Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalau nu ingin berjaya...

Berbagai pendapat dari machrus irsyam, zamakhsyari dhofier, alfian, dll mengenai pertikaian dan keretakan di tubuh nu. hingga muncul slogan: kembali ke khittah nu 1926. (nas)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA selama sekitar dua tahun terakhir ini pertikaian dan keretakan selalu melilit NU ? Ada yang berpendapat, sumber pertikaian adalah masalah pengunduran diri ketua umum PB NU Idham Chalid, yang kemudian dicabutnya lagi. Ada juga pendapat: sumber keretakannya adalah terpilihnya Ali Ma'shum sebagai rais aam, yang dianggap menyalahi ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU karena menyisihkan Anwar Musaddad yang menjabat wakil rais aam. Pendapat lain mengatakan, konflik terjadi di antara kelompok politisi dan nonpolitisi NU. Ini disebabkan keterlibatan NU yang dianggap terlalu Jauh dalam politik, sehingga menumbuhkan kepentingan pribadi atau kelompok. Akibat lain: kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial ekonomi diabaikan. Hingga kemudian muncul resep yang dijadikan slogan: kembali ke khittah NU 1926. Artinya, NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan saja, seperti waktu didirikan pada 1926. Kembali ke khittah 1926 itu juga berarti diterimanya prinsip ulama (syuriah) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi NU karena Nahdatul Ulama berarti Kebangkitan Ulama. Khatib Syuriah NU Abdurrahman Wahid menyanggah pendapat yang terakhir ini. "Yang terjadi sebenarnya bukan politisi melawan nonpolitisi, tapi pertentangan kelompok politisi yang mewakili kepentingan pribadi tertentu melawan mereka yang bertujuan menyegarkan NU kembali," katanya. Kelompok vested interest ini ada kaitannya dengan pedagang kaya - raya yang membiayai kelompok NU yang dianggap politisi itu. Lain pula pendapat wakil sekretaris jenderal PB NU Chalid Mawardi. Ia menilai, pendapat yang mengatakan pertentangan dalam NU sekarang antara politisi dan ulama adalah kesalahan besar. "Pertentangan sebenarnya adalah antara para politisi," katanya. Para ulama, menurut dia, hanya ditunggangi para politisi NU yang kesal karena tergeser dan tidak berhasil menduduki kursi DPR seperti Saifuddin Zuhri, Jusuf Hasjim, dan Imron Rosyadi. Pertentangan yang sebenarnya bukan antara Idham Chalid dan Ali Ma'shum. "Pertempuran yang sebenarnya itu 'kan antara para senopatinya," katanya. Chalid mengakui, memang ada beberapa pengusaha yang ikut membiayai NU. "Hal itu wajar saja karena orang itu dulu juga berhasil karena usaha NU. Makanya, memberikan bantuan itu sudah sewajarnya," ujarnya. Menunjuk dirinya sebagai contoh Chalid menyadari bahwa dia punya kepentingan pribadi untuk mempertahankan posisi politisnya. "Ini wajar asal melalui tata cara dan norma yang benar." Beberapa pengamat politik tampaknya memandang pertikaian dalam NU dari sisi laim Machrus Irsyam, dosen Ilmu Politik dari Universitas Indonesia melihat keretakan dalam NU berlarut-larut karena ketidakmampuan Rais Aam Ali Ma'shum mengendalikan Idham Chalid, setelah mencabut legitimasinya sebagai ketua umum PB NU. "Terbukti bahwa Ali Ma'shum tidak bisa memegang atau menjadi kekuatan tunggal dalam NU seperti Almarhum Bisri Syansuri," katanya. Ali Ma'shum kemudian bahkan mencari dukungan tokoh ulama lain yang selama ini meragukan kredibilitas Idham Chalid. Mirip dengan pendapat di atas adalah penilaian Dr. Zamakhsyari Dhofier, staf Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama yang disertasi doktornya di Australian National University (1960) mengenai tradisi pesantren. "Rais Aam Ali Ma'shum kalah wibawa dengan Idham Chalid. Itulah yang menimbulkan perpecahan paling serius dalam NU," tuturnya pekan lalu. Menurut dia, seandainya yang menjadi rais aam itu Kiai As'ad, Idham Chalid tidak mungkin menarik keputusan pengunduran dirinya karena Idham lebih segan kepada Kiai As'ad. Di pihak lain, kewibawaan Idham sendiri dianggap Dhofier makin melorot. "Idham dan kelompoknya tidak lagi berjuang untuk NU, tapi untuk kepentingan dirinya sendiri sehingga wibawanya jatuh," katanya. Lebih dari itu, di mata pemerintah, "kini Idham tidak lagi dipandang menguntungkan." Keinginan kembali ke garis perjuuangan NU 1926 dipandang Mahrus Irsyam tepat sekali, karena pimpinan NU akan muncul dari bawah. "Dengan demikian, mobilitas politik pun melalui seleksi dari bawah, misalnya putusan-putusan politik akan mencerminkan aspirasi rakyat bawah," ujarnya. Ini dianggapnya penting mengingat dalam kondisi politik Indonesia kini banyak keputusan politik yang tidak ditentukan oleh massa. "Apalagi, NU itu 'kan organisasi massa," katanya lagi. Buat Dhofier, gagasan kembali pada khittah 1926 dipandangnya langkah yang up to date. Slogan itu dianggapnya bisa bermakna: kalau NU mau berjaya lagi, perlu dienyahkan orang-orang NU yang berjuang untuk kepentinan pribadi. Kembali ke garis 1926 tidak berarti NU tidak akan lagi berpolitik praktis, tapi justru menunjukkan sikap progresif terhadap ke majuan. Dr. Alfian, 43, direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional LIPI, yakin bahwa keretakan dalam NU akan bertaut lagi di masa depan, sebagaimana yang pernah juga terjadi sebelumnya. "Pertautan itu akan amat ditentukan oleh keberhasilan para tokoh NU mencari jawaban yang tepat: ditemukannya konsensus bahwa mereka menemukan formulasi baru dalam masyarakat," katanya pekan lalu. Menurut Alfian, ada tiga kemungkinan formulasi yang bisa ditampilkan NU. Pertama, membuat jarak antara organisasi dan permainan politik praktis. Ini tidak berarti para tokoh itu tidak akan memainkan pulitik praktis. Mereka tetap membawa aspirasi politik NU. Hasrat politik mereka bisa disalurkan lewat PPP atau bebas masuk mana saja. Kedua, NU melepaskan diri dari politik praktis, tapi para anggotanya boleh ikut bermain politik praktis. "Ini akan memungkinkan NU berkembang menjadi organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan dalam arti sebenarnya, dan di mata masyarakat akan bisa muncul sebagai kekuatan moral. Kekuatan moral dalam suasana tertentu dapat berpolitik praktis," kata Alfian. Sedang formulasi ketiga adalah NU kembali ke asas perjuangannya pada 1926. Kalau ini yang dipilih, diperlukan pemikiran lebih lanjut, karena realita yang dihadapi sekarang ini lain. Sikap dan orientasi tingkah laku warga NU yang berbeda bsa memmbulkan hal-hal yang tidak relevan dengan masyarakat sekarang. Lebih dari itu, pilihan ini juga membutuhkan orang-orang yang mengenal betul tradisi 1926. Kalau terpukau pada apa yang telah digariskan puluhan tahun lalu dan tidak mencai bidang baru, NU akan sulit bertahan dan sulit merelevansikan dirinya dengan perkembangan masyarakat sekarang. "Formulasi ini dapat menimbulkan frustrasi," kata Alfian. Pemunculan NU pada 1926 dulu itu sebagai reaksi terhadap Muhamadiyah dan Persis. "Pemikiran pembaharuan dalam wujud reaksi seperti itu apakah sekaran Perlu?" tanya Alfian. NU, katanya, lebih baik mencari cakrawala baru, misalnya berpikir bahwa Indonesia bisa menjadi pusat studi Islam mengingat potensinya yang besar. Alfian menilai, saat ini masih banyak orang NU yang berorientasi terlalu besar pada kekuasaan, sehingga merugikan perjuangan organisasi sendiri. Karena itu, untuk menampilkan paradigma baru dalam format politik sekarang, perlu ditampilkan pemikiran kaum muda dan harus dilakukan regenerasi. "Para tokoh NU yang tua sulit menghilangkan pola berpikir model lama yang cenderung pada kekuasaan," katanya. Dengan regenerasi dan munculnya orang-orang yang mendukung formulasi baru, Alfian yakin, NU akan mampu meletakkan diri lebih relevan dengan perkembangan masyarakat sekarang. Formulasi mana yang akan dipilih NU? Kembali ke garis perjuangan 1926 tampaknya diterima kedua pihak yang bertikai di NU. Chalid Mawardi, yang kini ditunjuk sebagai juru bicara kelompok Idham Chalid, setuju dengan gagasan ini. "Tapi saya tidak ingin khittah 1926 itu menjadi slogan untuk pertanyaan internal. Jiwa atau semangat khittah 926 itulah yang harus dihidupkan: keikhlasan berjuang, silaturahmi, toleransi, tabayyn (cek dan cek ulang), dan asih-asuh-asah," ujarnya. Yang masih belum jelas adalah perumusannya serta pelaksanaannya nanti. Jawabannya, tampaknya masih harus menunggu terlaksananya muktamar 1984.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus