Komite Ekonomi Antarrepublik dituntut bekerja cepat, agar kembalinya pemerintahan garis keras dengan ekonomi sosialistis bisa dicegah. ROTI murah, yang aromanya memancing selera. Itulah barangkali ukuran bagi rakyat Uni Soviet terhadap sebuah pemerintahan yang sukses. Maka, kata seorang kolomnis di surat kabar New York Times, betapa liberal atau radikalnya perubahan di Uni Soviet kini, para penguasa baru tak boleh melupakan soal roti. Maka, lihat saja, Presiden Rusia Boris Yeltsin membawa sepotong besar roti. Tak jelas, dalam foto yang diambil oleh fotografer Sipa itu, dari mana roti tersebut dan untuk siapa Yeltsin membawanya. Yang pasti, begitu kudeta 19 Agustus gagal, McDonald di Moskow membagikan gratis hamburger Amerikanya kepada barikade tentara yang mengepung dan kemudian berbalik menyelamatkan Gedung Parlemen Rusia. Coba tengok, empat serdadu Soviet yang sebentar nampang di depan kamera, yang menunjukkan apa yang baru saja mereka peroleh gratis itu. Kabarnya, Pizza Hut di Moskow juga membagikan pizzanya cuma-cuma. Pesta sebentar yang terbatas itu tentunya sebuah selingan, di tengah persediaan pangan yang tak cukup. Sampai pekan lalu, toko-toko di Moskow masih melompong. Suatu sore di sebuah toko roti di dekat Taman Gorky, di Moskow, seorang pramuria dengan baju putih yang warnanya sudah kekuningan duduk termenung. Ia menunggu jam pulang, meski tak sepotong roti pun ada di rak tokonya. Bukan karena pagi dan siang begitu banyak pembeli, tapi persediaan roti memang sedikit. Maka, dalam sidang Kongres Wakil Rakyat di hari kedua, Selasa pekan lalu, seorang penulis asal Kazakhstan, Olzhas Suleimenov namanya, dengan fasih membacakan pidatonya yang mengingatkan bahwa politik tak kurang pentingnya dibandingkan ekonomi. "Yah, kita belum menciptakan pasar bebas. Yang baru kita lakukan adalah menggelar arena politik," katanya. Tapi pergelaran politik itu telah "membangkitkan kesadaran demokrasi di antara rakyat, dan yang akan terjadi terjadilah: ambruknya kekaisaran Uni Soviet." Mungkin penulis itu takut bila rakyat lalu menuntut perbaikan ekonomi dalam sekejap. Suatu hal yang sulit dipenuhi bahkan oleh Komite Ekonomi Antar-Republik, lembaga baru yang bertugas merancang kerja sama ekonomi bukan hanya di antara republik-republik bekas Uni Soviet, melainkan juga dengan negara lain. Sejauh ini perkembangan politik sangat memuaskan, kata Grigory Yavlinsky, salah seorang ekonom yang duduk dalam lembaga baru itu. Namun, katanya, soal ekonomi memerlukan waktu untuk menjawabnya. "Banyak kemungkinan yang bisa dipilih," kata ekonom berusia 39 tahun ini, yang kini di Rusia dijuluki "anak ajaib." Dialah yang memimpin tim ekonom Soviet yang Mei lalu merencanakan Rencana Pembangunan Ekonomi Tujuh Tahun dengan para ahli dari Universitas Harvard, Amerika. Adapun kemungkinan-kemungkinan itu, antara lain, pencabutan subsidi harga-harga, pendirian bank yang independen, sistem cadangan bersama dan cadangan republik, dan privatisasi segala bidang. Kata Yavlinsky, suksesnya ekonomi bersama sangat tergantung sikap tiap-tiap republik. Menyusun strategi ekonomi bersama memang suatu keharusan. Namun, perut yang lapar punya batas waktu menunggu. Sekarang ini boleh dikatakan ekonomi Soviet kacau. Robohnya sistem politik dan bobroknya perekonomian terjadi pada saat negara sedang menghadapi kekurangan pangan. Kamis pekan lalu, Yuri Luzhkov, yang mengetuai perdagangan luar negeri, mengatakan bahwa Uni Soviet harus segera membeli daging, gandum, gula, dan produk-produk peternakan lainnya. Kalau itu tak segera diatasi, bahaya kelaparan memasuki musim dingin kini sudah di ambang pintu. Padahal, kini kemampuan Barat membantu Soviet pun terbatas. Turunnya hasil panen Soviet bersamaan dengan kurangnya hasil panen di Barat. Menurut perkiraan, panen gandum Soviet tahun ini hanya berkisar pada angka 185 juta sampai 190 juta ton. Itu merupakan penurunan sekitar 20% dari panen tahun lalu yang 235 juta ton. Pun para ahli meramalkan, di Amerika, Kanada, dan Eropa Barat hasil panen juga akan turun sekitar 20% dari tahun lalu. Tahun lalu Soviet mengimpor 26 juta ton gandum dari Barat, tetapi tahun ini setidaknya impor itu menjadi paling tidak 40 juta ton. Seandainya impor gandum sebanyak itu bisa diperoleh, harga gandum sekarang tentu jadi beban bagi Soviet. Di Soviet, bukan hanya soal panen yang menurun. Perestroika tersendat karena masyarakat Soviet ternyata belum siap dengan konsekuensi ekonomi bebas, yakni munculnya kesenjangan kaya-miskin. Itu sebabnya sampai kini sebagian besar sekali pertanian masih berjalan dengan sistem kolektif. Salah satu kelemahan sistem ini, untuk memanen ladang gandum atau kebun kentang, dan kemudian mengangkut gandum atau kentang ke kota-kota, dibutuhkan tenaga bantuan. Dulu, pengerahan buruh dan pelajar mudah saja dilakukan. Semuanya dikomando oleh pemerintah. Kini, pengerahan tenaga sukarela dengan upah ala kadarnya, berisiko tak ada yang mau turun ke ladang. Sebenarnya pengerahan tenaga sukarela itu pun sudah dihapuskan dari program pertanian pemerintah sejak tahun lalu. Akibatnya, menurut laporan surat kabar New York Times, sampai awal bulan ini, baru 3% kebutuhan kentang untuk musim dingin nanti yang dipanen dari kebun-kebun pemerintah. Padahal, tahun lalu, pada awal September sudah 17% kebun kentang pemerintah digali. Sebenarnya, bisa saja tentara dikerahkan, tapi sudah lama hal ini ditentang oleh banyak pihak di Soviet. Maka, kembali diimbau tenaga buruh dan pelajar untuk turun ke ladang dan kebun. Bedanya, kini dijanjikan imbalan yang, menurut ukuran Soviet kini, cukup besar. Besar imbalan itu kini ditetapkan dua jenis. Pertama, berwujud uang 25 rubel sehari per orang. Bila rata-rata gaji pegawai negeri di Soviet kini 300 rubel, berarti upah harian memanen kentang 150% lebih besar daripada gaji pegawai negeri. Upah jenis kedua, kombinasi uang dan hasil kebun: 10 rubel ditambah 30 kg kentang atau 40 kg kubis atau 30-an kg wortel atau 50-an kg gula bit. "Kita menuju ke ekonomi pasar bebas, jadi kita juga harus konsekuen," kata Vladimir Ivkin, direktur jenderal Departemen Pertukaran Pekerja Sosial Moskow, kepada wartawan New York Times Brenda Flower. Sampai pekan lalu sudah terdaftar 250 orang akan bekerja di lima kebun kentang milik pemerintah. Berbeda dengan masa lalu, 250 orang ini mendaftar atas kehendak sendiri. Selain 25 rubel itu, ada yang mengatakan, mereka menyadari, bila kentang tak cepat dipanen, persediaan pangan di musim dingin bisa tak mencukupi, dan itu berbahaya. Soalnya, kesulitan pangan di musim dingin ini, kata bekas Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnadze di depan forum pengusaha dan ekonom di Moskow Sabtu pekan lalu, akan berakibat luas pada kesadaran politik rakyat. "Orang-orang bisa saja turun ke jalan dengan spontan," kata Shev. Peluang ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh sisa-sisa kelompok garis keras. Bila itu terjadi, "akibatnya sulit ditebak," kata pendiri Gerakan Reformasi Demokratik itu lebih lanjut. Kecemasan itu tak hanya ada di Soviet. Di Amerika, seorang pengusaha besar yang sudah beberapa tahun ini melakukan perdagangan dengan Uni Soviet mengatakan pada DPR Amerika betapa Soviet sangat memerlukan bantuan pangan dan obat-obatan. Menurut perhitungan Dwayne Andreas, pengusaha itu, setidaknya dibutuhkan pangan dan obat-obatan seharga US$ 2,5 milyar. Ketua Komite Persenjataan menanggapi usul Andreas dengan serius. Ia mengusulkan Amerika secepatnya mengirimkan bantuan US$ 1 milyar, dengan cara memotong anggaran angkatan bersenjata. Namun, konon, Presiden Bush menganggap usul itu terlalu tergesa-gesa. Bush ingin tahu lebih detail kebutuhan Soviet. Ia merencanakan mengirimkan utusan dari Departemen Pertanian AS ke Soviet untuk mempelajari kebutuhan pangan di negeri Gorbachev itu di musim dingin ini. Ini semua membuktikan bahwa, sesudah demokrasi, roti memang diperlukan. A. Dahana & BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini