Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Referendum untuk sebuah mandat

Presiden xia ul-haq mengadakan referendum untuk menjajaki pendapat rakyat tentang penggantian sistem hukum dan pemilihan anggota majelis nasional. zia tetap jalan proses islamisasinya. (ln)

29 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH dua kali membatalkan pemilihan umum yang pernah dijanjikannya, Presiden Zia ul-Haq menyelenggarakan sebuah referendum, Rabu pekan silam. Hasil pendahuluan: 98% suara yang masuk mengunggulkan Zia sebagai presiden. Tentang jumlah pemilih, walau suasana di sekitar kotak suara di Islarnabad atau Rawalpindi, umpamanya, terlihat sepi-sepi saja, Radio Pakistan memastikan 64% dari 35 juta warga negara yang berhak memilih telah menggunakan haknya. Kebenaran angka-angka itu sukar dicek. Ada laporan menyebutkan bahwa sejumlah orang memilih dua kali, dan ada pula pemilih tak terdaftar ikul memasukkan suara. Surat kabar Muslim, yang terbit di Islamabad, menyebutkan pemilih usia muda tampak kurang antusias, sedangkan pemilih wanita jauh lebih sediki ketimbang pemilih pria. Di Provinsi Sind, kabarnya, pemilih cuma sedikit, tapi laporan resmi menyatakan, mereka itu justru antre ke kotak suara Beberapa laporan pandangan mata itu dibantah keras kebenarannya oleh juru bicara pemerintah. Mengenai pemungutan suara di pedalaman, ada laporan menyebutkan, semuanya ternyata telah diatur. Bahkan di beberapa tempat tertentu disediakan bis khusus untuk mengangkut petani ke kotak suara. Suara paling sedikit untuk Zia hanyalah di Dera Bugti, Provinsi Baluchistan, satu dari 32 distrik pemilihan yang sejak dulu tangguh berdiri dipihak oposisi. Bukan tidak mungkin banyak hal yang gelap atau tidak beres. api hal-hal seperti itu tidak bisa dijadikan patokan oleh pengamat luar untuk mengukur berhasil tidaknya referendum. Pemungutan suara lewat surat, misalnya, sengaja dilakukan semata-mata agar tentara dan pegawai negeri turut memberikan suara tanpa kecuah. Di sampmg itu ada kekacauan di beberapa kotak suara yang telah pula menimbulkan tanda tanya. Referendum agaknya memang tidak bisa lebih baik. Selain persiapannya, yang secara resmi hanya dua minggu, selama tujuh tahun terakhir, sejak Zia berkuasa, barulah sekali ini dilancarkan pemungutan suara. Dengan disiplin politik yang dipraktekkan Zia selama ini, rakyat mungkin saja tidak siap. Mereka tidak lagi terlatih menyatakan pendapat, terutama setelah semua parpol dinyatakan terlarang. Dengan referendum, pemerintahan Zia ul Haq bermaksud menjajaki pendapat rakyat tentang dua hal: apakah mereka setuju pada usaha Presiden Zia untuk menggantikan sistem hukum gaya Inggris dengan hukum yang didasarkan pada Quran, serta apakah mereka mendukung rencana pemilu khusus memilih anggota Majelis Nasional. Rakyat tinggal menjawab: ya atau tidak. Jika ternyata mayoritas menyatakan ya, ini merupakan mandat baru bagi Zia untuk dapat memerintah selama lima tahun lagi. Ia menginginkan pemerintahannya dapat mewariskan sesuatu yang lebih baik kepada generasi muda ketimbang apa yang pernah diterima generasi masa kini dari pendahulu Zia. Yang dimaksud pendahulu, tentu saja rezim Zulfikar Ali Bhutto. Apa pun alasan Zia, referendum ini, menurut penilaian seorang diplomat Barat diIslamabad, tak ubahnya siasat pintar. Dalam tempo lima tahun, Zia tentu berkesempatan mengubah sistem politik, yan kelak akan bercorak Islam, sesuai dengan hasil referendum. Menurut Zia, sesudah lima tahun nanti pemilu akan benar-benar diadakan agar terbentuk pemerintahan baru. Kelak, para politisi bisa berperan lewat Majelis Nasional. "Demokrasi Islam mencakup semua unsur demokrasi," kata Zia dalamsebuah wawancara dengan Husain Haqqani dari Far Eastern Economic Review. "Perbedaan kedua sistem itu hanya pada prinsip." Prinsip yang dimaksudkannya mungkin bisa dilihat pada satu kenyataan ini: demokrasi ala Zia tidak akan mengizinkan adanya partai politik. Kepala pemerintahan, sebagai pemimpln umat, akan leblh bertanggung jawab kepada Tuhan ketimbang rakyat. Di bidang ekonomi, misalnya, sudah diberlakukan zakat, sementara bunga uang (riba) tidak diperkenankan. Hukum potong tangan untuk pencurian, rajam untuk zina, sudah pula dipraktekkan, dan cukup menghebohkan. Begitu pula ketentuan kontroversial yang menyebutkan bahwa kesaksian seorang wanita di pengadilan hanya bernilai setengah kesaksian seorang pria. Ketentuan ini bukan saja dianggap kuno, tapi juga diprotes banyak wanita, khususnya dari kalangan intelektual. Terlepas dari berbagai reaksi rakyat, yang 97% beragama Islam tapi terpecah dalam berbagai aliran, Zia tetap akan Jalan terus dengan proses Islamisasinya. Ia akan merasa lebih aman, karena referendum mengabsahkan proses tersebut. Tampaknya Zia mencatat satu lagi kemenangan, sementara pihak oposisi, yang berkonfrontasi, cuma bisa gigit jari. Sekjen Gerakan Pemulihan Demokrasi, Khawaja Khairuddin, hanya dapat mengatakan, "Referendum ini adalah pempuan terbesar yang pernah dilakukan atas nama Islam."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus