Gaya Syah dengan industrialisasi kardus" jelas ditinggalkan. Dan
kaum tani diperhatikan. Tapi kaum bazaari yang berjasa ingin
ekonomi liberal, kekuatan kapitalis domestik.
"Syab pergi, Iran akan jadi Iran yang baik ".
-- Ayatollah Khomeini.
TAPI Syah bukanlah hanya kotoran di kulit Iran. Ia terhapus,
namun Iran tidak serta merta jadi "Iran yang baik".
Omoi Bani N., 40 tahun, adalah ibu dari 8 anak. Enam di
antaranya masih jadi tanggungannya. Suaminya lumpuh akibat
kecelakaan kerja. Ia tinggal di sebuah daerah miskin yang rendah
di bagian selatan Teheran. Tiap hari ia bangun jam 5 pagi dan
tidur tengah malam, mencari pekerjaan. Biasanya itu
mendapatkannya sewaktu-waktu, bila salah satu kenalannya
berhalangan dan bisa ia gantikan.
Dalam 6 bulan, ia beroleh 30.000 riyal. Salah seorang anak
gadisnya jadi pelacur. Anak inilah yang mengiriminya uang
penambah bekal hidup. "Saya tak takut lagi kini," katanya dengan
airmata. Ketika ditanya tentang revolusi yang dipimpin Khomeini,
ia menjawab "Revolusi yang mana?"
Wartawan Ahmad Faroughy, yang menuliskan cerita itu dalam
bulanan Perancis Le onl Diplomatique (Juni 1979), nampaknya
juga seorang yang kecewa terhad:Ip hasil revolusi Khomeini. Tapi
adilkah untuk kecewa? Sang ayatollah sendiri membela revolusinya
dalam wawancaranya dengan wartawan wanita Oriana Fallaci
September yang silam, dengan menyebutkan bahwa revolusi barulah
berumur 6 bulan -- ibarat bayi yang belum bisa berbuat banyak.
Memang berlebihan menuntut mukjizat biarpun dari sebuah revolusi
yang memakai nama agama dan menyebut Allahu Akbar. Tapi toh di
Iran kini orang menunggu arah yang lebih teratur dari Khomeini
di bidang perekonomian. Dengan perginya Bazargan dari
pemerintahan, makin jelas bahwa gerak Iran sangat tergantung
pada ucapan ulama besar yang kini menerima panggilan "Imam" itu
-- suatu gelar luarbiasa dalam sejarah Islam Syi'ah.
AKAN dibawa kemanakah ekonomi Iran? Pertanyaan itu sangat
penting bagi para pemegang pimpinan revolusi sendiri. Nampaknya
jelas bahwa cara pembangunan gaya Syah akan ditinggalkan. Di
masa Syah industrialisasi dijalankan, tapi yang terjadi
sebenarnya struktur industrialisasi "kardus".
Lambangnya adalah pabrik mobil General Motors (45% sahamnya
dimiliki perusahaan Amerika itu), yang merakit mobil Cadillac
ber-AC. Praktis semua unsurnya didatangkan dari luar negeri.
Pasaran untuk industri serba perakitan semacam ini terbatas, dan
dalam banyak hal dibikin-bikin.
Kalangan yang kini berkuasa menghendaki lain. Sekitar paling
sedikit 25% industri Iran dianggap tidak sehat, karena dasarnya
bukan kebutuhan yang kokoh, dan akan ditiadakan. Teknologi akan
diimpor bukan dari perusahaan multinasional yang padat-modal,
melainkan dari negeri-negeri Eropa yang lebih kecil.
Pertanian nampaknya akan dapat perhatian khusus. "Yang harus
kita lakukan ialah menghidupkan kembali pertanian Iran," kata
Ibrahim Yazdi, sewaktu ia masih wakil perdana menteri untuk
urusan revolusi. "Itulah kunci pembangunan ekonomi kami. "
Khomeini juga mengatakan bahwa konsentrasi pertama akan
diletakkan di bidang pertanian. "Rezim Syah telah membiarkan
pertanian negeri kami berantakan," katanya dalam satu wawancara.
Iran yang pernah swa-sembada dalam pangan, di bawah Syah memang
jadi importir kelas berat. Menurut penilaian para pengecamnya,
Syah terlampau menekankan pertumbuhan pertanian yang diolah oleh
perusahaan-perusahaan besar, pertanian kolektif atau agribisnis,
yang meliputi 40% dari produksi. Sementara itu, 60% lainnya yang
merupakan sumbangan para petani tak cukup dlgalakkan.
Ternyata 15 tahun pertama sejak landr rm tahun 1962, produksi
agraria paling tinggi 3% setahun -- di bawah angka kenaikan
jumlah penduduk. Permintaan pun mendaki sampai 12% setahun di
pertengahan 1970-an. Ini dipenuhi dengan impor yang kian banyak
dan disubsidi secara besar-besaran.
Dalam rencana pembangunan ke-5 dana untuk pertanian memang
ditambah, tapi para petani pasif saja. Tak ada gerakan kaum tani
yang menampung langkah-langkah pemerintah itu ke arah mobilisasi
peningkatan produksi. Yang dipertaruhkan cuma aparat birokrasi.
Di bawah pemerintahan baru, produksi pertanian memang masih
nampak baik, mengatasi guncangan revolusi. Kebetulan cuaca
membantu, dan sewaktu di pembuangan Ayatollah Khomeini telah
menyerukan pada musim gugur yang silam agar para petani menanam
sebanyak mungkin gandum. Sementara itu dekat sebelum Syah jatuh,
Raja itu sempat menaikkan harga gandum dalam negeri sebesar 40%.
Pemerintah baru melipatgandakan tindakan Syah itu, dan hasilnya
kini sangat membantu keadaan pertanian.
Namun peternakan guncang juga oleh revolusi. Sebelum revolusi
80% daging untuk Iran diproduksi dalam negeri. Kekacauan masa
bergolak ternyata tak menyebabkan terjadi kekurangan daging,
karena persediaan ternak yang ada disembelih. Namun tahun depan
impor daging akan lebih banyak dilakukan, sebelum persediaan
ternak dipulihkan kembali.
Dewasa ini subsidi diberikan pemerintah untuk membatasi kenaikan
harga daging impor. Hal ini berlaku di masa Syah untuk gandum.
Pemerintah yang baru, sebelum produksi dalam negeri mencukupi,
mungkin juga akan terpaksa melakukan hal yang sama -- dan bisa
berakibat para petani terpukul lagi.
Sementara ini yang benar terpukul ialah sektor industri. Memang
ada industriawan, khususnya di bidang tekstil, yang dapat angin
baik. Para pesaing yang kalang-kabut oleh revolusi tak bisa jadi
pesaing lagi. Tapi di pabrik-pabrik lain para buruh mengambil
alih perusahaan. Masalahnya kemudian: bagaimana mereka akan
mempertanggungjawabkan kredit bila perusahaan itu harus
meningkatkan produksinya yang baru kacau? Bahkan mereka yang
optimis di kalangan pemerintah hanya berani menaksir bahwa perlu
setahun untuk mengembalikan pabrik-pabrik dari kekacauan ini.
Perusahaan konstruksi lebih parah lagi. Di masa Syah ini
merupakan industri terbesar, yang mempekerjakan sekitar 1,2 juta
orang -- atau hampir sepertiga dari seluruh jumlah pekerja di
lingkungan pabrik. Kini sebagian besar dari 1,2 juta manusia itu
menganggur. Di pabrik yang dikontrol buruh, gaji tetap dibayar
--bahkan ada yang naik -- walaupun pekerjaan nihil. Tapi di
bidang konstruksi, upah merosot dari 600 sampai 1.000 riyal
pra-revolusi menjadi 500 riyal.
Yang baik nasibnya ialah kaum bazaari, kaum pedagang tradisional
di kota-kota, yang punya jasa besar dalam membiayai revolusi
Islam. Sebelum revolusi, banyak di antara mereka yang kelas
kakap, dan kini bukan mereka yang terpukul oleh perubahan
politik-sebab mereka tidak memegang industri besar. Suara mereka
dalam langkah pemhangunan pemerintah baru pasti akan
berpengaruh. Arahnya nampaknya jelas ke arah suatu perekonomian
liberal.
MANIAN, sekretaris jenderal perhimpunan para pedagang di
Teheran, mengatakan dalam suatu wawancara: "Pemerintah Islam
yang baru harus menyerahkan sektor-sektor tertentu yang telah
dinasionalisasi kepada sektor swasta, misalnya industri
petrokimia." Katanya lebih tegas lagi "dalam Iran yang baru,
hukum pasarlah -- tentang penawaran dan permintaan -- yang harus
berlaku, tanpa campur tangan pemerintah." Ia menolak kapitalisme
luar, tapi menganjurkan "ditumbuhkannya kekuatan kapitalisme
domestik dan nasional. "
Pendirian seperti ini tentu saja bertentangan dengan gagasan
Mehdi Bazargan dan sekutu politiknya: salah satu dasar ideologi
nasionalisme bagi mereka ialah penghargaan kepada peranan
negara. Selama ini, sebelum berhenti, Bazargan mencoba seperti
yang dilakukan di banyak negara berkembang yang bukan komunis:
penggabungan dana publik dengan modal swasta, sementara sektor
penting seperti minyak dan petrokimia dipegang negara.
Sejauh ini, bentrokan pendapat dalam urusan ekonomi belum,
terdengar. Bazargan mundur karena tak kuat lagi dicampurtangani
orang-orang Khomeini, yang menilai dia "tak cukup revolusioner."
Dan bagaimana pendirian kaum ulama? Konsepsi perekonomian Imam
Khomeini umumnya dianggap belum jelas benar. Ia memang
menganjurkan hidup yang sangat sederhana - dan ia sendiri
menjalankannya. Ia mengecam kehidupan materiil, dan mengritik
tajam "para pedagang yang menjual mahal." Ia menyerukan
berdirinya "bank Islam" yang tanpa bunga, serta membagikan air
dan listrik secara ratis kepada fakir miskin. Tapi bagaimana
dengan itu Iran akan menggerakkan dana untuk investasi,
mengatasi pengangguran dan merancang perkonomian umumnya? Semua
masih jadi bahan pertanyaan.
Mungkin pada akhirnya Khomeini juga akan ditentukan oleh grup
yang saling bersaing di sekitarnya. Golongan kiri sudah pasti
berada jauh di luar. Juga golongan Islam lain, misalnya kalangan
Partai Republiken Rakyat Muslim (PRRM), yang dekat dengan
Ayatollah Syariat Madari.
Merasa bahwa dalam pemilu ang barusan -- waktu memilih "Majelis
Para Ahli" -- tejadi kecurangan oleh para pengikut Khomeini,
sebuah cabang PKI di Tabriz misalnya mengeluarkan pernyataan
keras. Hanya karena rasa hormat kepada Syariat Madari -- yang
mereka sebut "otoritas tertinggi dalam Islam Syi'ah" -- maka
mereka diam.
Dari sini mungkin dapat diduga suatu oposisi diam-diam bisa
terjadi dari kalangan Islam lain terhadap Khomeini. Kecurangan
yang dilakukan para pendukungnya yang tergabung dalam Partai
Islam Republiken (PIR), sebagaimana disebut oleh majalah The
Middle East September 1979, bahkan menyebabkan seorang pemimpin
PIR di Tabriz mengundurkan diri. Pemilu ini, katanya
"bertentangan dengan Islam dan Tuhan."
Meski demikian, PIR toh hanya memperoleh 8,5 juta suara -- tak
sebandin dengan 20,1 juta suara yang dulu diberikan rakyat Iran
dalam referendum untuk Republik Islam. Tapi orang-orang Khomeini
punya dasar untuk berada di puncak pimpinan revolusi.
Popularitas Khomeini di tengah massa adalah satu modal.
Sementara itu kekuasaan sang ayatollah kian diperkokoh dengan
keputusan Majelis Para Ahli (beranggotakan 73 orang) yang baru
dipilih belakangan, ini. Khomeini bukan saja dianggap "pemimpin
spiritual dan politik tertinggi," tapi juga dapat memberhentikan
presiden pilihan rakyat. Ia berhak memilih 6 orang ulama anggota
dewan pengawas yang menelitl kerJa parlemen. Ia adalah wakil
dari "Imam Zaman," Imam ke-12 dalam keyakinan Syi'ah yang mirip
Ratu Adil.
Dasar keputusan itu agaknya memang bermula dari perkembangan
agama Islam Syi'ah di Iran, yang melahirkan hirarki keulamaan
seperti itu. Juga dari kesimpulan Khomeini sendiri tentang apa
yang disebut "pemerintahan Islam". Menurut Khomeini, republik
Islam bukan berlandaskan atas perjanjian atau kesefakatan,
melainkan suatu wujud keimanan. "Pemerintahan Islam bukanlah
pemerintahan konstitusional di mana undang-undang tunduk kepada
persetuuan person-person atau mayorltas," katanya.
Ia sendiri menyangkal bahwa kekuaFaan yang demikian besar, yang
tak bertanggungjawab kepada suara mayoritas itu, adalah
kediktaturan. Alasannya, "karena rakyat mencintai ulama,
mempercayai ulama dan ingin dibimbing oleh mereka
TAPI kekuasaan yang begitu besar dan begitu terpusat di satu
tempat, selalu mengundang intrik untuk berebut menjadi orang
yang "terdekat". Dan di sekitar lmam Khomeini kini bergulat
beberapa orang dan kelompok untuk memperoleh posisi itu. Saddeq
Ghotbzadeh, yang menguasai Radio dan TV, misalnya tak
segan-segan menggunakan media pemerintah itu untuk menyerang
Menteri Dalam Negeri, yang kebetulan menantu Bazargan. Ayatollah
Beheshti, wakil ketua Majelis Para Ahli dan tokoh PIR, disebut
sebagai "Rasputin" oleh Ayatollah Montazeri.
Terakhir dikabarkan Ibrahim Yazdi orang kepercayaan Khomeini
yang pernah tinggal di AS -- dan isterinya pun masih tinggal di
Texas -- diserang karena bertemu dengan penasihat Presiden
Carter, Zbigniew Brzezinski, di Aljazair belum lama ini. Ia
sebagai menteri luar negeri tiba-tiba digantikan oleh Bani Sadr,
seorang yang pernah merumuskan sistem ekonomi Iran yang baru
sebagai "Ekonomi Keselarasan Ilahi".
Perpecahan, konflik, dan saling menyingkirkan akhirnya tak dapat
dihindari. Khomeini sendiri mengak ini ketika ia akhir Oktober
berbicara teng adanya "perpecahan". Ia menyesali mereka --
agaknya sejumlah anggota Dewan Revolusi yang pernah sangat
berkuasa itu -- yang dalam Majelis Para Ahli tidak mendukung
kepemimpinannya.
Dalam hubungan dengan itulah ada dugaan bahwa peristiwa
penyanderaan para diplomat AS yang belum berakhir kini hendak
dipakai sebagai isyu pemersatu. Dan agaknya berhasil. Tapi
sampai kapan? Sementara kedudukan Khomeini nampaknya masih akan
terus -- mungkin lebih dari 6 bulan, tak seperti yang diramalkan
bekas Perdana Menteri Syahpur Bakhtiar yang kini di Perancis --
jelas belum ada tanda-tanda konsolidasi para pemenang revolusi
Iran. Apalagi menghadapi inflasi yang 30%, pengangguran yang
hampir 2 juta orang, perekonomian yang darurat dan
pengharapan-pengharapan besar yang biasa dari tiap kemenangan.
Sementara itu konsepsi maupun sistem politik yang memadai untuk
suatu konsolidasi tidak cukup terang dan tersedia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini