KAMIS pekan lalu wartawan TEMPO Didi Prambadi sampai di Moskow. Berikut laporan pertamanya, tentang suasana pusat perdagangan Metro Sokol. SUATU hari di Moskow, setelah Uni Soviet dinyatakan bubar, dan sebuah uni baru dilahirkan. Seorang lelaki jangkung bergegas menuju stasiun kereta api dalam udara 7 derajat celsius. Tampaknya, lelaki berkaca mata tebal itu habis be rbelanja di Metro Sokol. Ia mencangking tas penuh kentang. Ternyata, ia pegawai Institut Ilmiah Moskow, dan bertempat tinggal 35 km dari Moskow. Dua kali seminggu ia perlu belanja, agar tetap punya persediaan makanan. "Persediaan bahan pangan kini tidak pasti," katanya. "Yang pasti hanya harganya, sangat mahal." Lelaki 40 tahun itu mengaku, yang ia harapkan bukan perubahan politik, tapi perubaan ekonomi secepatnya. Namun, sebagai karyawan di sebuah lembaga ilmu, ia tahu bahwa perbaikan ekonomi tak mungkin dilakukan sekejap. Bila keadaan aman, "mungkin dalam waktu lima tahun perekonomian kami baru membaik." Ada atau tak ada perubahan, warga Moskow masih harus tetap antre dengan sabar untuk membeli makanan. Toko-toko makanan buka dua kali. Dari pukul delapan sampai pukul dua siang, lalu jam tiga sampai jam delapan malam. Hari itu yang ramai adalah antrean di toko daging dan sosis. Satu kilo sosis dijual 5 rubel (satu dolar Amerika kini bernilai 30 rubel). Menurut seorang ibu yang pulang kecewa karena tak kebagian, itulah hari pertama ia tahu ada sosis dijual dalam dua bulan belakangan ini. Di kawasan Metro Sokol ini, antrean teramai kedua adalah di toko roti. Roti-roti sebesar paha manusia seperti melambai-lambai pembeli. Namun, semuanya harus bersabar, beringsut setapak demi setapak untuk sampai ke penjual. Roti-roti itu tak semuanya buatan Moskow. Sebagian didatangkan Republik Georgia, yang menyatakan merdeka 9 April lalu. Roti putih 60 kopek (1 rubel sama dengan 100 kopek), roti cokelat 60 kopek. Tak semua yang datang di tempat perdagangan ini untuk membeli. Ada beberapa juga yang justru untuk berjualan. Dengan berpayung, karena tiba-tiba hujan turun rintik-rintik, beberapa orang berderat di emper toko. Ada yang membawa permen cokelat ada yang menenteng sepatu, ada yang menjual jaket, ada yang menawarkan gula. Barang-barang itu mereka beli beberapa waktu lalu. Permen cokelat termasuk "barang mewah" karena kelihatannya jarang terlihat di toko makanan dan minuman. "Ini saya jual 35 rubel. Lihat, di toko-toko sudah tak ada," kata lelaki yang menjual cokelat. Wah, 35 rubel? Sekitar US$ 1,15 atau lebih sekitar Rp 2.300 untuk sebatang cokelat. Namun, memang rasanya tak ada peminatnya. Yang menjual menenteng sepatu kets, pasang harga 350 rubel, atau Rp 23 ribu. Sepatu yang tak jelas mereknya itu mestinya tergolong mahal karena tak tampak ada peminat. Di bawah hujan rintik-rintik itulah seorang ibu menggandeng anaknya yang berusia sekitar 10 tahun berjalan meninggalkan kompleks perdagangan Metro Sokol. Yliana Victorona, nama ibu 50 tahun itu, ternyata pegawai Insitut Astrofisika Moskow. Lembaga itu milik militer, dan menjelang ditutup, karena adanya penyusutan bujet. "Gorbachev dan Yeltsin tak bisa banyak diharapkan," kata ibu yang tak tampak membawa belanjaan itu. Ia tak kebagian. "Hanya satu keajaiban dari langit, yang bisa menolong ekonomi Soviet," tambahnya. Keajaiban. Bukankah dibekukannya Partai Komunis Soviet, dan bubarnya Uni Soviet, tergolong keajaiban juga? Jadi, semuanya mungkin terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini