Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Warga Korea Selatan terkejut dan tidak bisa tidur setelah deklarasi darurat militer yang tak terduga mengguncang negara tersebut, memicu kekhawatiran dan ketidakpercayaan yang meluas tentang kondisi demokrasi pada 2024, Korea Times melaporkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya tidak bisa tidur sama sekali, terpaku pada berita sepanjang malam. Rasanya sangat nyata, seperti mimpi buruk," kata seorang pekerja kantoran berusia 41 tahun bermarga Choi, saat ia memeriksa ponselnya selama perjalanan pagi di Seoul Metro Line 2 pada Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya seperti melakukan perjalanan 40 tahun ke masa lalu, sangat tidak masuk akal. Bahkan anak laki-laki saya yang masih SMP tidak bisa tidur dan menonton TV bersama saya. Jantung saya masih berdebar-debar."
Presiden Yoon Suk Yeol tiba-tiba mengumumkan darurat militer pada malam sebelumnya, namun dibatalkan beberapa jam kemudian setelah pemungutan suara di parlemen.
Terlepas dari resolusi tersebut, banyak komuter yang mengungkapkan keterkejutan dan ketidakpercayaan dalam perjalanan mereka ke tempat kerja. Beberapa orang menggambarkan peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang tidak terpikirkan di Korea Selatan masa kini, sementara yang lain menemukan penghiburan dalam ketangguhan warga negara tersebut. Seruan untuk pengunduran diri presiden muncul dengan cepat.
"Presiden harus mundur," kata Park, seorang pekerja kantoran berusia 51 tahun di Stasiun Yeongdeungpo. "Ini bukan era kediktatoran militer. Dia bertindak seolah-olah memobilisasi pasukan untuk melawan perbedaan pendapat dapat diterima."
Demikian pula, Lee Ji-woo, 32 tahun, mengatakan bahwa ia terjaga sepanjang malam untuk mencari informasi terbaru di platform seperti Naver dan X (sebelumnya Twitter). "Saya bahkan mencari foto-foto lama dari masa darurat militer. Yang paling membuat saya khawatir adalah dampak ekonomi," katanya.
Beberapa warga yang tidak menyadari kekacauan hingga pagi hari juga merasa cemas. "Saya pergi tidur sekitar jam 9 malam dan baru tahu tentang hal ini pada jam 6 pagi," kata Lee Jin-hong, 71 tahun. "Sangat mengecewakan melihat presiden mengabaikan Konstitusi."
Grup-grup orang tua online dan papan pesan mencerminkan kegelisahan tersebut, dengan banyak orang tua yang memutuskan untuk tidak membawa anak-anak mereka di rumah dari tempat penitipan anak atau prasekolah.
Orang tua dari para tentara sangat bingung. "Anak saya saat ini sedang menjalani wajib militer, dan saya belum bisa menghubunginya sejak kemarin," kata Baek, 51 tahun. "Tentara yang sedang cuti diperintahkan untuk kembali, dan teman-teman yang seharusnya dipulangkan hari ini ditunda. Ini pasti lebih buruk bagi divisi garis depan."
Situasi ini membangkitkan kenangan akan film "12.12: The Day," yang menggambarkan kudeta militer yang dimulai pada tahun 1979. Park Mi-young, 51 tahun, mengatakan, "Saya memikirkan anak saya yang sedang menjalani wajib militer. Melihat tentara di TV membuat hati saya sakit."
Mereka yang pernah mengalami masa darurat militer di masa lalu mengingat kembali rasa takut mereka. "Ini membawa kembali kenangan masa kecil saya," kata Heo, 55 tahun, yang baru saja kembali dari Vietnam untuk merayakan ulang tahun putrinya. "Saya pikir demokrasi telah mengakar kuat di Korea, tetapi keyakinan itu telah hancur."
Warga asing juga terkejut. Seorang warga negara Myanmar berusia 32 tahun, yang telah tinggal di Korea selama tiga tahun sebagai siswa pertukaran pelajar, mengatakan, "Saya bekerja pada shift malam di sebuah minimarket dan terus mengecek berita. Darurat militer sudah biasa terjadi di Myanmar, namun saya yakin warga Korea sangat kuat, jadi saya rasa hal ini tidak akan meningkat lebih jauh."
Pada malam ketika darurat militer diumumkan dan rumor menyebar tentang penutupan Majelis Nasional, sekitar 4.000 warga berkumpul di luar gedung Majelis, menurut laporan polisi tidak resmi. Beberapa di antaranya menginap, berjaga-jaga dan menyerukan pemakzulan Presiden Yoon.
Meskipun krisis yang terjadi telah berlalu, kegelisahan yang masih ada di antara warga Korea Selatan menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap kepemimpinan dan nilai-nilai demokrasi mungkin membutuhkan waktu untuk pulih.