Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Runtuhnya Aksi Boikot Itu

Aliansi partai oposisi pecah setelah Nawaz Sharif menyatakan ikut pemilu. Dua partai besar lebih suka berkompromi dengan realitas politik.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sialkoy, timur Pakistan, Rabu pekan lalu. Para pendukung Partai Liga Muslim Pakistan (PML)-N, yang dipimpin bekas perdana menteri Nawaz Sharif, bersesakan.

”Saya ingin menghapus kediktatoran dan saya tak dapat mencapainya tanpa dukungan kalian,” ujar Nawaz Sharif. Inilah jualan Nawaz untuk memperoleh suara bagi partainya setelah ia batal memboikot pemilu yang rencananya akan berlangsung pada 8 Januari tahun depan.

Keputusan Nawaz ikut pemilu terjadi setelah ia gagal membujuk Benazir Bhutto, pemimpin Partai Rakyat Pakistan, ikut dalam barisan oposisi memboikot pemilu. Menurut juru bicara PML-N, Ahsan Iqbal, sejak Benazir Bhutto berkukuh menyatakan ikut pemilu, PML-N tak bisa membiarkan kursi parlemen diisi politikus pendukung Musharraf dari Partai Liga Muslim-Q. ”Kami harus ikut pemilu untuk menghambat tindakan Musharraf yang tidak konstitusional,” demikian alasan Nawaz.

Keputusan Nawaz itu membuat aliansi partai oposisi Gerakan Seluruh Partai Demokratis yang berniat menggusur Musharraf dari kekuasaan menjadi berantakan. Aliansi yang terdiri atas 35 partai politik yang berideologi nasionalis dan Islam itu bubar. Partai Tehrik-e-Insaaf, yang dipimpin bekas bintang kriket Imran Khan, memutuskan memboikot pemilu. ”Pemilu disiapkan semuanya oleh Musharraf sehingga dia dapat mencurangi pemilu,” kata Awais Ahmed, juru bicara Partai Tehrik-e-Insaaf, di Lahore.

Korban berikutnya aliansi partai Islam Muttahida Majlis-e-Amal, yang merupakan koalisi enam partai Islam. ”Aliansi ini telah mati,” ujar Liaquat Baloch, juru bicara Muttahida Majlis-e-Amal. Pasalnya, partai Islam terbesar, Jamiat Ulema-i-Islami, yang dipimpin Maulana Fazlur Rahman, memutuskan ikut pemilu, sedangkan partai Jamaat-i-Islami, yang dipimpin Qazi Hussain Ahmed, memboikot pemilu. ”Dengan ikut pemilu, kita akan melegitimasi tindakan ilegal (keadaan darurat) Pervez Musharraf,” ujar Syed Munawar Hasan, Sekretaris Jenderal Jamaat-i-Islami.

Toh, ada yang menyambut gembira keputusan Nawaz Sharif. Dialah Benazir Bhutto, yang sudah tak sabar kembali ke tampuk kekuasaan lewat pemilu ini. ”Nawaz Sharif telah mengambil keputusan yang benar dengan partainya ikut pemilu,” ujar Benazir. Menurut Benazir, jika dua partai besar ikut pemilu, pemerintah terpaksa melaksanakan pemilu secara fair.

Musharraf pun menyambut keputusan Nawaz Sharif. ”Lebih banyak warga ikut pemilu lebih baik bagi masa depan Pakistan,” ujar juru bicara Musharraf, Rashid Qureshi. Musharraf mengapresiasi keputusan Nawaz Sharif dengan menyatakan akan mencabut keadaan darurat pada 15 Desember dan menjamin pemilu berlangsung bebas dan fair. ”Keadaan darurat akan berakhir pada 15 (Desember),” kata Musharraf.

Keputusan Nawaz Sharif dan Benazir tak hanya merusak barisan oposisi, tapi juga mengecewakan kelompok sipil, semacam pengacara dan aktivis hak asasi, yang sejak awal menentang kekuasaan Musharraf lewat gelombang protes. Menurut Hasan Askari, analis politik dari Universitas Punjab, pencabutan keadaan darurat sekadar tindakan kehumasan. ”Tindakan (pencabutan keadaan darurat) hanya akan menunjukkan kepada Barat bahwa ia (Musharraf) telah kembali ke konstitusi dan berjalan selangkah menuju demokrasi,” ujar Hasan.

Analis lain menyatakan pencabutan keadaan darurat tak banyak artinya jika Musharraf tidak memulihkan jabatan 60 hakim agung dan hakim tinggi yang ia pecat dengan undang-undang darurat pada 3 November dan menghentikan pengekangan media massa. Bahkan, hingga kini, Musharraf masih memberlakukan tahanan rumah pada bekas Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Mohammad Chaudhry. Musharraf menuduh Iftikhar mencoba secara ilegal mengenyahkannya. ”Jika lembaga peradilan tidak independen, bagaimana seorang (Musharraf) diharapkan membawa hak-hak dasar?” ujar Rasul Baksh Rais, analis politik dari Universitas Lahore.

Repotnya, baik Benazir Bhutto maupun Nawaz Sharif, yang berkobar-kobar membela hakim agung yang dipecat Musharraf, kini sudah melupakan tuntutan mereka agar jabatan para hakim itu dipulihkan. Padahal posisi hakim yang independen di Pakistan penting untuk menghadapi tokoh semacam Musharraf, yang gemar menggunakan peradilan untuk melibas musuh politiknya. Tapi realitas politik membuat Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif menari dengan iringan gendang orang yang mereka tuding diktator: Musharraf. ”Pemilu akan menguatkan tangan kediktatoran,” ujar Qazi Hussain Ahmed, pemimpin partai Jamaat-i-Islami, yang memboikot pemilu.

Raihul Fadjri (AFP, AP, The Dawn)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus