-cita menegakkan Palestina
merdeka. Jumat pekan lalu, rombongan evakuasi pertama dari
Tripoli, yang terdiri dari 100 pejuang, diantar kapal Appia ke
Lanarca, Siprus, untuk selanjutnya disebar ke Tunisia, Aljazair,
dan Yaman Utara. Pengikut Arafat lainnya akan diungsikan
pekan-pekan mendatang.
Pada hari yang sama, di Damaskus, genjatan senjata antara
pihak-pihak yang bersengketa di Libanon tercapai pula. Presiden
Amerika Serikat Ronald Reagan menyambut gembira berita ini,
begitu pula presiden Libanon Amin Gemayel, yang tiba-tiba
berkunjung ke Libya.
Kuat dugaan, Gemayel tengah menggalang simpati di kalangan dunia
Arab untuk rujuk nasional Libanon lewat konperensi lanjutan di
Jenewa, Januari depan. Persiapan ke arah ini sudah dirintis
kembali oleh menlu Libanon Elie Salim, menlu Syria Abdel Halim
Khaddam, dan menlu Arab Saudi Pangeran Saud Al-Faisal.
Ditinjau dari kepentingan Libanon, kesediaan Arafat memboyong
4.000 pejuang PLO keluar dari Tripoli bisa disebut sebagai awal
yang menggembirakan. Tapi ulah Israel bisa saja merusakkan
rencana evakuasi. Pasukan Israel melancarkan blokade di sekitar
pelabuhan Tripoli, hingga lima kapal Yunani yang bertugas
mengangkut PLO tidak . bisa merapat. Ahad lalu, tatkala pejuang
PLO mempersiapkan keberangkatan, kapal-kapal perang Israel
justru menghujani posisi mereka dengan tembakan roket. Selama
sepuluh hari terakhir penembakan itu bagaikan acara tetap yang,
agaknya, sengaja dilancarkan untuk menyulitkan Arafat
meninggalkan Tripoli dalam semarak kemenangan seperti terjadi di
Beirut, September 1982.
Seakan lebih menegaskan sikap beringas Israel, sekretaris
kabinet Don Meridor membenarkan bahwa gempuran roket adalah
bagian dari perang melawan PLO. "Kami tidak akan memberi jaminan
apa pun kepada siapa pun," ucap Meridor ketika ditanya soal
evakuasi PLO. Maksudnya, Israel tidak akan menjamin keamanan
bagi pengungsian orang-orang Arafat yang mestinya berlangsung
pekan ini Meridor pun dengan sengit menuding gerilyawan
Palestina itu sebagai teroris yang sama sekali tidak berhak
memperoleh perlindungan PBB. Sebagai wakil garis keras dalam
kabinet Israel, Meridor mendesak supaya PLO tidak diberi ampun.
Tapi Wakil PM David Levy dan beberapa pejabat tinggi bersikap
lebih netral. Menurut mereka, sulit diterima jika Israel
menyerang kapal-kapal berbendera PBB yang akan mengangkut 4.000
pejuang PLO keluar dari kancah perang Libanon. Terakhir,
pengawalan kapal-kapal Prancis telah menutup peluang bagi Israel
guna menggagalkan pengungsian itu.
Sementara itu, di medan perang Libanon Tengah, tentara Israel
mulai beraksi. Awal pekan silam mereka mengungsikan sekitar
5.000 pengikut golongan kanan Libanon dari sebuah desa di
Pegunungan Shouf yang dikuasai kelompok kiri Druze, pimpinan
Walid Jumblatt. Sebelumnya, Israel telah mengirim pesawat tempur
untuk menghantam kubu-kubu pertahanan Syria. Peningkatan ini
tampak ada kaitannya dengan strategi AS di Timur Tengah. Pasukan
Syria - 4.000 orang - yang bercokol di Libanon selama dua bulan
terakhir telah merebut perhatian dunia karena membuka front
terhadap AS di samping mendalangi kelompok pembangkang PLO
pimpinan Abu Musa.
Ketika para pengamat mereka-reka strategi Hafez Assad, sembari
di sana-sini berusaha meyakinkan Reagan bahwa pemimpin Syria itu
perlu diperhitungkan, tiba-tiba saja terjadi beberapa insiden
besar. Dimulai dengan pengeboman pangkalan pasukan AS di bandar
udara Beirut yang menewaskan 239 marinir sampai tertembak
jatuhnya dua pesawat tempur mereka oleh Syria. Diperkirakan,
peningkatan perang ini tak dapat tidak semakm menjauhkan Libanon
dari rujuk nasional.
Untuk menghajar Syria, Washington tampaknya menempuh dua cara.
Pertama, membina kembali hubungan baik dengan Israel dalam suatu
ikatan kerja sama politik dan militer. Pada saat para analis
yakin bahwa sama sekali tidak mungkin menegakkan Libanon lewat
penempatan marinir AS di sana, Reagan justru berusaha
menerapkan taktik yang sama terhadap Syria. Pasukan Assad, yang
jumlahnya 40.000 berikut penasihat Soviet, akan dibendung
tentara Israel.
Cara kedua, melancarkan diplomasi yang dibayang-bayangi gertakan
roket dan meriam. Ini mengingatkan orang pada gaya manuver
Presiden Kennedy ketika dihadapkan pada krisis Kuba. Itulah yang
persis terjadi pekan silam, ketika kapal perang AS New Jersey
menyiram posisi Syria di Libanon dengan berton-ton peluru,
utusan khusus AS Donald Rumsfeld berkunjung ke Damaskus untuk
menjajaki langkah-langkah damai. Hasilnya belum tampak, bukan
saja karena Presiden Assad belum pulih kesehatannya, juga karena
Syria punya kepentingan politik dan teritorial yang sampai kini
belum dipertimbangkan serius oleh para pengambil keputusan di
Washington.
Sementara itu, Yasser Arafat, yang bermaksud menumpas
pembangkang PLO berikut "gangster-gangster Syria", telah pula
mengundang Raja Hussein untuk membahas negara Palestina merdeka
dalam suatu konfederasi dengan Yordania. Hussein menyambut
uluran Arafat, tapi ia perlu diyakinkan oleh dukungan
negara-negara Arab serta itikad baik Israel berupa penghentian
perluasan permukiman di Tepi Barat. Hal yang sama juga
diusahakan Reagan, tetapi sia-sia. Sekarang di kawasan itu
diperkirakan berdiam 30.000 orang Israel, dan hampir 60% areal
Tepi Barat sudah pula dikontrol penguasa baru itu.
Dalam jangka panjang, harus diakui, hidup mati Libanon tidak
bisa dilepaskan dari nasib penduduk Palestina di Tepi Barat.
Dalam jangka pendek, penarikan mundur tentara AS, Prancis, dan
Italia amat tergantung pada upaya rujuk nasional Libanon. Syria
menempati posisi yang unik dalam percaturan itu dan, tampaknya,
pihak Barat mulai berusaha memahami hal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini