KARENA alasan berobat, pemerintahan Carter pada mulanya mengira
bahwa kehadiran Mohammed Reza Pahlevi di New York akan berjalan
tenang saja. Ternyata kaum ulama di Teheran bahkan semakin galak
menuntut supaya Amerika Serikat mengembalikan Syah itu segera ke
Iran. Ketika tuntutan itu jelas dianggap sepi, sejumlah 450
mahasiswa berdemonstrasi ke kedutaan-besar AS di Teheran.
Minggu itu (4 November), demonstrasi mereka bukanlah sekedar
untuk berteriak-teriak dan membawa berbagai poster anti-Amerika
Sekali ini mereka menyerang para marlnir yang mengawal kedutaan
besar itu. Perkelahian berlangsung selama hampir tiga jam dan
berakhir dengan para demonstran menduduki kedutaan besar itu dan
menyandera 60 warganegara AS di situ.
Kasus penyanderaan itu menjadi serius sekali, apalagi dikaitkan
dengan soal apakah AS mau memenuhi tuntutan Teheran atau tidak.
Pemerintahan Carter jelas dihadapkan pada suatu dilema: Di satu
pihak ia tidak boleh membiarkan sekian banyak warganegara AS
disandera. Tapi di lain pihak ia tidak pantas untuk menyerah
pada tuntutan Ayatollah Ruhollah Khomeini supaya Syah
dikembalikan.
Syah Iran yang digulingkan dari tahtanya 9 bulan lalu sedang
dirawat di rumah sakit Cornell Medical Centre, New York, karena
menderita kanker Limfoma (kelenjar getah bening). Dr Hibbard
Williams, kepala tim dokter yang merawatnya, mengatakan bahwa
Syah memerlukan perawatan selama 6 bulan di AS. Apakah
penyanderaan di Teheran berlanjut selama itu pula?
Keesokan harinya (5 November) puluhan ribu mahasiswa berkumpul
di depan kedutaan besar itu untuk memperkuat dukungan terhadap
aksi penyanderaan itu. Mereka meneriakkan yel anti Amerika.
Hajatoleslam Ahmad Khomeini, putra Ayatollah Khomeini pagi itu
mengunjungi para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi. "Kita
harus memutuskan segala hubungan dengan AS,"kata Ahmad Khomeini
46 tahun kepada mahasiswa yang mengerubunginya. Sementara itu
mahasiswa yang lam menunjukkan foto-foto para sandera yang
berada di dalam wilayah kedutaan kepada para wartawan. Tak
seorang wartawan pun yang diperkenankan memasuki tempat
penyanderaan itu.
Malam harinya, serombongan mahasiswa mendatangi pula kedutaan
besar Inggeris. Mereka menyandera staf kedutaan dan beberapa
orang wanita serta anak-anak dan menuntut agar bekas Perdana
Menteri Syahpur Bakhtiar dikembalikan ke Iran. Padahal pimpinan
mahasiswa sebelum itu sudah menghimbau rekan-rekannya untuk
tidak meluaskan front dengan menyerang kedutaan lainnya. Di
antara para sandera terdapat Kuasa Usaha Inggeris Arthur Wyatt.
Penyanderaan ini terjadi karena beberapa jam sebelumnya
Ayatollah Khomeini menuduh Inggeris memberi perlindungan kepada
Syahpur Bakhtiar. Tapi itu tak berlangsung lama.
NAMUN akibat aksi mahasiswa ini Perdana Menteri Mehdi Baargan
terpaksa mengundurkan diri bersama seluruh anggota kabinetnya
(lihat Sesudab Bazargan Bersuara Ulama). Dia rupanya tak mampu
mengatasi krisis yang terjadi akibat gerakan mahasiswa yang
didukung para ulama itu. Juga ikut berhenti Menlu Ibrahim Yazdi,
tokoh di luar kalangan agama yang dekat dengan Khomeini sejak
masa pengasingannya di Paris. Dan sampai pada pembentukan
kabinet baru yang direncanakan akan berlangsung minggu ini,
Khomeini telah menunjuk Abulhassan Bani Sadr sebagai Menlu. Dia
dikenal sebagai tokoh anti-Amerika nomor wahid.
Reaksi AS terhadap tuntutan para mahasiswa agar dikembalikannya
Syah Iran cukup tegas juga. "Kami tidak akan menyerahkannya,"
kata Hodding Carter, jurubicara Deplu AS.
Dalam usaha membebaskan para sandera itu Presiden Carter
menunjuk bekas Jaksa Agung Ramsey Clark sebagai utusan khusus
untuk menemui Ayatollah Khomeini. Tapi Khomeini rupanya tak
bersedia menerima utusan Carter itu. "Saya tak ingin bertemu
dengan setiap orang Amerika dalam waktu ini," kata Khomeini.
Hal yang sama juga terjadi dengan delegasi PLO (Organisasi
Pembebasan Palestina) yang juga berusaha menjadi penengah untuk
membebaskan para sandera. Radio Teheran yang dimonitor di Kuwait
memberitakan bahwa para mahasiswa telah menolak utusan PLO untuk
merundingkan pembebasan para sandera itu. "Dengan amat menyesal
kami tak bersedia merundingkannya dengan anda," kata jurubicara
mahasiswa itu.
Di AS, mahasiswa Iran yang berdiam di sana juga menunjukkan
solidaritasnya dengan rekan mereka di tanah air. Suatu gelombang
demonstrasi terjadi di beberapa kota di AS, antara lain di Los
Angeles, New York dan Washington. Bahkan suatu bentrokan hampir
terjadi ketika seribu mahasiswa Iran yang sedang berdemonstrasi
bertemu dengan kelompok demonstran Amerika di Washington pekan
lalu.
Para demonstran Iran yang meneriakkan 'Syah adalah- pembunuh'
dan 'Hidup Khomeini' sempat diteriaki 'Hancurlah Khomeini,
Hitler Baru' oleh para demonstran Amerika. Dan penduduk yang
melihat kejadian itu tampaknya lebih bersimpati dengan para
demonstran Amerika. Mereka juga ikut mengejek para mahasiswa
Iran itu, 'Ambil minyak kalian' dan 'Bom Iran'.
Di Houston dan Texas, ratusan orang Amerika berpawai dengan
membawa bendera dan foto bintang film John Wayne -- yang menjadi
simbol nasionalisme Amerika. Bahkan demonstran Amerika itu juga
membawa poster yang bertuliskan 'Biarkan Syah tetap di sini,
Kirimkan Carter kepada mereka'.
Selama beberapa hari Gedung Putih juga cukup disibuki dengan
dering telepon yang terus menerus dari rakyat Amerika. Mereka
mendesak Presiden Carter agar mengambil tindakan tegas untuk
menyelamatkan para sandera itu. "Sekali pun dengan kekerasan,"
begitu pesan mereka kepada Carter lewat telepon.
Di Universitas St Louis, Missouri, seorang pria bersenjata
datang meminta daftar nama mahasiswa Iran. Dia bermaksud
membunuh mereka, namun dia dengan cepat akhirnya dilucuti oleh
petugas yang berada di situ.
Reaksi orang Amerika ini agak mengagetkan juga. Tapi Presiden
Carter tampaknya berhati-hati dalam menentukan sikap. Dia telah
menghimbau rakyat Amerika agar bersabar dan mencegah segala
macam tindakan kekerasan. "Tindakan mereka (mahasiswa di Iran)
itu memang terlalu kejam dan tidak berperikemanusiaan," kata
Carter.
Beberapa Senator malah mendesak Carter agar mengambil tindakan
kekerasan. Umpamanya Senator Larry Mac Donald menganjurkan suatu
penyerbuan militer ke Iran.
Ada juga yang mengusulkan agar menggunakan cara pasukan komando
Israel ketika membebaskan sandera di lapangan terbang Entebbe,
Uganda. "Saya pikir kita harus mencari seorang perwira Israel
yang merencanakan penyerbuan ke Entebbe untuk diangkat sebagai
komandan penyerbuan ke Teheran," kata Senator Herman Talmadge.
Namun kalangan yang dekat dengan Gedung Putih mengatakan,
"kesabaran Carter ini sebagaimana yang dimiliki seorang
negarawan hanya sepanjang tidak tertumpahnya darah orang Amerika
yang disandera itu. "
PERISTIWA penyanderaan ini cukup banyak melibatkan tokoh dunia.
Antara lain Paus John Paul 11 menghimbau Ayatollah Khomeini
supaya menyelamatkan jiwa mereka yang disandera. Bahkan Paus,
memerintahkan Dubes Vatikan di Teheran, Mgr. Annibale Bugnini
untuk menyampaikan pesan tersebut langsung kepada Ayatollah
Khomeini. Kantor Berita Pars dari Teheran memberitakan bahwa
Khomeini telah menerima utusan Paus itu, tapi tetap menolak
untuk membebaskan para sandera.
"Selama 50 tahun, 35 juta rakyat Iran menjadi permainan
imperialisme terutama Amerika Serikat," kata Khomeini. "Selama
ini tidak seorang pun yang berusaha jadi penengah untuk membantu
bangsa tertindas ini, termasuk Paus."
Kecamannya terhadap Paus John Paul ini disertai pula dengan
pernyataan ketidak sediaannya bertemu lagi dengan pemimpin asing
untuk merundingkan masalah sandera. "Masalah ini bukan di tangan
saya tapi di tangan bangsa Iran yang mendukung tindakan
mahasiswa itu," kata Khomeini.
Di PBB Sekjen Kurt Waldheim memanggil Wakil Iran, Jamal
Shemirani, supaya menyampaikan pesannya pada Khomeini. Waldheim
menyatakan bersedia membantu mengatasi masalah ini.
Juga berusaha sebagai penengah, Mohammad Ali. Bekas juara tinju
dunia ini, bahkan menawarkan diri sebagai pengganti para
sandera. "Agama kami mengajarkan perdamaian dan untuk itu saya
bersedia mengorbankan diri," kata Ali. Tapi di Washington,
pejabat Deplu AS menanggapinya sebagai prakarsa pribadi.
Suatu reaksi keras datang dari Presiden Anwar Sadat. "Apa yang
dilakukan Khomeini itu sangat melukai perasaan orang Islam dan
sekaligus menjelekkan nama Islam," kata Sadat. "Islam seperti
yang kita ketahui adalah agama yang penuh toleransi dan kasih
sayang." Dia menyerang Khomeini sebagai orang yang lebih
mementingkan ambisi politik daripada rasa kemanusiaan. Sementara
itu Parlemen Mesir dalam sidangnya telah memutuskan secara
aklamasi pemberian suaka politik bagi Syah Iran.
Sepucuk surat yang dilayangkan seorang sandera kepada ibunya di
Oak Creek, Wisconsin, menyebutkan bahwa para sandera mendapat
pelayanan yang cukup baik. "Mereka (maksudnya mahasiswa) tak
melukai kami sama sekali," tulisnya. Dalam surat itu dia juga
bercerita telah menandatangani pernyataan agar pemerintah AS
mengirimkan kembali Syah ke Iran. "Surat itu saya tandatangani
tanpa paksaan," tulisnya.
Jalan keluar dari kemelut belum kelihatan. Yang jelas peristiwa
ini merupakan ujian buat Ayatollah Khomeini dan sekaligus juga
buat Presiden Carter yang sekarang menghadapi kampanye pemilihan
presiden untuk masa kerja berikutnya. Buat Khomeini, mungkin
taruhannya cukup besar karena menyangkut seluruh rakyat Iran.
Meskipun dla secara tegas mengatakan, "kami tidak pernah takut
dengan ancaman intervensi militer AS." Di tengah-tengah gegap
gempitanya para kaum revolusioner Iran menuntut pengembalian
Syah terbetik juga suatu kekhawatiran. "Yaitu munculnya suatu
pemerintahan baru ala Syah Iran yang bukan dipimpin oleh Syah,"
kata Menlu Bani Sadr.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini