MENGAPA selama sekitar dua tahun terakhir ini pertikaian dan
keretakan selalu melilit NU ? Ada yang berpendapat, sumber
pertikaian adalah masalah pengunduran diri ketua umum PB NU
Idham Chalid, yang kemudian dicabutnya lagi. Ada juga pendapat:
sumber keretakannya adalah terpilihnya Ali Ma'shum sebagai rais
aam, yang dianggap menyalahi ketentuan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga NU karena menyisihkan Anwar Musaddad yang
menjabat wakil rais aam.
Pendapat lain mengatakan, konflik terjadi di antara kelompok
politisi dan nonpolitisi NU. Ini disebabkan keterlibatan NU yang
dianggap terlalu Jauh dalam politik, sehingga menumbuhkan
kepentingan pribadi atau kelompok. Akibat lain: kegiatan dakwah,
pendidikan, dan sosial ekonomi diabaikan. Hingga kemudian muncul
resep yang dijadikan slogan: kembali ke khittah NU 1926.
Artinya, NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan saja,
seperti waktu didirikan pada 1926. Kembali ke khittah 1926 itu
juga berarti diterimanya prinsip ulama (syuriah) sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi NU karena Nahdatul Ulama berarti
Kebangkitan Ulama.
Khatib Syuriah NU Abdurrahman Wahid menyanggah pendapat yang
terakhir ini. "Yang terjadi sebenarnya bukan politisi melawan
nonpolitisi, tapi pertentangan kelompok politisi yang mewakili
kepentingan pribadi tertentu melawan mereka yang bertujuan
menyegarkan NU kembali," katanya. Kelompok vested interest ini
ada kaitannya dengan pedagang kaya - raya yang membiayai
kelompok NU yang dianggap politisi itu.
Lain pula pendapat wakil sekretaris jenderal PB NU Chalid
Mawardi. Ia menilai, pendapat yang mengatakan pertentangan dalam
NU sekarang antara politisi dan ulama adalah kesalahan besar.
"Pertentangan sebenarnya adalah antara para politisi," katanya.
Para ulama, menurut dia, hanya ditunggangi para politisi NU yang
kesal karena tergeser dan tidak berhasil menduduki kursi DPR
seperti Saifuddin Zuhri, Jusuf Hasjim, dan Imron Rosyadi.
Pertentangan yang sebenarnya bukan antara Idham Chalid dan Ali
Ma'shum. "Pertempuran yang sebenarnya itu 'kan antara para
senopatinya," katanya.
Chalid mengakui, memang ada beberapa pengusaha yang ikut
membiayai NU. "Hal itu wajar saja karena orang itu dulu juga
berhasil karena usaha NU. Makanya, memberikan bantuan itu sudah
sewajarnya," ujarnya. Menunjuk dirinya sebagai contoh Chalid
menyadari bahwa dia punya kepentingan pribadi untuk
mempertahankan posisi politisnya. "Ini wajar asal melalui tata
cara dan norma yang benar."
Beberapa pengamat politik tampaknya memandang pertikaian dalam
NU dari sisi laim Machrus Irsyam, dosen Ilmu Politik dari
Universitas Indonesia melihat keretakan dalam NU berlarut-larut
karena ketidakmampuan Rais Aam Ali Ma'shum mengendalikan Idham
Chalid, setelah mencabut legitimasinya sebagai ketua umum PB NU.
"Terbukti bahwa Ali Ma'shum tidak bisa memegang atau menjadi
kekuatan tunggal dalam NU seperti Almarhum Bisri Syansuri,"
katanya. Ali Ma'shum kemudian bahkan mencari dukungan tokoh
ulama lain yang selama ini meragukan kredibilitas Idham Chalid.
Mirip dengan pendapat di atas adalah penilaian Dr. Zamakhsyari
Dhofier, staf Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama yang
disertasi doktornya di Australian National University (1960)
mengenai tradisi pesantren. "Rais Aam Ali Ma'shum kalah wibawa
dengan Idham Chalid. Itulah yang menimbulkan perpecahan paling
serius dalam NU," tuturnya pekan lalu. Menurut dia, seandainya
yang menjadi rais aam itu Kiai As'ad, Idham Chalid tidak mungkin
menarik keputusan pengunduran dirinya karena Idham lebih segan
kepada Kiai As'ad.
Di pihak lain, kewibawaan Idham sendiri dianggap Dhofier makin
melorot. "Idham dan kelompoknya tidak lagi berjuang untuk NU,
tapi untuk kepentingan dirinya sendiri sehingga wibawanya
jatuh," katanya. Lebih dari itu, di mata pemerintah, "kini Idham
tidak lagi dipandang menguntungkan."
Keinginan kembali ke garis perjuuangan NU 1926 dipandang
Mahrus Irsyam tepat sekali, karena pimpinan NU akan muncul dari
bawah. "Dengan demikian, mobilitas politik pun melalui seleksi
dari bawah, misalnya putusan-putusan politik akan mencerminkan
aspirasi rakyat bawah," ujarnya. Ini dianggapnya penting
mengingat dalam kondisi politik Indonesia kini banyak
keputusan politik yang tidak ditentukan oleh massa. "Apalagi, NU
itu 'kan organisasi massa," katanya lagi.
Buat Dhofier, gagasan kembali pada khittah 1926 dipandangnya
langkah yang up to date. Slogan itu dianggapnya bisa
bermakna: kalau NU mau berjaya lagi, perlu dienyahkan
orang-orang NU yang berjuang untuk kepentinan pribadi. Kembali
ke garis 1926 tidak berarti NU tidak akan lagi berpolitik
praktis, tapi justru menunjukkan sikap progresif terhadap ke
majuan.
Dr. Alfian, 43, direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional
LIPI, yakin bahwa keretakan dalam NU akan bertaut lagi di masa
depan, sebagaimana yang pernah juga terjadi sebelumnya.
"Pertautan itu akan amat ditentukan oleh keberhasilan para tokoh
NU mencari jawaban yang tepat: ditemukannya konsensus bahwa
mereka menemukan formulasi baru dalam masyarakat," katanya pekan
lalu.
Menurut Alfian, ada tiga kemungkinan formulasi yang bisa
ditampilkan NU. Pertama, membuat jarak antara organisasi dan
permainan politik praktis. Ini tidak berarti para tokoh itu
tidak akan memainkan pulitik praktis. Mereka tetap membawa
aspirasi politik NU. Hasrat politik mereka bisa disalurkan lewat
PPP atau bebas masuk mana saja.
Kedua, NU melepaskan diri dari politik praktis, tapi para
anggotanya boleh ikut bermain politik praktis. "Ini akan
memungkinkan NU berkembang menjadi organisasi sosial,
pendidikan, dan keagamaan dalam arti sebenarnya, dan di mata
masyarakat akan bisa muncul sebagai kekuatan moral. Kekuatan
moral dalam suasana tertentu dapat berpolitik praktis," kata
Alfian.
Sedang formulasi ketiga adalah NU kembali ke asas perjuangannya
pada 1926. Kalau ini yang dipilih, diperlukan pemikiran lebih
lanjut, karena realita yang dihadapi sekarang ini lain. Sikap
dan orientasi tingkah laku warga NU yang berbeda bsa memmbulkan
hal-hal yang tidak relevan dengan masyarakat sekarang. Lebih
dari itu, pilihan ini juga membutuhkan orang-orang yang mengenal
betul tradisi 1926.
Kalau terpukau pada apa yang telah digariskan puluhan tahun lalu
dan tidak mencai bidang baru, NU akan sulit bertahan dan sulit
merelevansikan dirinya dengan perkembangan masyarakat sekarang.
"Formulasi ini dapat menimbulkan frustrasi," kata Alfian.
Pemunculan NU pada 1926 dulu itu sebagai reaksi terhadap
Muhamadiyah dan Persis. "Pemikiran pembaharuan dalam wujud
reaksi seperti itu apakah sekaran Perlu?" tanya Alfian. NU,
katanya, lebih baik mencari cakrawala baru, misalnya berpikir
bahwa Indonesia bisa menjadi pusat studi Islam mengingat
potensinya yang besar.
Alfian menilai, saat ini masih banyak orang NU yang
berorientasi terlalu besar pada kekuasaan, sehingga merugikan
perjuangan organisasi sendiri. Karena itu, untuk menampilkan
paradigma baru dalam format politik sekarang, perlu ditampilkan
pemikiran kaum muda dan harus dilakukan regenerasi. "Para tokoh
NU yang tua sulit menghilangkan pola berpikir model lama yang
cenderung pada kekuasaan," katanya. Dengan regenerasi dan munculnya
orang-orang yang mendukung formulasi baru, Alfian yakin, NU akan
mampu meletakkan diri lebih relevan dengan perkembangan
masyarakat sekarang.
Formulasi mana yang akan dipilih NU? Kembali ke garis perjuangan
1926 tampaknya diterima kedua pihak yang bertikai di NU.
Chalid Mawardi, yang kini ditunjuk sebagai juru bicara kelompok
Idham Chalid, setuju dengan gagasan ini. "Tapi saya tidak ingin
khittah 1926 itu menjadi slogan untuk pertanyaan internal. Jiwa
atau semangat khittah 926 itulah yang harus dihidupkan:
keikhlasan berjuang, silaturahmi, toleransi, tabayyn (cek dan
cek ulang), dan asih-asuh-asah," ujarnya. Yang masih belum jelas
adalah perumusannya serta pelaksanaannya nanti. Jawabannya,
tampaknya masih harus menunggu terlaksananya muktamar 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini