Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rafah, Kota yang Jadi Sasaran Netanyahu: Sejarah dan Nasibnya Kini

Rafah kini menjadi sasaran penghancuran Israel meski dunia internasional menentangnya.

18 Maret 2024 | 16.58 WIB

Warga Palestina menunjukkan garis perbatasan antara kota Rafah, selatan Jalur Gaza, dengan Mesir. AP Photo / Lefteris Pitarakis
Perbesar
Warga Palestina menunjukkan garis perbatasan antara kota Rafah, selatan Jalur Gaza, dengan Mesir. AP Photo / Lefteris Pitarakis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu, 17 Maret 2024, mengatakan Israel akan menyerang Rafah, tempat terakhir yang relatif aman di daerah kantong Gaza yang kecil dan padat setelah lebih dari lima bulan perang, meskipun ada tekanan internasional agar Israel menghindari jatuhnya korban sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sebelum 7 Oktober, kota yang luasnya hanya 64 km2 ini sudah kelebihan penduduk dan didera kemiskinan serta kondisi kehidupan yang keras akibat blokade Israel selama 17 tahun. Sejak israel mengusir warga Gaza utara dan tengah ke selatan, populasi Rafah meningkat empat kali lipat dalam hitungan bulan menjadi sekitar 1,5 juta jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebelum menjadi wilayah yang telah hancur lebur, Rafah memiliki sejarah panjang sebagai kota.  

Dari Oasis hingga Tempat Peristirahatan

Rafah diperkirakan telah dihuni selama lebih dari 3.000 tahun, dengan namanya muncul dalam prasasti Mesir kuno yang berasal dari abad ke-13 Sebelum Masehi.

Kota ini bermula dari pemukiman yang muncul di sekitar sebuah oasis yang menghubungkan Semenanjung Sinai dengan Gaza. Kota ini disebut sebagai Robihwa oleh orang Mesir kuno, Raphia oleh orang Yunani dan Romawi, Rafiah oleh orang Israel, dan Rafah oleh orang Arab.

Kota ini merupakan lokasi Pertempuran Raphia pada 217 SM, salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah kuno, yang melibatkan sekitar 150.000 pejuang dan hampir 200 ekor gajah.

Konflik antara kerajaan Ptolemeus dan kekaisaran Seleukus terjadi di wilayah Coele Suriah, yang merupakan bagian dari Suriah dan Lebanon modern.

Rafah kemudian dikuasai secara singkat oleh kerajaan Hasmonean, setelah ditaklukkan oleh raja Yahudi Helenistik, Yannai Alexander. Kemudian kota ini jatuh ke tangan Romawi selama sekitar tujuh abad.

Pada 635 M, di tahun-tahun awal agama Islam, tentara Kekhalifahan Rasyidin merebut kota ini dari Bizantium.

Kota ini kemudian berada di tangan beberapa penguasa dan dinasti Muslim, termasuk Bani Umayyah, Abbasiyah, dan kemudian Utsmaniyah.

Selama abad-abad awal pemerintahan Muslim, Rafah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi para pedagang yang melakukan perjalanan. Kota ini memiliki hotel, toko, pasar, dan masjid, menurut sejarawan abad ke-11.

Komunitas Yahudi berkembang di Rafah pada momen-momen berbeda antara abad kesembilan dan kedua belas, tetapi kebanyakan dari mereka pada akhirnya pergi ke wilayah Ashkelon, yang kini menjadi Israel.

 

Kota yang Terbelah

Kota ini berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah pada 1906 ketika, untuk pertama kalinya, Rafah menjadi kota yang terbagi menjadi dua wilayah. Sebuah garis ditarik antara Mesir yang saat itu dikuasai Inggris dan Palestina Utsmaniyah, yang membelah kota Rafah. 

Satu dekade kemudian, selama Pemberontakan Arab dan runtuhnya kekaisaran Utsmaniyah, Rafah jatuh ke tangan Inggris pada 1917.

Menurut statistik dari Mandat Inggris di Palestina, ada 599 orang di Rafah pada 1922, meningkat menjadi 2.220 orang pada 1945. Semua penduduk ini diperkirakan beragama Islam.

Selama Nakba 1948, atau bencana, 750.00 warga Palestina dipindahkan secara paksa dari kota-kota mereka oleh milisi Zionis untuk memberi jalan bagi negara Israel yang baru didirikan. Pada saat itu, Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir, dan pembagian 1906 di sepanjang Rafah tetap berlaku.

Pada 1949, kamp pengungsi Rafah didirikan untuk menampung para pengungsi Palestina yang mengungsi selama peristiwa Nakba.

Hingga hari ini, ada 133.326 pengungsi yang secara resmi terdaftar di kamp ini oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina (Unrwa). Jumlah penghuni yang sebenarnya di kamp tersebut kemungkinan jauh lebih tinggi.

Dengan luas hanya 1,2 km2, kamp ini merupakan salah satu daerah yang paling padat penduduknya di wilayah Palestina yang diduduki. Kamp ini memiliki 18 sekolah yang dikelola PBB, dua fasilitas kesehatan dan dua pusat layanan sosial.

Perang Timur Tengah 1967 masih memiliki dampak yang signifikan di Rafah.

Israel mengalahkan tentara Arab dan kemudian menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan di Suriah, dan Sinai di Mesir.

Setelah 1967, perbatasan Rafah dibuka kembali dan orang-orang di kedua belah pihak terhubung kembali selama 15 tahun. Selama waktu itu, perbatasan antara Mesir dan wilayah yang dikuasai Israel secara efektif adalah Terusan Suez.

Setelah perjanjian damai yang ditandatangani antara Israel dan Mesir pada Maret 1979, pasukan dan pemukim Israel menarik diri dari Sinai pada 1982. Sekitar 1.400 keluarga pemukim Israel dilaporkan dibayar $500.000 untuk meninggalkan Sinai.

Pada saat itulah perbatasan Rafah didirikan sekali lagi, dan tetap berada di tempatnya sejak saat itu. Perbatasan ini digambar secara kasar di sepanjang garis yang sama dengan perbatasan 1906.

Perbatasan itu akan membelah jalan-jalan, lingkungan pemukiman dan lahan pertanian, membuat banyak orang harus mengambil keputusan yang sulit: apakah akan tinggal di Mesir atau di Jalur Gaza yang diduduki Israel.

 

Penyeberangan Rafah

Kemudian pada 1982, penyeberangan Rafah dibuka sebagai titik masuk dan keluar resmi antara Mesir dan Gaza yang dikuasai Israel.

Pada 1994, setelah beberapa putaran negosiasi, penyeberangan Rafah berada di bawah kendali bersama antara Israel dan Otoritas Palestina (PA). Otoritas Israel memegang sebagian besar kendali keamanan dan dapat menolak akses kepada siapa pun.

Namun, pada Januari 2001, pada saat Intifada Kedua, atau pemberontakan, Israel mengambil alih kendali penuh atas penyeberangan tersebut. Di tahun yang sama, pasukan Israel juga menghancurkan Bandara Internasional Yasser Arafat di Gaza, satu-satunya bandara di Palestina, yang terletak di dekat Rafah.

Pada September 2005, Israel menarik pasukan dan pemukimnya dari Gaza sebagai bagian dari "rencana pelepasan".

Penyeberangan ini merupakan satu-satunya pintu gerbang yang tidak dikontrol secara langsung oleh Israel untuk keluar masuk Gaza.

Mesir menghancurkan sisi Rafah-nya

Ada sejarah panjang tentang terowongan yang digunakan oleh para penyelundup untuk menghubungkan dua kota Rafah di Mesir dan Palestina.

Dalam beberapa kesempatan, Mesir telah membanjiri terowongan-terowongan tersebut dengan air laut dan air limbah, dan membangun penghalang bawah tanah untuk menghentikan aliran senjata, pejuang dan sumber daya yang diduga antara Sinai dan Gaza selatan.

Selain menghancurkan terowongan, Mesir juga telah meratakan sebagian besar kota Rafah dengan tanah 2014, menyusul serangan besar yang dilakukan oleh militan Islamis yang berbasis di Sinai di Semenanjung, yang menewaskan 33 personel keamanan Mesir.

Pihak berwenang Mesir telah meratakan 685 hektare lahan pertanian dan menghancurkan 800 rumah untuk menciptakan zona penyangga antara Sinai dan Gaza. Seluruh Rafah Mesir, yang merupakan rumah bagi 78.000 orang, termasuk dalam zona penyangga.

Kota bersejarah dan sebagian besar desanya telah hancur. Hanya satu desa, el-Barth, yang penduduknya merupakan sekutu tentara Mesir, yang tersisa.

Mesir saat ini sedang dalam proses membangun kota Rafah yang sama sekali baru.

Hancur Lebur oleh Perang Israel

Sementara itu, di sisi Palestina, Rafah telah hancur oleh konflik dalam beberapa tahun terakhir.

Pada Agustus 2009, dalam pertempuran yang dijuluki Pertempuran Rafah, pertempuran antara Hamas dan kelompok militan bersenjata yang dikenal dengan nama Jund Ansar Allah mengakibatkan 22 orang tewas.

Kelompok ini mendirikan Emirat Islam Rafah, yang hanya bertahan selama satu hari - 14 Agustus 2009 - sebelum akhirnya dihancurkan oleh Hamas.

Rafah juga menjadi sasaran pengeboman Israel selama beberapa kali perang di Gaza, termasuk pada 2009, 2012, 2014, dan konflik saat ini.

Dalam perang di Gaza saat ini, meskipun Israel menyatakan Rafah sebagai zona aman tahun lalu, kota ini telah berulang kali dibombardir Israel.

MIDDLE EAST EYE

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus