BANGKOK ternyata berkepala dingin. Kehilangan sebuah pesawat dari salah satu jenis yang diandalkan, F-5E, dalam konflik perbatasan dengan Laos, Rabu pekan lalu, tak membuat pemerintah Muangthai kehilangan perhitungan diplomatiknya. Memang, Perdana Menteri Prem Tinsulanonda, dalam konperensi pers yang menyusul peristiwa itu, membuat pernyataan agak keras. "Jika rumah kami dilanggar, kami berhak membalas. Wilayah itu milik kami, dan kami mesti merebutnya kembali," katanya. Tapi Panglima Angkatan Darat Jenderal Chavalit Yongchaiyudh dan Menlu Siddhi Savetsila tak langsung menuduh Laos. "Ada pihak ketiga yang terlibat," kata Siddhi. yang berada di Kuala Lumpur ketika peristiwa itu terjadi. Dan ujar Chavalit, "Kami takkan mengambil langkah perluasan persengketaan yang bisa menghadapkan Laos pada kesulitan." Inilah pertama kalinya Muangthai melibat angkatan udaranya dalam konflik perbatasan dengan Laos. Malang, salah satu dari empat F-5E (pesawat yang oleh angkatan udar. Muangthai direncanakan segera dipensiun dan digantikan oleh F-16 yang lebih canggih yang sedang terbang di ketinggian 1O.OO0 kaki tertembak jatuh di Provinsi Phitsanu lok - dekat perbatasan dengan Laos, sekitar 450 km sebelah utara Bangkok. Itu terjadi karena mesin perontoknya pun tak tanggung-tanggung: SAM-9, peluru kendali antiserangan udara yang terandal. Sementara itu, Komandan Skuadron Surasak Boonprempri, pengemudi F-5E yang kena rudal itu, berhasil menyelamatkan diri dengan payung terjunnya. Biang sengketa adalah wilayah seluas 80 km2. Muangthai mengklaim daerah itu merupakan bagian dari Phitsanulok. Laos menganggapnya sebagai bagian dari provinsinya, Provinsi Sayaboury. Bagi Muangthai, garis perbatasan adalah Sungai Hoeng Nga, sedangkan Laos mempertahankan anak Sungai Hoeng Pamarn sebagai garis pemisah yang sah (lihat peta). Konflik perbatasan yang memuncak kali ini berawal Mei tahun lalu. Ketika itu perusahaan swasta Muangthai yang melakukan pemotongan kayu dekat Desa Ban Rom Klao, wilayah Phitsanulok, diserang pasukan Laos. Tak lama kemudian dikabarkan pasukan Laos menculik tujuh warga desa. Pada Agustus, sekitar 200 tentara Laos menyerang markas Taharn Pran (hansip) di desa itu pula. Pihak Muangthai semula hanya mengajukan protes dan kampanye diplomatik, mengadukan insiden itu kepada Dewan Keamanan PBB (dalam insiden pekan lalu pun deplu Muangthai juga mengundang para dubes, termasuk dari Uni Soviet dan Eropa Timur, datang ke perbatasan). Setelah nyata pasukan Laos tidak mau mundur, Jenderal Chavalit merestui gerakan militer yang disebut Operasi Phu Soidao, 3 November 1987. Itu dimaksudkan untuk merebut kembali Bukit 1248 dan 1370. Namun, sebegitu jauh pasukan Taharn Pran dan militer Muangthai seret bergerak. Soalnya, pasukan Laos berada di posisi strategis: berada di ketinggian, sehingga mudah menyerang dan sukar diserang. Akhirnya, dengan korban 33 anggota pasukan operasi tewas dan 300 lebih cedera, beberapa posisi dikuasai kembali. Tapi Bukit 1248 masih berada di tangan Laos. Karena itulah Muangthai lalu menerbangkan F-5E-nya. Di pihak lawan, menurut Chavalit, 200 orang tewas dan 260 luka-luka. Perbatasan Muangthai - Laos meliputi wilayah sepanjang lebih dari 1.600 km, 1.000 km di antaranya adalah Sungai Mekong (lihat peta). Insiden perbatasan Muangthai-Laos pertama kali meletus pada 1985, ketika berlangsung tembak-menembak di Provinsi Uttaradit. Pangkal persoalannya juga sama: tafsir yang berlainan atas garis batas yang disetujui oleh pemerintah Muangthai dan kolonial Prancis di Indocina pada 1907. Siapa kini yang dituduh sebagai "pihak ketiga" itu ? Di Kuala Lumpur, Menlu Siddhi menjawab, "Menembakkan peluru kendali tak mudah dan perlu pengalaman. Tak ada negara ketiga yang menempatkan pasukan di sana kecuali Vietnam. Memang, bukan merupakan rahasia lagi bahwa Vietnam, sejak seluruh Indocina menjadi komunis, telah menempatkan sekitar 50.000 pasukan di negeri yang berpenduduk tiga juta itu. Kini, meski Bangkok berkepala dingin, tetap terbuka kemungkinan insiden berkembang menjadi perang antara kedua negara. Dan bisa saja melibat "pihak ketiga": Muangthai didukung oleh Barat, terutama Amerika Vietnam dan Uni Soviet boleh jadi berada di belakang Laos. Dalam kasus ini, yang menarik adalah menebak sikap Cina. Cina sudah pasti berpendapat "pihak ketiga" itu "Kuba Asia" - kata kunci untuk Vietnam. Dan untuk itu Cina tak akan tinggal diam. Ini kalau ia konsekuen dengan ancamannya terhadap Hanoi yang selalu dikumandangkannya. A. Dahana (Jakarta) & Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini