SUARA oposisi hampir tidak pernah terdengar di Singapura.
Kalaupun ada, itu tak lebih dari suara bisik-bisik. Tapi siapa
peduli. Toh selama 20 tahun di bawah pemerintahan Partai Aksi
Rakyat (PAP), Singapura mengalami kemajuan yang pesat di bidang
ekonomi. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 4000, negara
yang berpenduduk 2 « juta itu tergolong nomer 2 makmur di Asia
setelah Jepang.
Seorang intelektual muda keturunan Cina mengatakan pengaruh
kemakmuran itu terasa sekali di kalangan anak muda. "Hidup yang
ideal buat orang muda sekarang ini bagaikan memenuhi bilangan
satu, dua, tiga, empat dan lima," tambahnya. Artinya, satu
istri, dua anak, tiga kamar tidur, empat roda (mobil) dan lima
angka untuk gaji per tahun (di atas S$ 15 ribu atau sekitar Rp
4,5 juta).
Tapi cita-cita hibup serupa ini ternyata cukup mencelnaskan
kalangan pemimpin generasi tua. Anak muda Singapura seolah ingin
hidup enak tanpa memperhatikan kedaan sekelilingnya.
Di negara-kota yang luasnya 616,5 kmÿFD -- lebih besar sedikit
dari Jakarta (590 kmÿFD) -- tak terlihat anak di bawah umur 15
tahun menjajakan rokok di sepanjang jalan. Sesuatu yang berbeda
sekali dengan apa yang tampak di Manila, Bangkok atau Jakarta.
Kesan kemakmuran itu semakin terasa berhubung tidak ada anak
usia sekolah menjadi buruh kasar atau pekerja tetap. Selalu
tersedia pekerjaan untuk semua orang. Bahkan kekurangan tenaga
pekerja kasar hingga negara ini mengimpornya dari Muangthai,
Malaysia, Sri Lanka dan India. Ditaksir sekitar 20% tenaga
pekerja kasar datang dari luar, baik secara resmi maupun secara
gelap.
"Di sini tidak ada pengangguran. Asal mau kerja, mesti ada
pekerjaan," kata seorang anak muda. Maka ia juga hampir tidak
melihat persoalan politik. Tiada dorongan bagi pemuda ini untuk
ikut terlibat membicarakannya. Kalaupun ada keluhan,
paling-paling itu menyangkut hal perbaikan di lingkungan tempat
tinggal, atau terlalu tinggi pungutan biaya kebersihan di
perumahan rakyat.
Tapi tentu saja ada alasan lain tentang kenapa anak muda tidak
tertarik pada politik. Leong Choon Cheong dalam bukunya Youth in
the Army mengungkapkan berbagai pandangan anak muda yang
memasuki wajib militer. Ang Lek Moh (sebuah nama samaran),
misalnya, hanya berpendidikan kelas II sekolah menengah, tapi
sering membaca surat kabar.
Ketika ditanyakan pendapatnya tentang partai oposisi, Ang
rupanya lebih suka mengambil sikap menyerah dan patuh. "Tak ada
gunanya menentang pemerintah atau kekuasaan tertinggi," ujarnya.
"Sebagai orang biasa kita tidak akan pernah bisa mengerti atau
bisa mempengaruhi keputusan pemerintah itu."
Leong mengomentari pendapat Ang ini sebagai sesuatu yang blsa
dimengerti bila bertolak dari nilai tradisional Cina. Orang tua
secara hati-hati biasanya menanamkan pada anak-anaknya sikap
kepatuhan dan hormat pada penguasa. Ang bahkan tidak pernah
membicarakan masalah politik dengan keluarganya, temamnya atau
kawan sekerjanya.
"Berpolitik, untuk apa?" ujar seorang anak muda yang sering
mengikuti pertemuan internasional kepada TEMPO. Keterlibatan
anak muda dalam politik dianggapnya pekerjaan sia-sia. "Apalagi
menjadi anggota partai oposisi, akan lebih sia-sia lagi,"
tambahnya. Ia mengambil contoh Suppiah Dhanabalan yang belum
lama ini ditunjuk sebagai Menteri Luar legeri, dan Dr. Tony Tan
Keng Yami sebagai Menteri I'endidikan. Keduanya sebelum terpilih
menjadi anggota arlemen bukanlah orang partai, tapi bankir
terkemuka.
"Di sini tidak di3utuhkan pemimpin massa, tapi diperlukan
teknokrat," kata seorang penyair keturunan Melayu. Ia punya
rumusah yang lebih tegas tentang kesia-siaan berpolitik. "Walau
terlibat dalam kegiatan politik, orang di sini tidak akan pernah
jadi politikus," tambahnya.
Dengan katalah, ada semacam kepercayaan bahwa keterlibatan dalam
organisasi politik atau melakukan kegiatan sejenis itu bukanlah
satu-satunya cara untuk ikut memperbaiki keadaan Pemuda
Singapura tampaknya hampir menyerahkan secara bulat-bulat urusan
kemajuan negara itu kepada pemerintah yang berkuasa.
SEMENTARA itu hampir tidak ada soal yang bisa diangkat
kepermukaan untuk menyerang pemerintahan PM Lee Kuan Yew.
Periode huru-hara pada awal kemerdekaan Singapura tahun 1959
sampai pertengahan '60-an terbilang selesai. Bahkan sejak pemilu
1968, PAP yang dipimpin Lee Kuan Yew berhasil menang mutlak.
Semua 58 kursi di parlemen dikuasai PAP tanpa ada satu partai
oposisi yang terwakili dalam lembaga itu. Karena bertambah
daerah pemilihan, PAP pada pemilu 1976 menguasai semua 69 kursi
di parlemen. Resar duaan bahwa PAP akan menang lagi dalam
pemilu yang mungkin diadakan sebelum akhir tahun ini juga.
Sikap anak muda umumnya tidak peduli dan membiarkan pemerintah
berjalan sendiri. "Sikap serupa ini tentu saja tidak bisa
berlangsung selamanya," kata Dr. Tony Tan kepada TEMPO . Karena
ada masanya para pemimpin generasi tua harus mundur, misalnya,
karena umur. "Bila saat itu datang adalah tugas generasi
berikutnya untuk mengambil alih," tambahnya.
Generasi muda khususnya yang lahir setelah Singapura merdeka
(1959), menikmati hidup manja dan empuk. "Sikap generasi setelah
kemerdekaan ini merupakan ancaman dari dalam terhadap negara
pada dekade ini," kata Wakil PM Sinathamby Rajaratnam.
Belakangan ini banyak pelajar yang menghabiskan waktunya di
pusat pertokoan. Termasuk di tempat penjualan Mac-Donald, sebuah
perusahaan Amerika yang memiliki cabang hampir di seluruh kota
terkemuka di dunia yang menjual hamburger. Sepanjang hari tempat
penjualan Mac-Donald dikunjungi anak muda yang
berbincang-bincang sambil menikmati makanan khas Amerika itu.
Kejadian ini sempat menarik perhatian epala Sekolah
Anglo-Chinese Junior College, Chee Keng Lim. Harian The Straits
Times melaporkan bahwa kepala sekolah itu banyak menerima
laporan mengenai tingkah anak didiknya yang menghabiskan waktu
mereka di pusat pertokoan dan tempat penjualan Mac-Donald. "Saya
tidak melarang mereka ke Mac-Donald, cuma jangan habiskan waktu
di situ," ujarnya. Chee menganjurkan para pelajar itu agar
menggunakan waktu di luar sekolah untuk membantu kerja sosial.
Tingkah anak muda ini merupakan "kecenderungan nasional, sebagai
akibat kemakmuran," kata Dr. Tony Tan. Maka dianggapnya perlu
untuk menarik perhatian anak muda itu, antara lain dengan
mengadakan pendidikan moral di sekolah.
Dalam rangkaian pendidikan moral ini, pemerintah mulai memberi
lampu hijau bagi pelajaran agama di sekolah-sekolah. Sebelumnya
mata pelajaran agama tidak boleh diajarkan di sekolah umum,
meskipun sekolah itu milik organisasi keagamaan. Misalnya,
sekolah Methodist tidak boleh mengajarkan mata pelajaran agama
Kristen.
Kini pendidikan agama di sekolah dianggap perlu sebagai salah
satu cara untuk menumbuhkan nilai kebersamaan dan memperhatikan
nasib orang lain. Namun ini lebih sulit dibanding mengajarkan
mathematik, ujar Dr. Tony Tan."Dan hasilnya jangan diharapkan
dalam setahun."
Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran politik di kalangan
pelajar dan mahasiswa juga terbuka. Contoh: seminar mengenai
Serikat Buruh diselenggarakan untuk pelajar pre-university
(setingkat dengan SMA kelas II & III). Dalam seminar itu secara
langsung pelajar dilibatkan pada masalah yang dihadapi Serikat
Buruh. "Ini suatu usaha untuk mempersiapkan kepemimpinan
generasi masa datang yang akan berbeda dalam gaya dengan
generasi sebelumnya," kata Dr. Tony Tan.
Begitupun, hal utama bagi Singapura adalah bagaimana melahirkan
tenaga terdidik yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi negara itu.
Hal ini pernah dikemukakan PM Lee Kuan Yew dalam suatu pidato di
Universitas ingapura, Mei lalu. Besar sekali kel utuhan negara
itu kan tenaga terdidik untuk melayani teknologi maju. Prioritas
pendidikan tinggi lebih banyak ditujukan untuk menghasilkan
ahli di bidang teknik, pendidikan manajemen, kedokteran dan
hukum.
Mungkin karena pendidikan yang sudah begitu terarah, sistem
rekrut dalam bidang politik pun disesuaikan dengan kebutuhan
negara itu. Hal ini terlihat betul, misalnya, ketika PAP
merekrut 'generasi kedua' untuk ambil bagian dalam pemerintahan.
Sebelum terpilih sebagai anggota parlemen, mereka pernah sukses
dalam karir di luar pemerintahan.
Dr. Tony Tan Keng Yam, 40 tahun, sebelum jadi anggota parlemen
Februari 1979, adalah General Manajer Overseas Chinese Banking
Corporation (OCBC). Ia juga Ketua Dewan Perbankan Asean di
samping sebagai Ketua Perusahaan Bis Singapura (SBS). "Dulu
ketika masa sekolah cita-cita saya sebenarnya menjadi ilmiawan
terkemuka," katanya. Dan begitu jadi bakir, ia mengaku
bercita-cita jadi bankit terkemuka. Namun perjalanan hidup
ternyata membawanya terjun ke politik.
"Saya tak tahu persis siapa yang memberikan rekomendasi untuk
dicalonkan sebagai anggota parlemen," ujar Tony Tan. Ia sebelum
itu tidak pernah aktif dalam PAP. Di Singapura seorang menteri
harus terlebih dulu jadi anggota parlemen, artinya harus punya
dukungan suara dari suatu daerah pemilihan.
Tapi mungkin PM Lee sendiri mencalonkannya. Ketika kampanye
berlangsung di daerah pemilihan Sembawang, Lee ikut
mengampanyekan Tony Tan. "Untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dalam 2 dekade mendatang, Singapura mesti mencari orang-orang
yang memiliki otak, keberanian dan perasaan," kata Lee. Dan ia
mengatakan bahwa Tony Tan adalah orang yang tepat untuk
mewakili mereka.
Tony Tan adalah satu di antara 7 orang 'pemimpin generasi kedua'
yang tampaknya sudah dipersiapkan untuk menggantikan garda lama
(old guards) -- kelompok generasi Lee, Rajaratnam dan Goh Keng
Swee. Yang lainnya adalah, Goh Chok Tong, 39 tahun, Menteri
Perdagangan dan Industri. Ia terpilih sebagai anggota parlemen
tahun 1976. Sebelum itu Goh jadi anggota direksi Neptune Orient
Lines Ltd. Belakangan ini, Goh yang bertubuh tinggi tegap dan
agak mirip Lee itu banyak disebut-sebut sebagai PM masa depan.
Goh diangkat sebagai Menteri Negara bidang Keuangan September
1977 dan baru Maret tahun lalu jadi Menteri Perdagangan dan
Industri. Ketika menemani Lee menghadiri KTT Negara
Persemakmuran di Lusaka, tahun lalu, Goh tidak berada dalam
pesawat yang ditumpangi sang PM. Laporan The Straits Times
tentang terpisahnya pesawat yang ditumpangi Lee dan Goh
tampaknya sengaja ditampilkan untuk memberi kesan bahwa ia
adalah seorang calon pengganti.
Tokoh lainnya adalah Suppiah Dhanabalan, 42 tahun, ia baru awal
Juni lalu diangkat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan
Rajaratnam. Walaupun masih di bawah bayang-bayang tokoh garda
lama itu, Dhanabalan mulai ditampilkan dalam pertemuan Menlu
Negara ASEAN di Kuala Lumpur pekan lalu. Ia juga seorang bankir
sebelum terjun ke politik.
Nama-nama lainnya yang tergolong sebagai 'pemimpin generasi
kedua' adalah Bernard Chen (37 tahun, Menteri Negara bidang
Pertahanan), Ong Teng Cheong (44 tahun, Menteri Perhubungan dan
Akting Menteri Kebudayaan), dan Dr. Ahmad Mattar (41 tahun,
Akting Menteri Urusan Sosial, satu-satunya turunan Melayu). Satu
lagi tokoh yang tidak duduk dalam pemerintahan tapi punya posisi
yang cukup penting adalah Lim Chee Onn, 35 tahun, Sekretaris
Jenderal Dewan Nasional Serikat Buruh (NTUC).
PM Lee Kuan Yew, 56 tahun, sebenarnya belumlah akan segera
pensiun. Tapi sejak 2 tahun yang lalu ia tampaknya begitu getol
untuk mempersiapkan kepemimpinan masa datang. Dan secara terbuka
Lee selalu mengutarakan masalah pergantian generasi kepemimpinan
ini. Bahkan ia sendiri sudah memberi isyarat akan pensiun pada
umur 65 tahun. "Tak seorang pun mengetahui kualitas kepemimpinan
seorang calon sebelum ia 'dilemparkan ke dalam kolam yang paling
dalam'," kata Lee, 2 tahun lalu. Artinya seorang calon pemimpin
masa datang haruslah orang sudah teruji dalam memecahkan masalah
yang dihadapi Singapura.
Menurut seorang pejabat Singapura, gaji menteri sekitar US$ 4000
sebulan -- termasuk rendah bila dibandingkan dengan
penghasilannya di sektor swasta. "Jadi menteri itu sebenarnya
suatu pengorbanan, apalagi kebebasan pribadi hampir terkekang,"
ujar pejabat itu.
Namun proses pergantian kepemimpinan yang berada di bawah
kendali Lee Kuan Yew ini tentu saja tidak bisa di lepaskan
dengan faktor PAP, partai yang berkuasa di republik itu. PAP
boleh dikata tak punya saingan berat. "Bagaimana kami bisa
menyaingi PAP, batas daerah pemilihan mereka yang menentukan,"
ujar Haji A. Rahman Zin, Ketua Pertubuhan Kebangsaan Melayu
Singapura (PKMS).
Keluhan Rahman Zin ini timbul sejak pemerintah
membangunperumahan rakyat yang berakibat tempat tinggal orang
turunan Melayu terpencar. Dengan sistem 1 wakil dari setiap
daerah pemilihan, PKMS tak mampu menyaingi PAP. Apalagi PKMS
selama ini hanya mengharapkan suara dari kelompok masyarakat
turunan Melayu.
Partai oposisi lainnya--yaitu Partai Pekerja (WP), Partai
Persatuan Rakyat (UPP), Front Persatuan Rakyat (UPF) dan Barisan
Sosialis -- juga tak bisa mengalahkan calon PAP. Mungkin karena
itu pula Lee Kuan Yew bisa terus mencobakan 'ujian kepemimpinan'
dalam regenerasi gaya Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini