Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Asas tunggal di bulan maulud

Majelis agama bersama-sama menerima pancasila sebagai asas tunggal. ruu organisasi kemasyarakatan akan mensyaratkannya sebagai asas satu-satunya. (nas)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAS tunggal Pancasila masih menjadi buah bibir. Kali ini sasarannya bukan cuma organisasi bernapaskan politik. Tetapi juga organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. "Pemantapan Pancasila sebagai asas organisasi kemasyarakatan sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti dan peranan agama dalam kehidupan bangsa," kata Presiden pada sambutan peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w. Jumat pekan lalu. Di depan pejabat tinggi dan para ulama yang berkumpul di Istana Negara, Presiden mengakui andil yang tidak kecil organisasi keagamaan itu bagi perkembangan bangsa, bukan cuma terbatas pada bidang agama. "Namun, adalah suatu keharusan bagi kita bersama untuk mengikat berbagai bentuk kegiatan itu dalam pangkal tolak dan arah yang sama," kata Presiden. "Yaitu membangun masyarakat Pancasila yang sosialistis religius." Karenanya, Presiden lantas menegaskan, "Kita memandang perlu lebih memantapkan Pancasila sebagai asas politik dan asas kemasyarakatan bangsa." Agaknya, penegasan Pak Harto ini akan menjadi gamblang seandainya rancangan undang-undang (RUU) organisasi kemasyarakatan sudah disahkan. Seperti diungkapkan Mensesneg Sudharmono dalam pengarahannya di depan Musyawarah Nasional Korpri minggu lalu, seluruh organisasi kemasyarakatan dan unsur-unsur dalam masyarakat mesti menerima asas tunggal itu. "Keharusan menerima Pancasila sebagai asas satu-satunya itu merupakan syarat mutlak bagi jaminan hidup dan eksistensinya, termasuk pangayoman atas organisasi masyarakat dan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat," katanya. Dalam kesempatan yang sama, ketua umum Golongan Karya itu juga mengingatkan, "Masih adanya unsur-unsur dalam masyarakat yang belum menerima asas tunggal Pancasila merupakan sumber kerawanan bagi ketahanan nasional." Artinya, tidak bisa ditawar lagi, semua organisasi yang beranggaran dasar harus menerima Pancasila sebagai asas tungal. "Apa, sih, beratnya menerima Pancasia. 'Kan itu sudah menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa," kata Sudharmono dalam perjalanan pulang dari Kuala Lumpur, selesai mendampingi Presiden Soeharto mengadakan kunjungan kerja ke Malaysia minggu lalu. Ia belum memastikan apakah organisasi kemasyarakatan yang menolaknya akan dibubarkan. "Tapi mereka, setidak-tidaknya, akan dikucilkan dan tidak diakui," katanya. Siapa yang harus terkena sanksi semacam itu? Yang pertama, tentu saja, partai politik dan Golkar. Sebab, GBHN 1983 memang menegaskan "demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, partai politik dan Golkar harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas." Sedangkan tentang organisasi kemasyarakatan, MPR hanya mengamanatkan agar usaha untuk memantapkan dan menata organisasi ditingkatkan. "Untuk itu, perlu disusun undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan," demikian antara lain bunyi GBHN itu. Menurut RUU Organisasi Kemasyarakatan, yang akan terdiri dari 11 bab dan 20 pasal, suatu organisasi bisa hidup setelah disahkan menteri dalam negeri atau menteri yang membidangi teknis organisasi. Bahkan pejabat pemerintah itu juga bertugas membina dan mengawasi mereka. Menteri pertanian, misalnya, akan membina HKTI dan HNSI. Menteri negara pemuda dan olah raga membawahkan organisasi pemuda, kemahasiswaan, dan olah raga. Sedang menteri agama, tentu saja, harus membina dan mengawasi organisasi keagamaan. Mereka bertanggung jawab agar organisasi "bawahan"-nya dengan tulus menerima asas tunggal itu. Ini tampak pada tindakan para menteri yang belakangan begitu bersemangat mengajak organisasi kemasyarakatan menerima asas itu. Menteri Gafur, misalnya, kelihatan gigih mengajak organisasi kepemudaan dan mahasiswa untuk tidak tawar-menawar lagi dengan syarat mutlak itu. Ia tampak gembira ketika GMNI dalam kongresnya di Lembang, Jawa Barat, November lalu menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Sedangkan HMI, yang berkongres di Medan akhir Mei lalu - juga dengan pengarahan Menteri Gafur - tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya. Artinya, belum menerima ajakan Bung Gafur. Alasan HMI, agaknya, berkaitan erat dengan nilai-nilai dasar perjuangannya, yaitu Al Quran dan Hadis. "Seandainya asasnya berubah, ini akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari HMI," kata Monang Djihado Harahap, ketua bidang organisasi PB HMI kepada TEMPO. Soal napas keagamaan juga dianggap perlu oleh GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), yang ketika didirikan 1932 mempunyai orientasi pada kebutuhan rohani "Sebenarnya, kami tidak mempunyai target politik sama sekali," kata Alex Litaay, ketua bidang ekstern PB GMKI kepada TEMPO. "Hanya saja, saat ini semua disamaratakan." Organisasi keagamaan, kabarnya, juga diminta menerima asas tunggal itu. Menurut sumber TEMPO, bulan lalu Menteri Agama mengimbau pimpinan majelis keagamaan untuk menerima asas tunggal itu. Namun, yang disampaikan para pemuka agama kepada Menteri Munawir Sjadzali awal minggu ini adalah masukan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun RUU Organisasi Kemasyarakatan itu. Mereka menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan asas organisasi kemasyarakatan itu. "Masing-masing agama mempunyai dasar agama yang bersifat universal, berlaku untuk semua tempat dan aman, yang tidak boleh ditambah dengan sesuatu paham lain di samping dasar agama yang otentik," bunyi pernyataan pimpinan puncak MUI, MAWI, DGI, Parisadha Hindu Dharma Pusat, dan Walubi. Dalam kaitan dengan ketetapan Pancasila sebagai asas tunggal bagi kehidupan kenegaraan dan kekuatan sosial politik, majelis keagamaan menyampaikan saran, "pengaturan organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi kemasyarakatan yang berjiwa keagamaan, tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau mempersempit, melainkan untuk meningkatkan, peran serta organisasi keagamaan itu sebagai pengamalan Pancasila." Mereka tetap mengakui, Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan kenegaraan. Tapi, kelihatannya, dalam RUU - bila DPR menyetujui semua tentunya- justru agak berbeda. Pancasila tetap menjadi asas tunggal dalam anggaran dasar mereka. Sedangkan ciri khas, atau yang selama ini menjadi identitasnya, diminta cukup ditampilkan dalam program?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus