Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAKYAT Palestina tidak hanya dibatasi tembok yang dibangun Israel, tetapi juga menghadapi tembok tebal yang mengelilingi organisasi Fatah. Sialnya, faksi terbesar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ini menebar bau busuk korupsi dan salah urus. Borok inilah yang diteriakkan dengan nada marah oleh ratusan anggota Fatah lewat surat terbuka. Dampaknya bisa sangat serius.
Surat yang ditandatangani 356 anggota Fatah dari Tepi Barat dan Jalur Gaza itu berisi pernyataan pengunduran diri mereka dari organisasi tersebut, Sabtu 7 Februari lalu. "Kami anak kandung gerakan Fatah mempersembahkan di tanganmu pengunduran diri kami," tulis mereka. Dalam surat yang ditujukan kepada Yasser Arafat dan Komite Sentral Fatah ini, mereka menilai Fatah ikut berdosa karena salah menangani konflik dengan Israel.
Borok pemimpin Fatah pun mereka kuliti satu per satu. Mereka menggambarkan situasi buruk Fatah yang tak kunjung berubah. Hakim yang membunuh tetap menjadi hakim, jaksa malah menjadi dealer senjata, komandan militer yang gagal masih tetap memimpin, pasukan keamanan mencuri mobil agar bisa bertahan hidup, gubernur yang kacau masih bertahan. "Para pejuang, orang yang berkualitas dan jujur tak punya tempat dan tak punya kuasa," tulis mereka.
Mereka prihatin terhadap rakyat Palestina yang justru baku bunuh dalam tindak kriminal dan cakar-cakaran untuk memperoleh kartu truf politik. Banyak anggota Fatah yang frustrasi menyaksikan pemimpin mereka gagal menangani konflik dengan Israel, tapi tak ada yang mau mundur. "Tak seorang pun yang berganti posisi sejak 1989," tulis surat itu. Padahal peraturan organisasi Fatah mewajibkan pemilihan pengurus sekali dalam lima tahun. Aktivis muda Fatah menuduh pemimpin senior Fatah takut kehilangan posisi. "Fatah menggiring kita ke arah tribalisme, konflik internal, dan sumur tanpa dasar," ujar mereka.
Aksi hengkang anggota Fatah ini dianggap sebagai pergulatan politik antara kalangan generasi muda yang lebih radikal dan generasi lebih tua yang merupakan arus besar gerakan nasional Palestina. Kelompok tua dalam Fatah adalah rombongan elite PLO yang terusir ke Tunisia dan kembali ke Jalur Gaza dan Tepi Barat lewat kesepakatan Oslo pada 1993. Kelompok veteran yang bercokol di Komite Sentral Fatah inilah yang dituduh menghalangi reformasi. Kekuasaan mereka amat besar, sehingga membuat tokoh sekaliber Mahmud Abbas, bekas Perdana Menteri Palestina, melepas jabatannya gara-gara menolak didikte. Hal yang sama juga diakui Perdana Menteri Ahmad Qureia, yang ruang geraknya dibatasi oleh para pemimpin Fatah.
Tak mengherankan bila suara lantang anak muda anggota Fatah itu membuat gerah sejumlah petinggi Fatah. "Isu yang mereka angkat bukan barang baru," kata anggota kabinet pemerintahan Palestina, Qadoura Fares. Pejabat Fatah lainnya, Abbas Zaki, menyoal keaslian ratusan tanda tangan dalam surat itu. "Sebagian nama dalam surat itu dibuat-buat dan orangnya sudah meninggal," kata anggota Komite Sentral Fatah ini. Bahkan penasihat keamanan nasional Arafat, Jibril Rajoub, menuduh surat itu ulah Israel yang memang telah lama menjadikan Fatah sebagai target operasi. "Kami yakin sejumlah orang mencoba menciptakan perpecahan dalam tubuh Fatah," ujar Jibril, yang juga anggota Dewan Revolusioner Fatah. Tuduhan Jibril bukan tanpa sebab. Hujan bom bunuh diri di Israel selama ini salah satunya dilakukan oleh Brigade Al-Aqsa, yang merupakan sayap militer Fatah. Apalagi pengkhianatan adalah bagian dari kisah perjuangan Palestina.
Tapi keberanian anak muda Fatah membuka borok organisasinya itu mendorong sejumlah pejabat Fatah melancarkan otokritik. Pejabat Fatah semacam Hatem Abdul Kadir, Ketua Fatah di Yerusalem, atau Mohammed al-Hourani, anggota Komite Tinggi Fatah, memang menentang aksi pengunduran diri itu, tapi mereka setuju dengan tuntutan para penuntut. "Bisikan untuk reformasi kini menjadi teriakan," kata Hatem. Bagi Hatem, Fatah butuh reformasi di setiap lini, dari struktur organisasi, administrasi, dan keuangan. "Kami tak dapat melanjutkan perjuangan dengan seabrek masalah ini," tambahnya.
Banyak kalangan Palestina menyalahkan Arafat atas kekacauan dan korupsi dalam pemerintahan Palestina. Mengapa? Ini karena Arafat ogah melakukan reformasi saat Israel secara agresif menduduki kembali sebagian Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka khawatir kasus pengunduran diri ini akan membangkrutkan pemerintahan Palestina. Hussein al-Sheikh, pejabat senior Fatah di Ramallah, menyebut kasus ini sebagai "lonceng peringatan". "Saya khawatir ungkapan kemarahan ini berkembang dan lepas kontrol jika pemimpin (Fatah) tak menanganinya dengan benar," kata Hussein. Menurut Hussein, kasus ini memang tak menjadi ancaman langsung bagi Arafat, yang telanjur menjadi simbol nasionalisme Palestina, tapi dapat memperlemah cengkeramannya terhadap anggota Fatah secara individu. Solusi satu-satunya, menurut Hussein, adalah melaksanakan reformasi demokratis dan menyelenggarakan pemilihan umum.
Dari kantor Arafat di Ramallah, muncul suara yang masih "waras". Menurut seorang pejabat Fatah, Arafat segera membicarakan aksi pengunduran diri itu dalam pertemuan pemimpin Fatah.
Raihul Fadjri (The Guardian, The Independent, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo