Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hikayat itu mengular dari beberapa penjuru jagat. Islamabad. Kuala Lumpur. Dubai. Washington. Wina. Hikayat itu lahir melalui penelusuran para ahli dari badan intelijen Amerika (CIA), badan intelijen Inggris (MI-6), serta Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Mereka melacak dan mencoba menyatukan titik-titik yang mereka temukan dalam kegelapan ”pasar swalayan” senjata nuklir ilegal dunia.
Di pasar swalayan yang remang-remang itulah nama Abdul Qadeer Khan, 69 tahun, muncul, merebak, lalu membahana ke belantika internasional. Dia disebut-sebut sebagai pemain sentral. Julukannya adalah Bapak Senjata Nuklir Pakistan. Para intel menetapkan dia sebagai tokoh di balik pusat jaringan pasar gelap senjata nuklir. Dia menjajakan pengetahuan pengembangan nuklir di negara-negara anggota Poros Setan dan pendukung terorisme versi Washington: Iran, Libya, dan Korea Utara. Perusahaan Khan—Khan Research Laboratories—juga mengomando jaringan produksi dan pemasaran komponen nuklir yang merentang dari Malaysia, Uni Emirat Arab, Belanda, sampai Jerman dan banyak negara lain.
”Dia adalah direktur jaringan, otak, dan penjaja utama,” ujar Presiden George W. Bush pekan lalu saat menggelar strategi perang terhadap pengembangan nuklir dunia. Satu hal, Amerika Serikat (AS) sendiri termasuk pengembang senjata nuklir. Disebut-sebutnya nama Khan oleh Washington kontan saja membikin pening kepala Presiden Pakistan Pervez Musharraf. Dia ditekan untuk mengambil tindakan.
Maka, Abdul Qadeer Khan pun ditahan. Tetapi keanehan muncul. Setelah penjaja bahan nuklir rahasia ini mengakui perbuatannya, Musharraf memberi ampun. ”Ini perkembangan yang amat mengherankan,” ujar pejabat senior di Washington. Usut punya usut, Musharraf ternyata menghadapi dilema. Ia menangkap Khan untuk meredakan tekanan Amerika dan Eropa. Namun dia juga buru-buru melepas Khan karena tahu betul betapa tokoh ini dipuja-puja oleh rakyat Pakistan.
Seorang analis di Islamabad melukiskan, Musharraf tak mau keterlibatan Khan dalam pengembangan nuklir—yang selama ini disangkal pemerintahan Musharraf—terbongkar. Dan Khan, sekali lagi, adalah pahlawan di mata anak-negeri Pakistan. Alhasil, penahanan lebih lama terhadapnya hanya akan meruntuhkan stabilitas kekuasaan Musharraf. ”Saya menghadapi dilema,” ujar sang Presiden. ”Dilemanya, dia orang hebat, dia pahlawan bagi semua orang.”
Musharraf memang tidak melebih-lebihkan. Dukungan kepada ahli nuklir ini terpancar melalui demo-demo jalanan yang gegap-gempita. Di Rawalpindi, demo itu membara pada lebih dari dua pekan silam. Di Peshawar juga para demonstran merangsek ke jalanan belum lama ini. Belum lagi seruan dan ancaman dari kelompok oposisi.
Eksistensi Khan dalam dunia nuklir Pakistan tak bisa dilepaskan dari sejarah permusuhan Pakistan-India. Tahun 1974, India mengumumkan ”program nuklir perdamaian”. Perdana Menteri Pakistan saat itu, Zulfikar Ali Bhutto, lantas mengangkat sumpah bahwa negerinya akan mengembangkan bom yang sama. Kalau perlu, orang-orang Pakistan makan rumput demi mengongkosi pengembangan senjata nuklir yang mahal.
Ali Bhutto lantas memanggil pulang Abdul Qadeer Khan, yang sedang bekerja di Urenco, konsorsium Inggris, Jerman, dan Belanda yang bermarkas di Belanda. Khan giat dalam riset atom. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman Barat dan Belgia ini lantas mengepak koper dan pulang kampung. Di Kahuta, 19 kilometer dari Islamabad, ia mengembangkan riset nuklir di satu laboratorium rahasia: Khan Research Laboratories (KRL).
Lahir di Bhopal, India, Khan berpindah ke Pakistan pada 1952. Di negeri ini dia memulai program nuklirnya pada tahun 1976. Dia hanya memerlukan enam tahun untuk membawa Pakistan ke peta nuklir dunia. Pada 1998, Pakistan menguji coba lima senjata atomnya—semacam ”gelar kekuatan” untuk menandingi uji coba senjata India sebelumnya. Di saat itu, Pak Khan langsung menjadi pahlawan nasional. Sebutan Bapak Bom Atom Pakistan segera saja menempel di pundaknya.
Pihak Barat, yang jengkel dengan sepak-terjangnya, menuduh Khan sebagai manusia rakus yang gemar menumpuk uang dari penjualan desain dan komponen nuklir dalam kantongnya sendiri. Toh, para pengagumnya menutup mata. ”Kalaupun Doktor Khan memiliki jutaan dolar dalam rekeningnya, kami tak peduli,” ujar Ahmed, seorang pemimpin kelompok Islam. ”Dia pahlawan nasional. Kami mencintainya,” Ahmed menambahkan.
Gaya hidup ahli nuklir ini tak bisa dibilang sederhana. Investigator Barat menemukan dia memiliki hotel di Mali, vila dan rumah tetirah di Pakistan. Padahal gajinya sebagai pegawai pemerintah hanya sekitar US$ 2.000—setara Rp 18 juta per bulan.
Aroma pasar nuklir gelap yang digelar Doktor Khan mulai tercium keras sekitar satu setengah tahun lalu, menjelang invasi Amerika ke Irak. Dalam salah satu dokumen senjata yang diserahkan Irak ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, fakta-fakta mulai terkuak. Agen intelijen Irak di Dubai melaporkan dalam memo yang menyertai dokumen senjata tersebut bahwa ia didekati perwakilan Khan yang menawarkan rahasia senjata nuklir.
Agen-agen Khan juga merambah ke Korea Utara. Kontak Khan di Korea Utara menyebutkan ada laporan tentang kunjungan ahli nuklir itu ke Pyongyang sebanyak 19 kali antara 1997 dan 2002. Belakangan, dalam gencetan Amerika, Eropa, dan IAEA, Teheran dan Tripoli akhirnya membuka keterlibatan Khan dalam pengembangan nuklir mereka. Beberapa kapal yang mengangkut komponen nuklir juga dapat dicegat. Umpamanya, kapal BBC Cina yang membawa muatan tersebut ke Libya.
Para agen CIA dan MI-6 juga melakukan penyusupan di beberapa produsen nuklir. Misalnya, Scomi Precision Engineering, anak perusahaan Scomi Group Berhad di Malaysia. Alhasil, tabir gelap nuklir ilegal pun terbuka sudah. Dua sisi wajah Abdul Qadeer Khan pun kian tersingkap: ada yang memujanya sebagai pahlawan, ada yang mencibirnya sebagai pengkhianat. Tapi, ada pula yang berpendapat bahwa Khan hanya dikorbankan demi menyelamatkan muka militer dan rezim Musharraf.
Purwani Diyah Prabandari (The NYT, Haaretz, The Guardian, WSJ.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo