CERCAAN Ayatullah Khomeini almarhum, bahwa Uni Soviet adalah 7 setan, kini dilupakan Iran sudah. Pekan lalu, Ketua Parlemen Iran Hashemi Rafsanjani bertandang ke Moskow untuk berbincang serius dengan Presiden Soviet Mikhail Gorbachev. Kedua tokoh itu menyambung kembali hubungan Moskow-Teheran yang putus sejak tumbangnya Syah Iran, 10 tahun lalu. Hasil yang dicapai Rafsanjani juga mencengangkan. Ia pulang dengan mengantungi perjanjian kerja sama ekonomi dan industri, serta ilmu dan teknologi, yang berlaku sampai tahun 2000. Plus pernyataan kesedian Kremlin untuk membantu pembangunan militer Iran. Nilai perjanjian itu, "Lebih dari US$ 6 milyar," ujar Menteri Keuangan dan Ekonomi Iran Javad Iravani. Semua itu, menurut rencana Iran, untuk mengeksplorasi ladang-ladang minyak di Laut Kaspia, membangun jaringan pipa gas ke Soviet, dan membangun tujuh bendungan di lima sungai di Iran. Sejak meletusnya perang melawan Irak, proyek-proyek itu praktis macet. Bahkan banyak ladang minyak dan sumber listrik Iran yang dihancurkan oleh Irak. Rencana itu memang klop dengan kebutuhan Iran. Selama ini Iran sulit mendapat izin OPEC untuk menambah kuota produksi minyaknya -- sumber penghasilan utama negara para mullah itu. Selain itu, Iran juga kelabakan menghadapi kekurangan tenaga pembangkit listrik. Iran membutuhkan setidaknya 7 ribu megawat untuk penerangan dan untuk menjalankan roda-roda industrinya -- sementara ini baru ada 6 ribu megawat. Reaksi pertama yang terdengar akurnya Iran dan Soviet datang dari AS. "Kami sangat berkepentingan dengan penjualan senjata Soviet kepada Iran," ujar Menteri Luar Negeri AS James Baker. Di mata Washington bagaimanapun, Iran masih dianggap negara yang menyokong terorisme internasional yang, antara lain, mendalangi penculikan warga asing di Beirut. Tapi Robert Neuman, bekas dubes AS di Afganistan dan Arab Saudi, punya pendapat lain. Dia percaya, Soviet tak akan menjual banyak senjata kepada Iran karena tak ingin merusakkan hubungan dengan negara-negara Barat. Selain itu, juga kecil kemungkinan bagi Iran untuk menyalahgunakan persenjataan dari Moskow. Sebab, pasar utama minyak Iran masih berada di Eropa Barat, sehingga Teheran paham betul arti embargo ekonomi oleh Barat. Bisa jadi, AS berang lantaran "cemburu" terhadap cepatnya Gorbachev memanfaatkan berpulangnya Khomeini. Sudah ada tanda-tanda bahwa Iran setelah Khomeini akan dikemudikan oleh para mullah yang moderat. Maka, sementara Barat masih memasang muka kecut, Gorby tersenyum menawarkan kerja sama kepada Iran. Untuk ini paling sedikit Soviet bisa membeli gas alam lebih murah, karena bisa dikirim lewat pipa dari Iran. Tak kurang pentingnya, segi politik hubungan Moskow-Teheran. Dengan terbuka kembalinya hubungan dan adanya bantuan ekonomi, Moskow mestinya bisa meminta Teheran untuk menjinakkan Mujahidin Syiah yang mengungsi di Iran. Tampaknya ini berhasil. Serangan besar-besaran terhadap wilayah rezim Najibullah di Afghanistan oleh Mujahidin Syiah dan Suni hingga awal pekan ini belum terdengar (lihat Masa Sulit Mujahidin). Di dalam negeri, rujuk dengan Iran bisa dimanfaatkan oleh Gorbachev untuk mengambil hati kaum muslimin Soviet di kawasan Asia Tengah, yang belakangan ini sering membikin gara-gara. Misalnya bentrok antara warga Azerbeijan yang Muslim dan Armenia yang Kristen. Buntutnya, Azerbeijan menuntut hak otonomi. Karena itu, salah satu acara Rafsanjani di Soviet adalah mengadakan tatap muka dengan umat Islam di masjid agung Kota Baku, ibu kota Azerbeijan. Di sana, Rafsanjani dielukan oleh 7 juta umat Islam yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Sekali lagi keterbukaan Gorbachev dibuktikan, sementara Iran memberikan isyarat adanya perubahan di dalam negeri.Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini