SEHARI sesudah kabinet koalisi Israel - memberlakukan keadaan darurat ekonomi, federasi serikat buruh, Histadrut, menggerakkan 1 1/2 juta anggotanya untuk protes. Akibat pemogokan yang cuma berlangsung satu hari - Selasa pekan silam - seluruh negeri lumpuh. Ben Gurion, bandar udara satu-satunya, dinyatakan tutup. Surat kabar tidak terbit, dan radio Israel hanya mengudara tiap satu jam, khusus untuk warta berita. Kemudian, bentrokan terjadi di sana-sini. Yerusalem diguncang huru-hara karena segerombolan pemuda memblokir jalan seraya membakar ban-ban bekas. Usaha mereka untuk membakar mobil untung bisa dicegah. Keesokan harinya, Rabu, keadaan tenang kembali, dan Histadrut menyatakan kesediaan untuk berunding dengan pemerintah. Tapi mogok besar itu, sebenarnya puncak berbagai ketidakpuasan selama ini. Pegawai kota praja, misalnya, mogok beramai-ramai sejak akhir Juni. Ke dalam rombongan itu termasuk pengantar surat, petugas kebersihan, dan pengedar bahan bakar gas. Sopir taksi sudah mogok dua minggu, sedangkan petugas pompa bensin baru "meliburkan diri" dua hari. Dan mereka segera bekerja kembali sesudah Menteri Energi Moshe Shahal berjanji menaikkan gaji 50%. Untuk sopir taksi, cukup dengan kenaikan 25%. Sejak program perbaikan ekonomi dilancarkan tiga bulan berselang, gaji pegawai sudah mengalami pemotongan 5%-25%. Menurut Histadrut, akibat program penghematan yang dilancarkan pemerintah, kaum buruh berkurang daya belinya. Pemotongan gaji rupanya sudah tidak bisa ditolerir manakala kabinet menetapkan kenaikan harga dan devaluasi 15,9%. Kabarnya, dalam dialok antara pemerintah dan Histadrut, nasib pegawai dan kaum buruh akan dibahas. Kemungkinan besar mereka akan diberi kompensasi. Aksi mogok itu sendiri sempat mengguncang Israel, tapi Knesset (Parlemen) mendukung kebijaksanaan ekonomi pemerintah dengan 70 lawan 19 suara. PM Shimon Peres berkomentar, "Israel mesti memilih, kemelut ekonomi atau tindakan-tindakan drastis." Pilihan rupanya jatuh pada yang terakhir, apalagi karena kondisi ekonomi sudah telanjur parah. Israel kini menanggung beban utang luar negeri US$ 23 milyar, laju inflasi 451% per tahun, dan neraca perdagangan yang terus-menerus defisit. Penyelamatan ekonomi yang dikampanyekan Peres, September lampau, sampai kini belum juga menunjukkan titik terang. Ketika dialok dengan Histadrut belum tuntas meletup pula huru-hara di pabrik rokok Dubek Co., Jumat lalu. Saat itu buruh Dubek sudah mogok 13 hari, sedangkan pemilik pabrik menuntut kepada pemerintah agar harga rokok dinaikkan. Kalau tidak, perusahaan dinyatakan bangkrut. Dalam keadaan terkatung-katung begitu, rokok cepat menghilang dari pasaran, sedangkan harga rokok impor tiga kali lipat - benar-benar tidak terjangkau kocek rakyat biasa. Akibatnya mereka kalap, lalu menyerbu Dubek, pabrik rokok terbaik di negeri itu. "Ada yang mengancam akan mengiris urat nadinya jika tidak memperoleh sebatang rokok," demikian laporan seorang koresponden radio. Ternyata, orang-orang Israel perokok berat. Memang, ketika Dubek mengancam akan menghentikan produksi rokok, Jerusalem Cigarette Co. melipatgandakan produksi rokok bermutu rendah. Tapi itu pun tidak banyak menolong. Anehnya, rokok hilang dari pasaran, tapi suplai telur justru melimpah ruah. Diperkirakan, ada surplus 180 juta telur yang celakanya tak bisa dimanfaatkan sebagai pengganti rokok. Supaya harganya tidak terlalujatuh, para peternak Israel secara demonstratif menghancurkan satu juta telur, Kamis lalu, di Yerusalem. Ribuan telur dilempar begitu saja ke udara, mengingatkan pada perbuatan putus asa yang sia-sia. Gambaran ekonomi Israel memang jauh dari menggembirakan. Peres agaknya dalam waktu dekat juga harus melancarkan tindakan tidak populer, seperti pencabutan subsidi pangan dan PHK (pemutusan hubungan kerja) masal. Dan tokoh Partai Buruh itu tentulah akan dikecam keras, persis ketika ia menukarkan 1.046 tawanan Palestina dengan tiga tentara Israel yang di tahan Syria. Kemudian pembajakan pesawat TWA, perusahaan penerbangan Amerika Serikat, di Beirut tiba-tiba saja memaksa ia "menukarkan" 331 tahanan Syiah dengan 39 sandera Amerika. Dan itu ditambah lagi dengan berantakannya citra Israel di dunia internasional karena pendekatan Israel-Yordania, untuk menyelesaikan masalah Palestina, terancam gagal, sementara ketegangan Israel-Mesir soal Kota Taba tidak juga dapat dikendurkan. Sesudah kemenangan gilang-gemilang di Libanon, dua tahun lampau, Israel kini memasuki masa suram. Perang yang berlarut-larut telah membuat negeri itu melempem. Israel bukan lagi musuh yang galak bagi lawan-lawannya, dan wajar jika Peres berusaha agar negaranya mulai mencoba hidup berdampingan dengan para tetangga Arab. Tapi rekan dalam kabinet koalisi, Likud partainya Yitshak Shamir, Menachem Begin, dan Ariel Sharon - tiap kali menjegal usaha itu. Tidak heran bila keadaan jadi tambah runyam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini