SEORANG tokoh tua yang belum ada gantinya. Demikian penilaian
Dr. H.M. Rasjidi atas diri Haji Agus Salim, yang diperingati
tepat 25 tahun meninggalnya, 3 November lalu. Berbicara di
Teater Arena Taman Ismail Marzuki bersama Prof. Dr. Hamka,
Rasjidi menonjolkan Agus Salim kurang lebih sebagai "ulama Islam
yang kenal benar kebudayaan Barat".
Yang jelas Haji Agus Salim (lahir di Kotagedang Bukittinggi 8
Oktober 1884) memang fasih berbicara Belanda (yang dipraktekkan
sehari-hari di lingkungan keluarganya) Arab, Inggeris dan
Perancis. Bahkan ketika mendapat kehormatan diangkat (dalam usia
dua puluhan tahun) sebagai pegawai Konsulat Hindia Belanda di
Jeddah -- ketika sebagian Arab Saudi diduduki Turki -- ia
belajar berbicara Turki. Agus Salim, puera Jaksa Tinggi di Riau
yang berpendidikan formal HBS, juga tokoh yang dahulu
direkomendasikan RA. Kartini (yang sangat mengagumi "Pemuda
Salim") untuk bisa belajar ke Negeri Belanda. Konon ia menolak
-- karena kalau ia mau diberi beasiswa hendaklah itu atas
namanya sendiri, dan bukan karena menggantikan Kartini yang
tidak bisa berangkat. Bahkan pengangkatan ke Jeddah itu pun,
seperti dituturkan salah seorang puterinya, Ny. Bibsy Sunharjo,
mula-mula ia tolak. Hanya karena ibunya mendesaknya (karena tak
tahan melihat pertengkarannya dengan ayahnya tentang soal itu)
dan ibunya kemudian wafat, ia lantas berangkat.
Kyai dengan wajah khas ini, yang oleh kalangan diplomat Barat
digelari The Grand Old Mar, rupanya memang tokoh yang ingin
membuktikan kemampuan berdiri di atas kaki sendiri -- menghadapi
superioritas Belanda dan Barat. Bukan hanya karena anak-anaknya
(10 orang, atau 7 orang yang hidup) dididik sendiri di rumah dan
hukan di sekolah Belanda. Tapi juga oleh semboyannya seperti
yang diungkapkan Hamka malam itu: 'Janganlah sampai kita menjadi
penumpang di negeri sendiri'.
Hamka bahkan menuturkan, bagaimana ia mendapat nasihat Agus
Salim untuk tidak usah menuntut ilmu agama di Mekah. Sebab tak
akan bisa melibatkan diri dalam pertumbuhan kemasyarakatan yang
langsung -- atau "paling jauh hanya akan diundang berdoa
(diminta berkahnya) di waktu orang kenduri," tutur Hamka.
Dalam sejarah, Agus Salim y ang dikenal piawai dalam berdebat
ini, adalah orang kedua dalam pergerakan Partai Syarikat Islam
sesudah HOS Tjokroaminoto. Dan seperti juga Tjokro banyak
meninggalkan para murid (ir Soekarno, bahkan Semaun dan
Kartosuwiryo), juga Agus Salim meninggalkan para "anak asuhan".
Hamka misalnya merasa dirinya murid. Lebih-lebih Mr. Moh. Roem,
yang malam itu bertindak sebagai pengantar, juga Natsir, Prawoto
Mangkusasmito atau Sjamsuridjal.
Tak hanya dalam bidang agama, di mana Haji Salim (panggilan
orang dekat) dinilai membawa unsur pembaharuan pemikiran.
Melainkan juga dalam bidang sastra. Ia diserahi Gubernemen
memimpin Balai Pustaka -- bahkan juga sesudah ia melakukan
sindiran-sindiran kepada pemerintah dalam satu-dua karyanya. Ia
juga orang Indonesia pertama yang menterjemahkan Shakespeare.
Sangat mengesan di malam peringatan itu -- yang juga dihadiri
antara lain oleh Menteri Emil Salim, kemenakannya -- adalah
diputarkannya rekaman pidato Haji Agus Salim di KBRI Washington,
September 1953, waktu ia berpamitan pulang seusai tugasnya
sebagai wakil RI di PBB. Di masa yang belum dikeruhkan oleh
prasangka antar agama itu, ulama Agus Salim antara lain
mengumandangkan ajaran yang luas: "Bukan persamaan dan persatuan
pekerjaan itu hanya akan tercapai jika hanya satu agama yang
berlaku. Melainkan jikalau semua golongan yang beragama
mementingkan agama dan bukan agamanya saja. Mementingkan Tuhan
dan bukan bangsa dan tanah airnya . . ."
Tapi dalam kalimat terakhir itu ia pernah berdebat dengan
Soekarno, yang -- demi kepentingan perjuangannya -- rupanya
kurang bisa menerima asas kemanusiaan yang mengatasi kotak-kotak
bangsa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini