Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat pementasan tonil, kisah kerudung Alma Levy dan Lila Levy—dan jutaan muslimah Prancis lainnya—baru akan mendekati klimaks cerita. Levy bersaudara adalah sepasang remaja putri berdarah Yahudi-Aljazair, cantik bukan main, dan bertekad menjadi muslimah yang taat. Tekad inilah yang kemudian melahirkan nasib buruk bagi keduanya. Sekolah mereka di Aubervilliers, kawasan pinggiran Kota Paris, melarang penggunaan jilbab. Tapi kakak-adik Levy emoh membuka pembungkus kepala itu. Akhirnya Alma dan Lila Levy dikeluarkan dari sekolah tersebut pada Oktober silam. Demo merebak mengguncang Prancis. Tapi, alih-alih menilik peraturan itu, pemerintah Prancis justru bersikap kian keras.
Selasa pekan lalu, majelis rendah parlemen Prancis mengukuhkan larangan berjilbab bagi siswi sekolah negeri lewat pemungutan suara: 394 lawan 36. Larangan itu termasuk penggunaan topi Yahudi dan salib berukuran besar bagi siswa Nasrani. Undang-undang itu menyebutkan, di sekolah menengah negeri, simbol dan pakaian yang nyata menunjukkan afiliasi keagamaan siswa dilarang. Yang nekat melanggar akan diberi peringatan, skorsing sementara, lalu pemecatan. Rancangan undang-undang ini akan disahkan senat pada Maret mendatang dan akan berlaku efektif pada September tahun ini. Dengan demikian, "Republik dan sekularisme diperkuat," kata Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin.
Peraturan itu bertujuan melindungi negara sekuler Prancis secara ketat dari ancaman fundamentalisme Islam. Sekularisme di Prancis berlangsung sejak Revolusi 1789 untuk menjamin persamaan dan kebebasan bagi semua warga. Adapun agama dipandang sebagai masalah pribadi. Pemimpin Prancis berharap undang-undang itu akan mengakhiri perdebatan tentang jilbab yang membelah Prancis sejak 1989. Pada tahun itu, dua siswi dikeluarkan dari sekolah mereka di Creil, di luar Kota Paris, karena mengenakan jilbab.
"Dengan undang-undang baru itu, perempuan hanya punya dua pilihan: meninggalkan sekolah atau mencopot jilbab," kata Noura Jab Allah, juru bicara Perserikatan Perempuan Muslim Prancis. Noura percaya bahwa target utama undang-undang itu adalah 5 juta penduduk muslim Prancis. Dia menyodorkan bukti: tak ada pelarangan terhadap simbol-simbol agama dalam busana sebelum siswi muslim memutuskan menggunakan jilbab. Lhaj-Tami Breze, Ketua Perserikatan Organisasi Islam Prancis, mengingatkan pemerintah Prancis tentang konsekuensi larangan pemakaian jilbab, yakni radikalisme. Ironisnya, radikalisme di kalangan penduduk muslim Prancislah yang sebenarnya menjadi sasaran larangan berjilbab ini. Simpati pun mengalir dari mana-mana.
Greeville Janner, Wakil Presiden Kongres Yahudi Dunia, menegaskan bahwa anggota parlemen Prancis dengan cara yang amat memalukan menghukum segenap penduduk muslim dan komunitas agama lainnya. "Dalam masyarakat multikultur, warga negara harus bebas mengenakan apa pun simbol religius yang mereka inginkan," katanya. Prancis memang negeri di Eropa dengan kultur yang relatif beragam. Sebagai negara yang menjadi tujuan bagi pelarian politik dari seluruh dunia, belakangan Prancis menjadi tujuan bagi rakyat dunia ketiga yang ingin mengubah nasib, khususnya yang berasal dari negara bekas jajahan Prancis, sehingga muncullah soal integrasi sosial.
Namun anggota parlemen Sami Nair menuding bahwa selama 30 tahun terakhir Prancis justru gagal menerapkan kebijakan integrasinya. Menurut Nair, yang menentang undang-undang ini, penduduk muslim Prancis tak hanya didera diskriminasi dalam bidang pendidikan, tapi juga dalam pekerjaan dan perumahan. "Yang kami butuhkan adalah seluruh paket hukum yang menjamin integrasi sosial," kata Nair. Anehnya, upaya menyeragamkan kultur nasional Prancis bertabrakan dengan semangat menerima perbedaan di kalangan bangsa Eropa. Satu contoh, pada Juli tahun silam, sampul depan majalah resmi Uni Eropa, Social Agenda, menampilkan foto wisuda seorang sarjana muslimah yang berjilbab.
Lebih dari sekadar urusan jilbab, Noura Jab Allah amat khawatir melihat kecenderungan sikap antimuslim di parlemen—sebuah fenomena yang kian menjauhkan Prancis dari semboyan lamanya yang terkenal: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Raihul Fadjri (The Guardian, The Independent, Al-Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo