Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pukulan kedua buat plo

Evakuasi pasukan plo dari tripoli menuju tunisia, aljazair, dan yaman utara. di damaskus gencatan senjata antara pihak-pihak yang bersengketa di libanon tercapai. (ln)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERDIRI di dermaga sambil melambai-lambaikan tangan ke kapal Appia, Yasser Arafat masih sempat tersenyum, lalu bicara tentang Yerusalem dan negara Palestina. Terusir untuk kedua kalinya dari Libanon, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) itu akhirnya menerima kenyataan pahit: pasukannya akan kehilangan basis militer strategis untuk cita-cita menegakkan Palestina merdeka. Jumat pekan lalu, rombongan evakuasi pertama dari Tripoli, yang terdiri dari 100 pejuang, diantar kapal Appia ke Lanarca, Siprus, untuk selanjutnya disebar ke Tunisia, Aljazair, dan Yaman Utara. Pengikut Arafat lainnya akan diungsikan pekan-pekan mendatang. Pada hari yang sama, di Damaskus, genjatan senjata antara pihak-pihak yang bersengketa di Libanon tercapai pula. Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan menyambut gembira berita ini, begitu pula presiden Libanon Amin Gemayel, yang tiba-tiba berkunjung ke Libya. Kuat dugaan, Gemayel tengah menggalang simpati di kalangan dunia Arab untuk rujuk nasional Libanon lewat konperensi lanjutan di Jenewa, Januari depan. Persiapan ke arah ini sudah dirintis kembali oleh menlu Libanon Elie Salim, menlu Syria Abdel Halim Khaddam, dan menlu Arab Saudi Pangeran Saud Al-Faisal. Ditinjau dari kepentingan Libanon, kesediaan Arafat memboyong 4.000 pejuang PLO keluar dari Tripoli bisa disebut sebagai awal yang menggembirakan. Tapi ulah Israel bisa saja merusakkan rencana evakuasi. Pasukan Israel melancarkan blokade di sekitar pelabuhan Tripoli, hingga lima kapal Yunani yang bertugas mengangkut PLO tidak . bisa merapat. Ahad lalu, tatkala pejuang PLO mempersiapkan keberangkatan, kapal-kapal perang Israel justru menghujani posisi mereka dengan tembakan roket. Selama sepuluh hari terakhir penembakan itu bagaikan acara tetap yang, agaknya, sengaja dilancarkan untuk menyulitkan Arafat meninggalkan Tripoli dalam semarak kemenangan seperti terjadi di Beirut, September 1982. Seakan lebih menegaskan sikap beringas Israel, sekretaris kabinet Don Meridor membenarkan bahwa gempuran roket adalah bagian dari perang melawan PLO. "Kami tidak akan memberi jaminan apa pun kepada siapa pun," ucap Meridor ketika ditanya soal evakuasi PLO. Maksudnya, Israel tidak akan menjamin keamanan bagi pengungsian orang-orang Arafat yang mestinya berlangsung pekan ini Meridor pun dengan sengit menuding gerilyawan Palestina itu sebagai teroris yang sama sekali tidak berhak memperoleh perlindungan PBB. Sebagai wakil garis keras dalam kabinet Israel, Meridor mendesak supaya PLO tidak diberi ampun. Tapi Wakil PM David Levy dan beberapa pejabat tinggi bersikap lebih netral. Menurut mereka, sulit diterima jika Israel menyerang kapal-kapal berbendera PBB yang akan mengangkut 4.000 pejuang PLO keluar dari kancah perang Libanon. Terakhir, pengawalan kapal-kapal Prancis telah menutup peluang bagi Israel guna menggagalkan pengungsian itu. Sementara itu, di medan perang Libanon Tengah, tentara Israel mulai beraksi. Awal pekan silam mereka mengungsikan sekitar 5.000 pengikut golongan kanan Libanon dari sebuah desa di Pegunungan Shouf yang dikuasai kelompok kiri Druze, pimpinan Walid Jumblatt. Sebelumnya, Israel telah mengirim pesawat tempur untuk menghantam kubu-kubu pertahanan Syria. Peningkatan ini tampak ada kaitannya dengan strategi AS di Timur Tengah. Pasukan Syria - 4.000 orang - yang bercokol di Libanon selama dua bulan terakhir telah merebut perhatian dunia karena membuka front terhadap AS di samping mendalangi kelompok pembangkang PLO pimpinan Abu Musa. Ketika para pengamat mereka-reka strategi Hafez Assad, sembari di sana-sini berusaha meyakinkan Reagan bahwa pemimpin Syria itu perlu diperhitungkan, tiba-tiba saja terjadi beberapa insiden besar. Dimulai dengan pengeboman pangkalan pasukan AS di bandar udara Beirut yang menewaskan 239 marinir sampai tertembak jatuhnya dua pesawat tempur mereka oleh Syria. Diperkirakan, peningkatan perang ini tak dapat tidak semakm menjauhkan Libanon dari rujuk nasional. Untuk menghajar Syria, Washington tampaknya menempuh dua cara. Pertama, membina kembali hubungan baik dengan Israel dalam suatu ikatan kerja sama politik dan militer. Pada saat para analis yakin bahwa sama sekali tidak mungkin menegakkan Libanon lewat penempatan marinir AS di sana, Reagan justru berusaha menerapkan taktik yang sama terhadap Syria. Pasukan Assad, yang jumlahnya 40.000 berikut penasihat Soviet, akan dibendung tentara Israel. Cara kedua, melancarkan diplomasi yang dibayang-bayangi gertakan roket dan meriam. Ini mengingatkan orang pada gaya manuver Presiden Kennedy ketika dihadapkan pada krisis Kuba. Itulah yang persis terjadi pekan silam, ketika kapal perang AS New Jersey menyiram posisi Syria di Libanon dengan berton-ton peluru, utusan khusus AS Donald Rumsfeld berkunjung ke Damaskus untuk menjajaki langkah-langkah damai. Hasilnya belum tampak, bukan saja karena Presiden Assad belum pulih kesehatannya, juga karena Syria punya kepentingan politik dan teritorial yang sampai kini belum dipertimbangkan serius oleh para pengambil keputusan di Washington. Sementara itu, Yasser Arafat, yang bermaksud menumpas pembangkang PLO berikut "gangster-gangster Syria", telah pula mengundang Raja Hussein untuk membahas negara Palestina merdeka dalam suatu konfederasi dengan Yordania. Hussein menyambut uluran Arafat, tapi ia perlu diyakinkan oleh dukungan negara-negara Arab serta itikad baik Israel berupa penghentian perluasan permukiman di Tepi Barat. Hal yang sama juga diusahakan Reagan, tetapi sia-sia. Sekarang di kawasan itu diperkirakan berdiam 30.000 orang Israel, dan hampir 60% areal Tepi Barat sudah pula dikontrol penguasa baru itu. Dalam jangka panjang, harus diakui, hidup mati Libanon tidak bisa dilepaskan dari nasib penduduk Palestina di Tepi Barat. Dalam jangka pendek, penarikan mundur tentara AS, Prancis, dan Italia amat tergantung pada upaya rujuk nasional Libanon. Syria menempati posisi yang unik dalam percaturan itu dan, tampaknya, pihak Barat mulai berusaha memahami hal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus