MIKHAIL Gorbachev tak sabar menunggu. Ia mencabut syarat yang diajukan pihak Soviet dalam perundingan Jenewa, antara para perunding yang terdiri atas wakil Afghanistan dan Pakistan yang ditengahi oleh wakil PBB. Kantor berita Uni Soviet TASS melaporkan petemuan mendadak Gorbachev dengan pemimpin pemerintah Kabul, Mayor Jenderal Najibullah, di Tashkent, Kamis pekan lalu. Konon, dalam pertemuan itu Gorbachev menyatakan, Soviet akan bersikap "mengalah". Jelasnya, Uni Soviet akan memenuhi permintaan AS, menghentikan bantuannya bagi rezim Kabul, begitu tentara Soviet ditarik mundur. Keputusan Gorbachev tersebut diambil setelah kedua negara superkuat ini akhirnya setuju dengan jalan tengah: AS akan tetap mengirim senjata kepada pejuang Mujahidin jika Kremlin masih memasok bantuan militer kepada sekutunya dan akan menghentikannya begitu Kremlin menyetop kirimannya. Gorbachev, sehabis pertemuan dengan Najibullah, dengan tegas menyatakan, 115.000 tentara Soviet akan mulai ditarik 15 Mei mendatang, sesuai dengan rencana dulu. Itu berarti bila perundingan Jenewa dibuka lagi Kamis pekan ini, persetujuan akan lancar tercapai. Najibullah tampaknya harus menerima "nasib buruk". Menurut sejumlah pengamat, begitu pasukan terakhir Uni Soviet angkat kaki dari wilayah Afghanistan, kirakira Februari tahun depan, Afghanistan diramalkan akan jatuh. Diibaratkan kejatuhan rezim Kabul seperti ambruknya pemerintah Vietnam Selatan saat ditinggalkan pasukan AS dulu. Siapa tahu, ramalan itu benar sejauh tak ada perjanjian rahasia dalam pertemuan di Tashkent itu. Selama ini pasukan Najibullah hanya mampu bergerak di seputar Kabul (lihat Selingan). Sebab, para pejuang Mujahidin sudah bertekad tak akan mengakui kesepakatan Jenewa. "Kami akan melanjutkan jihad dan tak terikat perjanjian Jenewa," kata Gulbuddin Hekmatyar, pemimpin tujuh kelompok pejuang. Memang, Mujahidin tak diikutsertakan dalam perundingan Jenewa. Sementara itu, mereka sudah menolak tegas ikut dalam pemilu di Kabul, pekan lalu. Perang saudara mungkin memang segera meletus. Dalam laporan intelijen AS, Mujahidin sudah mulai menimbun senjata di Afghanistan. Bukan untuk memerangi tentara Soviet, tapi persiapan untuk merebut kekuasaan dari Najibullah. Sementara itu, bukan rahasia lagi, sebenarnya tujuh kelompok kaum pejuang sendiri punya benih pertentangan. Gabungan 7 kelompok pejuang yang berbasis utama di Peshawar, Pakistan, secara garis besar terbagi dalam 2 garis: 4 kelompok beraliran fundamentalis Islam, dan 3 kelompok moderat nasionalis. Para fundamentalis menginginkan terbentuknya masyarakat Islam dan menentang kembalinya bekas raja Afghanistan Zahir Syah. Sedangkan para nasionalis justru dekat dengan bekas raja yang kini di pengasingan dan menuntut kembalinya sistem politik tradisional di Afghanistan. Yang jadi masalah kemudian, pejuang Mujahidin tak punya tokoh berwibawa yang dipercaya oleh semua kelompok. Tapi bagi Pakistan dan Uni Soviet masalahnya adalah bagaimana secepatnya menyelesaikan masalah Afghanistan. Pemerintah Islamabad sudah lama puyeng memikirkan beban berat pengungsi. Sedang Kremlin sudah kedodoran secara ekonomi dan sosial - dengan makin meluasnya protes masyarakat Soviet sendiri terhadap penempatan pasukan Soviet di Afghanistan. Lagi pula, Moskow perlu cepat-cepat melicinkan ganjalan KTT dengan Washington yang berlangsung Mei mendatang. Tampaknya, sekarang paling tidak kedua negara superkuat ini akan bersikap masa bodoh terhadap yang mungkin terjadi di Afghanistan. Bila memang Afghanistan jadi rusuh, perang saudara berkepanjangan, itu soal lain lagi. F.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini