OUM Son, 62 tahun, penghuni Site 2 kamp pengungsian terbesar di daerah perbatasan Thailand gembira sekaligus bimbang ketika menaiki bus yang akan membawanya ke tanah airnya, pekan lalu. Tiga belas tahun ia mengungsi di negeri orang, kehilangan sebagian kebebasannya, karena hanya bisa jalan-jalan terbatas di perkampungan yang dilingkari pagar kawat berduri. Meski kebutuhan pokoknya terjamin, kehidupannya diatur orang lain. Kini ia senang untuk pulang, tapi berita maraknya kerusuhan di Kamboja mengecutkan hatinya. ''Kalau perang meletus kembali, bagaimana saya bisa lari, saya sudah tua,'' kata ayah delapan anak itu. Sesuai dengan Perjanjian Paris yang disepakati keempat faksi Kamboja, semua pengungsi di kamp-kamp sepanjang perbatasan Thailand harus dipulangkan sebelum hari pemilu Mei nanti. Sejak Maret tahun lalu, komisi PBB untuk pengungsi, yakni UNHCR, sudah mengembalikan 370.000 orang Kamboja. Satu per satu, tujuh tempat pengungsian itu dikosongkan, dan terakhir Site 2, pekan lalu. Pengungsian di Kamboja dimulai tahun 1976, satu tahun setelah Pol Pot dan pasukan Khmer Merahnya menggulingkan pemerintahan Lon Nol. Kekejaman rezim itu adalah sebab utama penduduk melarikan diri ke negara tetangga. Ada yang mengungsi ke Vietnam, kebanyakan lari ke Thailand. Arus pengungsi membesar pada tahun 1979, ketika pasukan Vietnam menyerbu Kamboja dan memaksa Khmer Merah lari ke hutan. Pengungsi-pengungsi itu berkumpul menurut aliran politik masing- masing. Misalnya, pengikut Sihanouk membentuk dua kamp yang terletak di bagian utara sedangkan orangnya Son Sann memilih tinggal di kamp pengungsian di bagian tengah. Daerah di selatan merupakan daerah khusus untuk pengikut Khmer Merah. Tujuh kamp, dengan jumlah penduduk yang memuncak sampai 385.000, menerima bantuan UNHCR dan lembaga-lembaga PBB lain sejak tahun 1979. Ada dua pilihan bagi yang pulang ini. Menerima dua hektare tanah tiap keluarga berikut perlengkapan untuk membangun rumah dan peralatan untuk bertani, serta makanan kering untuk satu tahun. Pilihan kedua, uang tunai sebesar US$ 50 untuk seorang dewasa dan US$ 25 untuk anak di bawah 12 tahun, beserta makanan untuk satu tahun. Sebagian besar, hampir 90%, ternyata memilih alternatif kedua. ''Tanah yang diberikan kepada kami semua dikuasai pemerintah Phnom Penh. Terkadang tanah itu letaknya jauh dari kampung atau sudah ditempati orang lain, sehingga kami harus membelinya dari orang itu,'' kata Lay Khek, ketua administrasi Site 2, kepada TEMPO. Ia juga mengatakan, dengan keadaan yang penuh kerusuhan, siapa yang mau ambil risiko memiliki tanah sendiri? Ada sejumlah pengungsi yang berniat mencari jalan ke negera Barat, khususnya pengungsi keturunan Vietnam. Kini masih sekitar 1.000 orang yang mogok, tidak mau dipulangkan ke Kamboja. ''Ini tidak mungkin,'' kata Rob Burrows dari UNHCR kepada TEMPO. ''Jika tidak bersedia dipulangkan, mereka akan dianggap sebagai imigran gelap.'' Pemerintah Bangkok sudah punya rencana mengembalikan tanah kamp- kamp itu ke pemiliknya semula atau dijadikan sekolah. Pemerintah Thailand juga berubah sikap, tak akan lagi bertoleransi terhadap pengungsi. Untuk itu, dibangun pagar kawat berduri setinggi dua meter di tempat-tempat tertentu di perbatasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini