Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Regenerasi gaya singapura menggodok garda kedua

Pm lee kuan yew mempersiapkan pemimpin generasi ke-2, generasi muda singapura bersikap apolitis pendapat berbagai kalangan, wawancara dengan lee kuan yew. (ln)

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA oposisi hampir tidak pernah terdengar di Singapura. Kalaupun ada, itu tak lebih dari suara bisik-bisik. Tapi siapa peduli. Toh selama 20 tahun di bawah pemerintahan Partai Aksi Rakyat (PAP), Singapura mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 4000, negara yang berpenduduk 2 « juta itu tergolong nomer 2 makmur di Asia setelah Jepang. Seorang intelektual muda keturunan Cina mengatakan pengaruh kemakmuran itu terasa sekali di kalangan anak muda. "Hidup yang ideal buat orang muda sekarang ini bagaikan memenuhi bilangan satu, dua, tiga, empat dan lima," tambahnya. Artinya, satu istri, dua anak, tiga kamar tidur, empat roda (mobil) dan lima angka untuk gaji per tahun (di atas S$ 15 ribu atau sekitar Rp 4,5 juta). Tapi cita-cita hibup serupa ini ternyata cukup mencelnaskan kalangan pemimpin generasi tua. Anak muda Singapura seolah ingin hidup enak tanpa memperhatikan kedaan sekelilingnya. Di negara-kota yang luasnya 616,5 kmÿFD -- lebih besar sedikit dari Jakarta (590 kmÿFD) -- tak terlihat anak di bawah umur 15 tahun menjajakan rokok di sepanjang jalan. Sesuatu yang berbeda sekali dengan apa yang tampak di Manila, Bangkok atau Jakarta. Kesan kemakmuran itu semakin terasa berhubung tidak ada anak usia sekolah menjadi buruh kasar atau pekerja tetap. Selalu tersedia pekerjaan untuk semua orang. Bahkan kekurangan tenaga pekerja kasar hingga negara ini mengimpornya dari Muangthai, Malaysia, Sri Lanka dan India. Ditaksir sekitar 20% tenaga pekerja kasar datang dari luar, baik secara resmi maupun secara gelap. "Di sini tidak ada pengangguran. Asal mau kerja, mesti ada pekerjaan," kata seorang anak muda. Maka ia juga hampir tidak melihat persoalan politik. Tiada dorongan bagi pemuda ini untuk ikut terlibat membicarakannya. Kalaupun ada keluhan, paling-paling itu menyangkut hal perbaikan di lingkungan tempat tinggal, atau terlalu tinggi pungutan biaya kebersihan di perumahan rakyat. Tapi tentu saja ada alasan lain tentang kenapa anak muda tidak tertarik pada politik. Leong Choon Cheong dalam bukunya Youth in the Army mengungkapkan berbagai pandangan anak muda yang memasuki wajib militer. Ang Lek Moh (sebuah nama samaran), misalnya, hanya berpendidikan kelas II sekolah menengah, tapi sering membaca surat kabar. Ketika ditanyakan pendapatnya tentang partai oposisi, Ang rupanya lebih suka mengambil sikap menyerah dan patuh. "Tak ada gunanya menentang pemerintah atau kekuasaan tertinggi," ujarnya. "Sebagai orang biasa kita tidak akan pernah bisa mengerti atau bisa mempengaruhi keputusan pemerintah itu." Leong mengomentari pendapat Ang ini sebagai sesuatu yang blsa dimengerti bila bertolak dari nilai tradisional Cina. Orang tua secara hati-hati biasanya menanamkan pada anak-anaknya sikap kepatuhan dan hormat pada penguasa. Ang bahkan tidak pernah membicarakan masalah politik dengan keluarganya, temamnya atau kawan sekerjanya. "Berpolitik, untuk apa?" ujar seorang anak muda yang sering mengikuti pertemuan internasional kepada TEMPO. Keterlibatan anak muda dalam politik dianggapnya pekerjaan sia-sia. "Apalagi menjadi anggota partai oposisi, akan lebih sia-sia lagi," tambahnya. Ia mengambil contoh Suppiah Dhanabalan yang belum lama ini ditunjuk sebagai Menteri Luar legeri, dan Dr. Tony Tan Keng Yami sebagai Menteri I'endidikan. Keduanya sebelum terpilih menjadi anggota arlemen bukanlah orang partai, tapi bankir terkemuka. "Di sini tidak di3utuhkan pemimpin massa, tapi diperlukan teknokrat," kata seorang penyair keturunan Melayu. Ia punya rumusah yang lebih tegas tentang kesia-siaan berpolitik. "Walau terlibat dalam kegiatan politik, orang di sini tidak akan pernah jadi politikus," tambahnya. Dengan katalah, ada semacam kepercayaan bahwa keterlibatan dalam organisasi politik atau melakukan kegiatan sejenis itu bukanlah satu-satunya cara untuk ikut memperbaiki keadaan Pemuda Singapura tampaknya hampir menyerahkan secara bulat-bulat urusan kemajuan negara itu kepada pemerintah yang berkuasa. SEMENTARA itu hampir tidak ada soal yang bisa diangkat kepermukaan untuk menyerang pemerintahan PM Lee Kuan Yew. Periode huru-hara pada awal kemerdekaan Singapura tahun 1959 sampai pertengahan '60-an terbilang selesai. Bahkan sejak pemilu 1968, PAP yang dipimpin Lee Kuan Yew berhasil menang mutlak. Semua 58 kursi di parlemen dikuasai PAP tanpa ada satu partai oposisi yang terwakili dalam lembaga itu. Karena bertambah daerah pemilihan, PAP pada pemilu 1976 menguasai semua 69 kursi di parlemen. Resar duaan bahwa PAP akan menang lagi dalam pemilu yang mungkin diadakan sebelum akhir tahun ini juga. Sikap anak muda umumnya tidak peduli dan membiarkan pemerintah berjalan sendiri. "Sikap serupa ini tentu saja tidak bisa berlangsung selamanya," kata Dr. Tony Tan kepada TEMPO . Karena ada masanya para pemimpin generasi tua harus mundur, misalnya, karena umur. "Bila saat itu datang adalah tugas generasi berikutnya untuk mengambil alih," tambahnya. Generasi muda khususnya yang lahir setelah Singapura merdeka (1959), menikmati hidup manja dan empuk. "Sikap generasi setelah kemerdekaan ini merupakan ancaman dari dalam terhadap negara pada dekade ini," kata Wakil PM Sinathamby Rajaratnam. Belakangan ini banyak pelajar yang menghabiskan waktunya di pusat pertokoan. Termasuk di tempat penjualan Mac-Donald, sebuah perusahaan Amerika yang memiliki cabang hampir di seluruh kota terkemuka di dunia yang menjual hamburger. Sepanjang hari tempat penjualan Mac-Donald dikunjungi anak muda yang berbincang-bincang sambil menikmati makanan khas Amerika itu. Kejadian ini sempat menarik perhatian epala Sekolah Anglo-Chinese Junior College, Chee Keng Lim. Harian The Straits Times melaporkan bahwa kepala sekolah itu banyak menerima laporan mengenai tingkah anak didiknya yang menghabiskan waktu mereka di pusat pertokoan dan tempat penjualan Mac-Donald. "Saya tidak melarang mereka ke Mac-Donald, cuma jangan habiskan waktu di situ," ujarnya. Chee menganjurkan para pelajar itu agar menggunakan waktu di luar sekolah untuk membantu kerja sosial. Tingkah anak muda ini merupakan "kecenderungan nasional, sebagai akibat kemakmuran," kata Dr. Tony Tan. Maka dianggapnya perlu untuk menarik perhatian anak muda itu, antara lain dengan mengadakan pendidikan moral di sekolah. Dalam rangkaian pendidikan moral ini, pemerintah mulai memberi lampu hijau bagi pelajaran agama di sekolah-sekolah. Sebelumnya mata pelajaran agama tidak boleh diajarkan di sekolah umum, meskipun sekolah itu milik organisasi keagamaan. Misalnya, sekolah Methodist tidak boleh mengajarkan mata pelajaran agama Kristen. Kini pendidikan agama di sekolah dianggap perlu sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan nilai kebersamaan dan memperhatikan nasib orang lain. Namun ini lebih sulit dibanding mengajarkan mathematik, ujar Dr. Tony Tan."Dan hasilnya jangan diharapkan dalam setahun." Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran politik di kalangan pelajar dan mahasiswa juga terbuka. Contoh: seminar mengenai Serikat Buruh diselenggarakan untuk pelajar pre-university (setingkat dengan SMA kelas II & III). Dalam seminar itu secara langsung pelajar dilibatkan pada masalah yang dihadapi Serikat Buruh. "Ini suatu usaha untuk mempersiapkan kepemimpinan generasi masa datang yang akan berbeda dalam gaya dengan generasi sebelumnya," kata Dr. Tony Tan. Begitupun, hal utama bagi Singapura adalah bagaimana melahirkan tenaga terdidik yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi negara itu. Hal ini pernah dikemukakan PM Lee Kuan Yew dalam suatu pidato di Universitas ingapura, Mei lalu. Besar sekali kel utuhan negara itu kan tenaga terdidik untuk melayani teknologi maju. Prioritas pendidikan tinggi lebih banyak ditujukan untuk menghasilkan ahli di bidang teknik, pendidikan manajemen, kedokteran dan hukum. Mungkin karena pendidikan yang sudah begitu terarah, sistem rekrut dalam bidang politik pun disesuaikan dengan kebutuhan negara itu. Hal ini terlihat betul, misalnya, ketika PAP merekrut 'generasi kedua' untuk ambil bagian dalam pemerintahan. Sebelum terpilih sebagai anggota parlemen, mereka pernah sukses dalam karir di luar pemerintahan. Dr. Tony Tan Keng Yam, 40 tahun, sebelum jadi anggota parlemen Februari 1979, adalah General Manajer Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC). Ia juga Ketua Dewan Perbankan Asean di samping sebagai Ketua Perusahaan Bis Singapura (SBS). "Dulu ketika masa sekolah cita-cita saya sebenarnya menjadi ilmiawan terkemuka," katanya. Dan begitu jadi bakir, ia mengaku bercita-cita jadi bankit terkemuka. Namun perjalanan hidup ternyata membawanya terjun ke politik. "Saya tak tahu persis siapa yang memberikan rekomendasi untuk dicalonkan sebagai anggota parlemen," ujar Tony Tan. Ia sebelum itu tidak pernah aktif dalam PAP. Di Singapura seorang menteri harus terlebih dulu jadi anggota parlemen, artinya harus punya dukungan suara dari suatu daerah pemilihan. Tapi mungkin PM Lee sendiri mencalonkannya. Ketika kampanye berlangsung di daerah pemilihan Sembawang, Lee ikut mengampanyekan Tony Tan. "Untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam 2 dekade mendatang, Singapura mesti mencari orang-orang yang memiliki otak, keberanian dan perasaan," kata Lee. Dan ia mengatakan bahwa Tony Tan adalah orang yang tepat untuk mewakili mereka. Tony Tan adalah satu di antara 7 orang 'pemimpin generasi kedua' yang tampaknya sudah dipersiapkan untuk menggantikan garda lama (old guards) -- kelompok generasi Lee, Rajaratnam dan Goh Keng Swee. Yang lainnya adalah, Goh Chok Tong, 39 tahun, Menteri Perdagangan dan Industri. Ia terpilih sebagai anggota parlemen tahun 1976. Sebelum itu Goh jadi anggota direksi Neptune Orient Lines Ltd. Belakangan ini, Goh yang bertubuh tinggi tegap dan agak mirip Lee itu banyak disebut-sebut sebagai PM masa depan. Goh diangkat sebagai Menteri Negara bidang Keuangan September 1977 dan baru Maret tahun lalu jadi Menteri Perdagangan dan Industri. Ketika menemani Lee menghadiri KTT Negara Persemakmuran di Lusaka, tahun lalu, Goh tidak berada dalam pesawat yang ditumpangi sang PM. Laporan The Straits Times tentang terpisahnya pesawat yang ditumpangi Lee dan Goh tampaknya sengaja ditampilkan untuk memberi kesan bahwa ia adalah seorang calon pengganti. Tokoh lainnya adalah Suppiah Dhanabalan, 42 tahun, ia baru awal Juni lalu diangkat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan Rajaratnam. Walaupun masih di bawah bayang-bayang tokoh garda lama itu, Dhanabalan mulai ditampilkan dalam pertemuan Menlu Negara ASEAN di Kuala Lumpur pekan lalu. Ia juga seorang bankir sebelum terjun ke politik. Nama-nama lainnya yang tergolong sebagai 'pemimpin generasi kedua' adalah Bernard Chen (37 tahun, Menteri Negara bidang Pertahanan), Ong Teng Cheong (44 tahun, Menteri Perhubungan dan Akting Menteri Kebudayaan), dan Dr. Ahmad Mattar (41 tahun, Akting Menteri Urusan Sosial, satu-satunya turunan Melayu). Satu lagi tokoh yang tidak duduk dalam pemerintahan tapi punya posisi yang cukup penting adalah Lim Chee Onn, 35 tahun, Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Serikat Buruh (NTUC). PM Lee Kuan Yew, 56 tahun, sebenarnya belumlah akan segera pensiun. Tapi sejak 2 tahun yang lalu ia tampaknya begitu getol untuk mempersiapkan kepemimpinan masa datang. Dan secara terbuka Lee selalu mengutarakan masalah pergantian generasi kepemimpinan ini. Bahkan ia sendiri sudah memberi isyarat akan pensiun pada umur 65 tahun. "Tak seorang pun mengetahui kualitas kepemimpinan seorang calon sebelum ia 'dilemparkan ke dalam kolam yang paling dalam'," kata Lee, 2 tahun lalu. Artinya seorang calon pemimpin masa datang haruslah orang sudah teruji dalam memecahkan masalah yang dihadapi Singapura. Menurut seorang pejabat Singapura, gaji menteri sekitar US$ 4000 sebulan -- termasuk rendah bila dibandingkan dengan penghasilannya di sektor swasta. "Jadi menteri itu sebenarnya suatu pengorbanan, apalagi kebebasan pribadi hampir terkekang," ujar pejabat itu. Namun proses pergantian kepemimpinan yang berada di bawah kendali Lee Kuan Yew ini tentu saja tidak bisa di lepaskan dengan faktor PAP, partai yang berkuasa di republik itu. PAP boleh dikata tak punya saingan berat. "Bagaimana kami bisa menyaingi PAP, batas daerah pemilihan mereka yang menentukan," ujar Haji A. Rahman Zin, Ketua Pertubuhan Kebangsaan Melayu Singapura (PKMS). Keluhan Rahman Zin ini timbul sejak pemerintah membangunperumahan rakyat yang berakibat tempat tinggal orang turunan Melayu terpencar. Dengan sistem 1 wakil dari setiap daerah pemilihan, PKMS tak mampu menyaingi PAP. Apalagi PKMS selama ini hanya mengharapkan suara dari kelompok masyarakat turunan Melayu. Partai oposisi lainnya--yaitu Partai Pekerja (WP), Partai Persatuan Rakyat (UPP), Front Persatuan Rakyat (UPF) dan Barisan Sosialis -- juga tak bisa mengalahkan calon PAP. Mungkin karena itu pula Lee Kuan Yew bisa terus mencobakan 'ujian kepemimpinan' dalam regenerasi gaya Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus