JALUR Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan tetap seperti yang dikatakan CJ oleh Presiden Mesir Hosni Mubarak, "Tanda bahaya yang tak bisa diabaikan." Beberapa ibu Palestina menangis di depan anggota tentara Israel, minta agar anak-anak mereka yang ditangkap dilepaskan, agar bisa masuk sekolah. Sementara itu, para remaja Palestina, bila muncul kesempatan, terus saja beraksi: meneriakkan slogan-slogan antipenjajahan, melempari tentara Israel dengan batu dan lain-lain. Sampai pekan ini, sudah 48 orang Palestina jadi korban. Yang mengejutkan muncul berita di Kairo: 30 murid sebuah SD di daerah permukiman Dahishah di wilayah Tepi Barat Sungai Yordan diculik oleh sekelompok orang bersenjata, pagi-pagi, sebelum memulai belajar. Tampaknya, aksi penculikan itu dilakukan oleh orang terlatih dan direncanakan dengan matang, demikian komentar sekitar peristiwa ini yang diperoleh oleh koresponden TEMPO di Kairo. Menurut sebuah sumber, orang-orang itu -- tak begitu pasti jumlahnya -- tak mengenakan topeng atau menenteng senjata ketika masuk ke sekolah. Mereka memakai jaket tebal untuk menahan dinginnya salju. Lalu, seperti layaknya seorang guru, salah seorang memerintahkan para murid ke luar ruangan. Baru orang tersebut mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Anak-anak pun tak jelas kelas berapa - lalu bangkit dari duduk dan berjalan ke luar. Di luar sebuah truk sudah menunggu. Di bawah todongan senjata, anak-anak itu dipaksa naik ke truk dan, hrengg, truk itu langsung tancap gas. Penculik dan yang diculik pun menghilang. Pak guru, konon, seperti kena hipnotis, cuma bengong. Baru setelah truk berjalan dia berteriak-teriak minta tolong, tapi terlambat. Hingga pekan ini belum jelas kebenaran berita itu. Sejauh ini baru koran-koran Kairo yang memberitakannya. Umpama kasus ini memang benar, boleh jadi pelaku ingin mengacaukan prakarsa damai dari pihak Arab. Perlukah itu? Seperti diketahui, menurut The Jerusalem Post, upaya perdamaian yang akhir-akhir ini dilakukan oleh Soviet, PBB, dan Presiden Hosni Mubarak tak ada gemanya di Yerusalem. Sebab, kata surat kabar itu, kunci perdamaian, ada di tangan AS. Repotnya, AS biasanya selalu memveto usulan damai dari mana pun. Senin pekan lalu, misalnya, AS memveto rencana perdamaian Timur Tengah yang diusulkan PBB. Bukannya AS tak punya kritik terhadap Israel. Duta Besar AS di PBB, Herbert 0kun, mengkritik ulah serdadu Israel memadamkan gelombang demonstrasi sebagai tindakan melanggar hak asasi. Dia menyarankan agar pemerintah Israel menawarkan perlindungan kepada masyarakat Palestina di wilayah jajahan itu. Tak ada disinggung-singgung kemungkinan pembebasan jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan yang diduduki Israel sejak 21 tahun lalu. Tampaknya AS bersikap ganda. Lihat sikap Presiden Reagan ketika menyambut kedatangan Presiden Mesir Hosni Mubarak di Gedung Putih dalam rangka kampanye damai untuk Timur Tengah, dua pekan lalu. Reagan hanya menekankan perlunya kerja keras untuk meredam kekacauan yang terjadi. Lalu, usul-usul pemerintah AS masih yang dulu juga. Yakni perundingan damai terbatas pada pihak yang langsung terlibat. PLO, yang secara de facto diakui sebagai wakil seluruh masyarakat Palestina, tak sedikit pun disinggung. Sementara itu Israel makin keras dalam meredakan demonstrasi. Selasa pekan lalu, misalnya, Israel menutup semua sekolah dan 4 dari 5 yniversitas di Tepi Barat Sungai Yordan. Bahkan Perdana Menteri Israel Yitshak Shamir menyatakan bahwa di kalangan masyarakat di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan makin banyak ditemukan senjata api. Yang pasti, yang mendambakan kemerdekaan makin militan berjuang. Praginanto (Jakarta) dan Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini