AKHIRNYA Boris Yeltsin mengalah. Ia gagalkan referendumnya tanggal 25 April mendatang. Ini berita baik buat persatuan Rusia, paling tidak untuk sementara waktu. Pekan lalu, ketika Yeltsin berkeras untuk tetap melaksanakan referendumnya, Kongres Wakil Rakyat pun berkeras menetapkan juga tanggal 25 April untuk pelaksanaan referendum Kongres. Jika Yeltsin memaksakan referendumnya bersaing dengan referendum Kongres, ia pasti keteter di lapangan. Yeltsin memang masih cukup populer di kalangan rakyat, tapi barisan apparatchiks istilah Rusia untuk para birokrat yang menguasai jaringan pemerintahan adalah orang-orang rezim lama. Besar kemungkinan, birokrat kelas menengah dan bawah lebih suka melaksanakan referendum Kongres. Kemelut itu muncul tampaknya karena Yeltsin kurang memperhitungkan langkah-langkahnya. Ia mungkin terlalu optimistis, reformasi ekonomi akan membuahkan hasil dalam waktu singkat. Karena itu, ia tak mencoba melindungi politiknya secara politis. Jelasnya, ketika berhasil menggeser Mikhail Gorbachev dulu, Yeltsin tak segera mendirikan partai untuk mengamankan reformasinya. ''Ia ingin menjadi pemimpin nasional yang mengalahkan politik. Ada pemikiran romantis bahwa popularitasnya tidak akan berakhir,'' komentar Sergei Stankevich, seorang penasihat politik Yeltsin. Akibatnya, tanpa basis politik yang kuat, Yeltsin gampang sekali diserang oleh Kongres. Kesalahan kedua, Yeltsin tetap membiarkan keputusan, kecuali pada tingkat pimpinan pusat, diambil oleh orang-orang bekas komunis. Boris Fedorov, wakil perdana menteri urusan reformasi ekonomi, mengatakan bahwa sejak Yeltsin berkuasa, tak satu pun direktur perusahaan negara yang diganti. Padahal, hampir semua direktur itu adalah mereka yang karena loyal terhadap partai lalu dipromosikan, tak peduli punya keahlian ekonomi atau tidak. Maka, ketika Yeltsin menswastakan perusahaan negara, tetap saja perusahaan itu tidak beroperasi secara efisien. Buktinya, produksi industri Rusia justru merosot sampai 23%, sedangkan produksi barang konsumsi turun 13%. Padahal, Yeltsin menginginkan sistem ekonomi pasar ala Barat, yang mengandalkan kekuatan sektor-sektor ekonomi di semua lapisan. Singkat kata, sepertinya Yeltsin hanya berkaok-kaok sendiri di atas, sedangkan barisan pelaksana di bawah tak berbuat apa-apa. Kini Yeltsin hampir tak punya kekuasaan lagi untuk tetap mempertahankan laju reformasi ekonominya. Kalaupun referendum Kongres mendukung kepemimpinannya serta kebijaksanaan ekonomi dan politiknya, ia sudah tak punya wewenang khusus lagi, sehingga harus selalu berhadapan dengan Kongres dalam menyusun kebijaksanaan apa pun. Sesuai dengan konstitusi Uni Soviet, Kongres Wakil Rakyat memang merupakan badan tertinggi Rusia yang mengontrol lembaga negara lain. Kelemahan lain Yeltsin, selama ia memerintah dengan wewenang khusus, ia tak berusaha menjalin kerja sama yang baik dengan Kongres. Ia gelindingkan reformasi ekonomi tanpa berdiskusi dengan anggota Kongres, tapi hanya dengan ahli-ahli ekonomi di sekelilingnya. Padahal, banyak orang dari rezim lama dalam Kongres yang masih hidup dalam gagasan kebesaran Rusia tak suka melihat Yeltsin mengemis demikian istilah mereka bantuan dari Barat. Bagi mereka, bantuan itu bisa membuat Rusia didikte oleh Barat. Memang sampai saat ini tak jelas betul sikap Ketua Kongres Khasbulatov terhadap reformasi ekonomi Yeltsin. Ia semula mendukung Yeltsin, tapi belakangan justru membuka front melawan Yeltsin. Ketika kemelut politik mencapai klimaks dua pekan lalu, Khasbulatov berusaha lagi berkompromi dengan Yeltsin tapi ditentang anggota Kongres. Sampai-sampai ia diancam akan didepak sebagai ketua Kongres. Khasbulatov pun surut. Kata para pengamat, surutnya Khasbulatov merupakan bukti bahwa ia selama ini memanfaatkan kaum nasionalis sekadar untuk memperoleh kekuasaan. Begitu juga dengan wakil presiden Alexander Rutskoi, pahlawan perang Afganistan yang mengakar di kalangan militer. Rutskoi juga seorang pendukung Yeltsin yang berbalik arah. Latar belakang militernya dianggap cukup mengancam reformasi Rusia seandainya ia naik kuasa. Ia termasuk dalam kubu nasionalis yang sering menggunakan slogan ''Rusia yang Agung'' dalam pidatonya. Rutskoi, seperti orang nasionalis lain, melihat Rusia perlu didisiplinkan kembali karena menganggap pemerintahan Yeltsin terlalu memanjakan sekelompok orang. Misalnya, Rutskoi menyorot banyak orang kaya yang tak membayar pajak, dan jumlah pajak yang harus dibayar itu sudah sama dengan jumlah defisit anggaran belanja. ''Pemerintah Rusia harus memperhatikan orang-orang biasa yang rendah gajinya. Kami perlu pengaturan dan perencanaan yang lebih sempurna,'' tuturnya kepada koresponden TEMPO di Moskow, Alexey Volin. Menurut Rutskoi, Rusia harus melaksanakan sistem ekonomi yang dipadu dari sistem kapitalis dan sistem komunis. Rutskoi memang termasuk mereka yang yakin, di luar kapitalisme dan komunisme ada alternatif ketiga dan ini mestinya bukanlah Islam. Di luar Rusia sendiri, di dunia internasional terutama di Barat, para pengamat menganggap reformasi Rusia penting dibela. Seandainya Yeltsin harus turun, itu jangan sampai membelokkan Rusia kembali ke sistem lama. Itu pula harapan Presiden Clinton dalam pertemuan tingkat tinggi di Vancouver pekan lalu (lihat Yeltsin-Clinton). Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini