Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Jangan jadi penumpang di negeri ...

Prof.dr. hamka dan dr. hm. rasjidi berbicara tentang haji agus salim di tim. agus salim dinilai bukan hanya tokoh pembaharuan dalam agama, tapi juga dalam bidang sastra. (pt)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG tokoh tua yang belum ada gantinya. Demikian penilaian Dr. H.M. Rasjidi atas diri Haji Agus Salim, yang diperingati tepat 25 tahun meninggalnya, 3 November lalu. Berbicara di Teater Arena Taman Ismail Marzuki bersama Prof. Dr. Hamka, Rasjidi menonjolkan Agus Salim kurang lebih sebagai "ulama Islam yang kenal benar kebudayaan Barat". Yang jelas Haji Agus Salim (lahir di Kotagedang Bukittinggi 8 Oktober 1884) memang fasih berbicara Belanda (yang dipraktekkan sehari-hari di lingkungan keluarganya) Arab, Inggeris dan Perancis. Bahkan ketika mendapat kehormatan diangkat (dalam usia dua puluhan tahun) sebagai pegawai Konsulat Hindia Belanda di Jeddah -- ketika sebagian Arab Saudi diduduki Turki -- ia belajar berbicara Turki. Agus Salim, puera Jaksa Tinggi di Riau yang berpendidikan formal HBS, juga tokoh yang dahulu direkomendasikan RA. Kartini (yang sangat mengagumi "Pemuda Salim") untuk bisa belajar ke Negeri Belanda. Konon ia menolak -- karena kalau ia mau diberi beasiswa hendaklah itu atas namanya sendiri, dan bukan karena menggantikan Kartini yang tidak bisa berangkat. Bahkan pengangkatan ke Jeddah itu pun, seperti dituturkan salah seorang puterinya, Ny. Bibsy Sunharjo, mula-mula ia tolak. Hanya karena ibunya mendesaknya (karena tak tahan melihat pertengkarannya dengan ayahnya tentang soal itu) dan ibunya kemudian wafat, ia lantas berangkat. Kyai dengan wajah khas ini, yang oleh kalangan diplomat Barat digelari The Grand Old Mar, rupanya memang tokoh yang ingin membuktikan kemampuan berdiri di atas kaki sendiri -- menghadapi superioritas Belanda dan Barat. Bukan hanya karena anak-anaknya (10 orang, atau 7 orang yang hidup) dididik sendiri di rumah dan hukan di sekolah Belanda. Tapi juga oleh semboyannya seperti yang diungkapkan Hamka malam itu: 'Janganlah sampai kita menjadi penumpang di negeri sendiri'. Hamka bahkan menuturkan, bagaimana ia mendapat nasihat Agus Salim untuk tidak usah menuntut ilmu agama di Mekah. Sebab tak akan bisa melibatkan diri dalam pertumbuhan kemasyarakatan yang langsung -- atau "paling jauh hanya akan diundang berdoa (diminta berkahnya) di waktu orang kenduri," tutur Hamka. Dalam sejarah, Agus Salim y ang dikenal piawai dalam berdebat ini, adalah orang kedua dalam pergerakan Partai Syarikat Islam sesudah HOS Tjokroaminoto. Dan seperti juga Tjokro banyak meninggalkan para murid (ir Soekarno, bahkan Semaun dan Kartosuwiryo), juga Agus Salim meninggalkan para "anak asuhan". Hamka misalnya merasa dirinya murid. Lebih-lebih Mr. Moh. Roem, yang malam itu bertindak sebagai pengantar, juga Natsir, Prawoto Mangkusasmito atau Sjamsuridjal. Tak hanya dalam bidang agama, di mana Haji Salim (panggilan orang dekat) dinilai membawa unsur pembaharuan pemikiran. Melainkan juga dalam bidang sastra. Ia diserahi Gubernemen memimpin Balai Pustaka -- bahkan juga sesudah ia melakukan sindiran-sindiran kepada pemerintah dalam satu-dua karyanya. Ia juga orang Indonesia pertama yang menterjemahkan Shakespeare. Sangat mengesan di malam peringatan itu -- yang juga dihadiri antara lain oleh Menteri Emil Salim, kemenakannya -- adalah diputarkannya rekaman pidato Haji Agus Salim di KBRI Washington, September 1953, waktu ia berpamitan pulang seusai tugasnya sebagai wakil RI di PBB. Di masa yang belum dikeruhkan oleh prasangka antar agama itu, ulama Agus Salim antara lain mengumandangkan ajaran yang luas: "Bukan persamaan dan persatuan pekerjaan itu hanya akan tercapai jika hanya satu agama yang berlaku. Melainkan jikalau semua golongan yang beragama mementingkan agama dan bukan agamanya saja. Mementingkan Tuhan dan bukan bangsa dan tanah airnya . . ." Tapi dalam kalimat terakhir itu ia pernah berdebat dengan Soekarno, yang -- demi kepentingan perjuangannya -- rupanya kurang bisa menerima asas kemanusiaan yang mengatasi kotak-kotak bangsa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus