Pameran Surat Emas di Perpustakaan Nasional memperlihatkan bagaimana nenek moyang menulis surat dengan seni yang indah. Bukan cuma tulisan dan ilustrasinya, juga bahasanya. INILAH cuplikan surat Sultan Tidore, Kaicil Nuku, yang ditulis pada 25 Maret 1785. Karena adalah Tuan Sultan dan menteri2nya mengsediakan pohon2 cengke dan pala pada sekalian tanah2 dari nama bahagian Maluku, jika dengan kesukaan hati pada ketika apalah yang hendak masuk Kompeni Inggris berjabat tangan dengan aku Sultan di Maluku. Surat itu diasumsikan para pakar ditulis untuk Gubernur Bengkulu John Crisp atau pejabat Wakil Gubernur Thomas Pa lmer. Inti surat yang ditulis dengan bahasa Melayu dan huruf Jawi ( Arab-Persia) ini berisi keinginan Sultan Nuku untuk menjalin hubungan baik dengan East India Company, perusahaan Inggris yang sudah bercokol di Indonesia sejak 1601. Dibanding dengan 20 surat dan lima naskah kuno koleksi Inggris yang dipajang di Perpustakaan Nasional Jakarta pekan lalu -- dalam pameran yang disebut Pameran Surat Emas -- penampilan surat Sultan Nuku ini memang tidak terlalu menarik. Sekilas, surat yang kini dimiliki SOA (School of Oriental and African Studies) Inggris itu kelihatan sederhana. Ia ditulis dengan tinta di atas kertas biasa produksi Belanda. Tapi yang menyebabkan lebih menarik dari surat raja lain yang penuh ornamen dan sungging emas adalah karena surat ini ditandatangani pula oleh 120 pembesar yang mengaku kekuasaan Sultan Nuku. Dalam pengamatan Dr. E.U. Kratz dari SOAS, tanda tangan itu untuk menekankan betapa seriusnya permintaan Sultan Nuku untuk berhubungan dengan Inggris. Menurut kurator British Library Annabel, Teh Gallop, dari 1.300 menuskrip yang tersebar di 24 perpustakaan Inggris, hanya 200 hingga 300 buah yang bisa disebut "surat emas" atau naskah berilustrasi warna. "Kebanyakan yang namanya naskah kuno dan surat raja-raja berwarna hitam putih," katanya. Pameran yang disponsori oleh Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi dan British Library ini juga memamerkan surat-surat dari raja di luar Jawa dan Bali. Misalnya surat dari Sultan Riau Johor, Mahmud Syah, kepada Thomas Stamford Raffles. Surat persahabatan yang isinya memuji-muji Raffles itu ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi di atas kertas bersungging emas yang sangat indah. Surat berhias sungging emas itu dihias dengan keterampilan tinggi dan detail yang mengagumkan. "Hingga kini belum ada yang melakukan studi tentang jenis bubuk emas yang digunakan sebagai hiasan sungging di pinggiran surat itu," tutur Gallop. Gallop mengamati bahwa ada surat yang kertasnya telah disungging dahulu berlembar-lembar, sebelum ditulis. Tapi ada pula yang mengisyaratkan bahwa sungging surat dan penulisan dikerjakan bersamaan. Contoh dari jenis pertama tercermin pada surat Sultan Pontianak kepada Raffles pada 1811, yang berisi permohonan bantuan kepada Raffles untuk melawan bajak laut pimpinan Pangeran Anom dari Sambas. Menurut Gallop, perbedaan corak bunga pada bagian atas dan bagian bawah surat itu memberikan kesan bahwa surat itu terdiri dari dua lembaran yang sudah disungging terlebih dahulu, yang kemudian dijadikan satu. Jenis kedua terlihat pada surat Datuk Suliwatang di Lingga kepada Van der Cappelen tahun 1824. Garis kalimat untuk setiap baris dan bingkai cap kelihatan rapi dan sempurna. Pameran yang akan dilanjutkan di Yogyakarta pekan mendatang ini juga memajang surat-surat pejabat Inggris kepada raja-raja Nusantara. Yang paling menarik, meski hanya ditulis di atas kertas putih produksi Inggris, adalah surat Raffles kepada para raja di Pulau Jawa. Tahun 1810 Raffles diutus Gubernur Jenderal Benggala Lord Minto untuk mengadakan misi rahasia penyerangan ke Pulau Jawa. Setahun kemudian, Raffles menulis surat terbuka kepada raja-raja di Jawa yang isinya meminta dukungan untuk mengusir kekuatan gabungan Prancis dan Belanda. Bagaimana surat itu bisa nyelonong kembali ke Inggris? Ternyata, Sultan Anom, Sultan Sepuh, dan Ngabehi Wilalodra di Cirebon mengembalikan surat tersebut sebagai balasan. Dan di bagian akhir terdapat tiga kalimat dalam bahasa dan aksara Jawa yang menyatakan persetujuan mereka terhadap isi surat Raffles. Berkelananya naskah kuno Indonesia ke berbagai negara memang menjadi sebuah tanda tanya. Ahli Ilmu Pernaskahan Dr. Rudjiati Mulyadi mengatakan, "Paling tidak naskah kuno Indonesia tersebar ke 29 negara di dunia, termasuk Soviet dan negara -negara Eropa Timur." Adapun surat dari raja Nusantara kepada pejabat Inggris lebih jelas statusnya. Menurut Gallop, itu bisa terjadi melalui berbagai cara. Misalnya, ada pejabat Inggris yang memerintahkan juru tulis untuk menulis naskah asli yang dimiliki oleh para bangsawan Indonesia. "Ini bisa dibuktikan jika kertas diletakkan di bawah cahaya lampu, maka terlihat cap air kertas produksi Inggris," ujarnya. "Ada pula naskah yang kami beli dari individual. Misalnya surat yang ditulis di atas lembaran emas campuran tembaga dari dua pangeran Bali kepada Johanes Vos, gubernur Belanda di Semarang. Surat emas itu kami beli dari seseorang bernama J. Sams tahun 1839. Tapi terus terang saya tak tahu bagaimana surat itu bisa ke tangan J. Sams," tutur Gallop lagi. Namun, ia mengakui, memang ada naskah kuno hasil rampasan ketika Inggris menyerang Istana Yogyakarta, Palembang, dan Bone. Ia memperkirakan, dari 1.300 naskah yang dimiliki Inggris, sekitar 150 buah naskah adalah hasil yang diangkut ketika penyerangan tersebut." Selain surat-surat bersungging emas, naskah kuno yang penuh dengan ilustrasi berwarna menjadi pusat perhatian pengunjung, terutama naskah kuno dari Jawa dan Bali, yang penuh dengan visualisasi para dewa dan manusia. Serat Selarasa adalah sebuah syair berbahasa dan beraksara Jawa yang kaya dengan ilustrasi. Ada adegan menarik saat Raden Selarasa dan kedua kakak lelakinya memberi hormat kepada seorang tokoh agama yang berjubah dan mengenakan sorban. Untuk menunjukkan derajat dan statusnya yang melebihi manusia biasa, tokoh agama itu harus digambarkan lebih tinggi daripada tokoh lainnya. Naskah ini diperkirakan pernah dimiliki oleh istri seorang pejabat VOC di Surabaya. Ada kemungkinan, pejabat itu adalah F.J. Rothenbuhler. Dari Rothenbuhler naskah itu kemudian sampai ke tangan Kolonel Colin Mackenzie, seorang komandan Inggris yang ikut serta menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1813. Karena reproduksi naskah ini akan berpameran ke 27 propinsi di Indonesia, layak pula ditampilkan sebuah buku Batak yang diperoleh Inggris pada 1764. Buku yang berlipat-lipat dan ditulis dengan tinta hitam ini adalah sebuah petunjuk untuk meramal. Ada lagi surat raja Bone yang ditulis dalam bahasa Bugis -- dengan awal tulisan Arab -- yang memperlihatkan masuknya Islam ke Indonesia atau buku harian raja Bone tahun 1775, yang isinya mengungkapnya kegiatan istana sehari-hari. Yang mencuat dari pameran ini bukan saja rasa kagum terhadap karya seni indah dari nenek moyang kita, tapi timbul pula sebuah pertanyaan bagaimana orang-orang di bawah tekanan asing harus menulis kalimat dalam bahasa yang indah. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini