TEROR menjalar makin luas di Kamboja. Di jalan raya Tuol Samuth, di tengah Kota Phnom Penh, para tamu yang sedang menikmati makan malam di restoran Gecko dikejutkan oleh rentetan tembakan senjata. Semuanya serentak tiarap. Untung, tak ada korban jiwa, bahkan yang terluka pun tiada. Menurut saksi mata, penembaknya adalah pengemudi dua sepeda motor yang membawa AK-47. Dan ini tampaknya baru sekadar peringatan, karena yang ditembaki adalah bagian atas restoran. Tapi sekadar ancaman atau bukan, inilah pertama kali sasaran kekerasan bukan penduduk keturunan Vietnam, tapi masyarakat setempat. Menjelang hari-hari kampanye tampaknya suasana makin panas. Selain serangan terhadap orang-orang keturunan Vietnam, pasukan PBB yang sedang patroli pun tak luput dari tembakan tiba-tiba. Sejauh ini sudah terjadi beberapa kali insiden dan setidaknya sudah empat anggota pasukan UNTAC tewas. Pelaku serangan diduga keras adalah Khmer Merah. Beberapa hari lalu di Provinsi Kompong Thom terjadi serangan hebat 27 orang tewas dan 20 orang luka. Serangan itu adalah ketiga kalinya dalam waktu satu bulan ini. Sebelumnya desa nelayan warga Vietnam di tepi Danau Tonle Sap diserbu: lebih dari 30 orang, termasuk anak kecil dan wanita. Beberapa hari kemudian serangan serupa terjadi di sebuah desa di Provinsi Kompong Chhnang. Yang kini menjadi sangat merepotkan, menurut dugaan Ketua Lembaga Hak Asasi UNTAC di Phnom Penh, pelaku teror bukan lagi hanya Khmer Merah. ''Kini dimulai kampanye-kampanye teror yang berhubungan dengan pemilu,'' kata Dennis McNamara, ketua itu. McNamara memang belum memberikan bukti tentang kelompok di luar Khmer Merah. Yang jelas, sudah ribuan keturunan Vietnam di Kamboja mengungsi ke Vietnam. Mereka mulai ketakutan. Norodom Sihanouk sendiri belum lama ini dalam suatu pernyataan tertulis dari Beijing mengatakan tidak mampu menjamin keselamatan warga- warga Vietnam itu. ''Lebih baik mereka segera meninggalkan Kamboja,'' kata Sihanouk. Kehadiran penduduk Vietnam di Kamboja memang merupakan masalah bukan saja bagi kelompok Khmer Merah, tapi warga Kamboja umumnya. Bahkan pengikut rezim Hun Sen, yang oleh pihak luar dikatakan sebagai rezim boneka Vietnam, menyimpan ketidaksenangan terhadap orang-orang keturunan Vietnam itu. ''Saya benci sekali Khmer Merah, tapi saya setuju dengan mereka bahwa orang Vietnam harus pergi dari negeri kami,'' kata Lay Khek, seorang pengungsi di perbatasan Thailand yang siap untuk dipulangkan. Lay Khek adalah pendukung Hun Sen. Kenyataannya memang warga Kamboja keturunan Vietnam, yang jumlahnya hanya bisa diduga-duga karena belum pernah disensus, secara ekonomis tampak lebih baik. Mereka, sebagaimana umumnya imigran, rata-rata pekerja keras. Ini menimbulkan kecemburuan. Tapi teror tak hanya berdampak pada warga keturunan Vietnam. Selain terjadi pengungsian ribuan warga keturunan Vietnam, suasana di Kamboja umumnya terasa tegang. Rakyat di Kamboja tampaknya makin takut memberikan suaranya nanti di pemilu Mei, seperti diharapkan oleh Khmer Merah. Padahal UNTAC dengan susah payah mencoba meyakinkan penduduk bahwa ikut pemilu adalah aman. ''Pilihan dan suara Anda terjamin kerahasiaannya,'' bunyi pamflet yang dipasang di tembok-tembok toko dan pohon-pohon di jalanan. Juga lewat radio, TV, serta penerangan keliling, yang dilakukan oleh pejabat UNTAC, soal kerahasiaan itu dijelaskan dan diminta agar rakyat tidak takut memilih. ''Pokoknya, tujuan utama kami mendorong semua untuk memilih, agar jangan mau diintimidasi, bahwa memilih adalah hak mereka,'' kata Tim Carney, ketua bagian informasi dan media UNTAC, kepada TEMPO. Celakanya, usaha UNTAC itu mendapat perlawanan dalam dua bentuk. Pertama, aksi-aksi teror tadi, yang kedua intimidasi diam-diam. Dilaporkan adanya pejabat-pejabat Pemerintah Phnom Penh di desa- desa minta warganya yang telah mendaftarkan diri untuk pemilu itu agar menyerahkan kartu tanda pengenalnya. Mereka juga diberi tahu bahwa pungutan suara tidak mungkin dirahasiakan, sebab ada TV dan pejabat yang memantaunya. ''Meski tidak mengancam langsung, tapi itu cukup menakut-nakuti rakyat,'' kata McNamara. Di beberapa desa, dilaporkan, gerilyawan Khmer Merah juga telah mendatangi warganya yang berani mendaftarkan diri untuk ikut pemilu. Mereka meminta kartu pendaftaran, lalu merobekinya hingga hancur. Di luar tujuan yang masih diduga-duga, antara lain tak akan ada pemerintah yang diakuai secara sah karena pemilu gagal, dengan askinya itu Khmer Merah jelas ingin unjuk gigi bahwa mereka masih mampu mengacau bahwa mereka masih merupakan kekuatan yang harus selalu dipertimbangkan dalam keputusan politik apa pun di Kamboja. Yang kini diduga oleh banyak pihak, makin dekat ke hari pemilu, yang direncanakan pada tanggal 23-25 Mei nanti, akan semakin gencar serangan Khmer Merah. Menurut pasukan Belanda yang diposkan di Battambang, daerah-daerah di bawah Khmer Merah, yang tadinya masih bisa dikunjungi dengan prosedur berliku-liku, sekarang mulai tertutup. Maka kini kegelisahan yang beredar di antara rakyat Kamboja adalah, akankah perang datang lagi ada pemilu maupun tidak. Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini