SABTU pekan lalu di lantai II Departemen P & K di Biro Kerja Sama Luar Negeri, puluhan remaja antre untuk mendapatkan formulir pemberitahuan belajar ke luar negeri. Makin siang, antrean ternyata makin panjang. Terpaksa pengambilan formulir gratis itu dipindahkan ke lantai bawah, ke loket pendaftaran tamu, yang lebih longgar. "Saya baca koran kemarin, sekolah ke luar negeri tak perlu izin," kata Tantya Terutung, lulusan SMKK St. Maria, Jakarta. "Jadi, saya kemari mengambil formulir, kepengin sekolah desain interior di Amerika." Benar. Pada Kamis 4 Juli, muncul berturut-turut Inpres No. 8 Tahun 1985, lalu Surat Keputusan Menteri P & K No. 0273 Tahun 1985. Isinya tentang tata cara belajar ke luar negeri bagi pelajar, mahasiswa, dan sarjana. Yakni dicabutnya peraturan lama, yang digantikan dengan tata cara baru yang lebih praktis, tak berbelit-belit. Tampaknya, Menteri P & K (ad interim) J.B. Sumarlin - ketua Bappenas dan bekas menteri penertiban aparatur negara - benar-benar berniat menghilangkan birokrasi yang tak perlu. Bagi Sumarlin, doktor lulusan Universitas Pittsburg, Amerika, belajar ke luar negeri bukanlah suatu hal yang harus dipersulit. Mengingat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, justru kesempatan belajar di luar negeri harus dibantu, kata Menteri kepada wartawan. Pun, berbagai fasilitas pendidikan yang belum kita punyai, yang ada di luar negeri, mestinya kita manfaatkan sebaik-baiknya. Selama ini, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri P & K, 21 Oktober 1976, persyaratan untuk belajar ke luar negeri demikian sulit dan ruwet. Bahkan, "Ada ketentuan bahwa sampai dengan pendidikan tingkat SMA harus dilaksanakan di dalam negeri," kata Siswardojo Sarodja, kepala Biro Keria Sama Luar Negeri Departemen P & K. Kecuali mereka yang mengikuti orangtua yang bekerja di luar negeri, dan mereka yang memerlukan pendidikan luar biasa yang belum dapat diperoleh di Indonesia. Adapun persyaratan yang sulit dan ruwet itu, yang bisa membuat permohonan surat izin belajar ke luar negeri lama keluarnya, antara lain: surat permohonan izin yang ditujukan ke Sekjen Departemen P & K harus dilampiri berbagai surat keterangan. Misalnya, surat keterangan berkelakuan baik dari polisi. Lalu, surat pernyataan pihak penanggung biaya sekolah, yang harus disahkan notaris. Yang lebih merepotkan yaitu keharusan melampirkan surat dari lembaga pendidikan yang dituju. Jelasnya, diperlukan pula surat pernyataan dari sekolah di luar negeri yang dituju bahwa si pemohon memang sudah diterima. "Surat dari sekolah luar negeri itu biasanya yang lama datangnya," tutur Siswardojo. Masih ada lagi lampiran, yaitu pernyataan bahwa si pemohon bersedia bekerja pada pemerintah RI bila diperlukan. Menurut Siswardojo, yang sudah lama mengurus mereka yang akan belajar ke luar negeri, dulu semua peraturan itu tujuannya baik. "Dikhawatirkan, bila masih terlalu muda belajar ke luar negeri, rasa kebangsaan bisa menipis," katanya. Memang, akibat sampingnya ada. Banyak keluhan bahwa prosedur pengurusan izin bertele-tele, makan waktu. Tapi tersendatnya surat Izin bukan di Departemen P & K - setidaknya menurut Siswardojo. Ada sebuah tim, yang disebut Tim Asimilasi (terdiri dari wakil Departemen Luar Negeri, Departemen P & K, dan Bakin), yang sangat menentukan. Tim inilah yang menentukan seseorang bisa atau tidak sekolah di luar negeri. Di sinilah surat permohonan izin bisa nyangkut agak lama. Tapi semua itu telah berakhir. Yang disebut "surat izin" pun kini tiada, digantikan oleh sekadar surat pemberitahuan belajar keluar negeri, yang dikirimkan kepada Sekjen Departemen P & K, u.p. Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri. Dan tembusan dikirimkan kepada Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan Departemen Luar Negeri, serta Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman. Memang, masih ada lampiran-lampiran. Yaitu surat pernyataan kesanggupan menanggung biaya sekolah dari orangtua atau siapa pun yang membiayai si pelajar. Tapi tanpa harus diteken notaris, cukup yang bersangkutan saja. Lalu pernyataan si pelajar itu sendiri, dengan diketahui wali atau orangtua, tentang kesediaan mematuhi semua petunjuk perwakilan RI di luar negeri. Juga, pernyataan sudah atau belum pernah mengiktui penataran P4. Toh, ketentuan P4 ini pun bisa ditawar. Misalnya, diikuti setelah selesai belajar. Dan, tentu, salinan Surat Tanda Tamat Berlajar atau ijazah terakhir. Jadi, tak ada lagi surat keterangan kelakuan baik. Surat pernyataan yang disahkan notaris. Surat pernyataan dari lembaga pendidikan yang dituju. Surat pernyataan bersedia bekerja di pemerintahan. Surat pemberitahuan itu pun bisa diantarkan sendiri ke Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen P & K. Lalu si pembawa akan mendapatkan tanda terima. Atau cukup dikirimkan melalui pos tercatat, dan si pengirim bakal mendapat resinya. Tanda terima atau resi itu sudah cukup untuk mengurus paspor dan segala sesuatunya. Tapi kepercayaan yang diberikan ini tetap tak boleh disalahgunakan. Yang di luar negeri ternyata tak benar-benar belajar, kata Siswardojo, paspornya tak akan diperpanjang. Pihak KBRI atau perwakilan kita di luar negeri yang akan bertindak. Yang kini belum jelas, bagaimana ketentuan persamaan ijazah sekolah dasar dan menengah di luar negeri dengan surat tanda tamat belajar sekolah kita. Yaitu bila yang lulusan sono kemudian melanjutkan di sini. Untuk tingkat perguruan tinggi, hal ini tak lagi jadi masalah. Di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah lama ada tim yang memberikan pengesahan ijazah perguruan tinggi luar negeri untuk disamakan dengan ijazah perguruan tinggi kita. Sementara ratusan ribu remaja bersaing memperebutkan bangku di SD sampai SMTA, kini terbuka pilihan lain - yang tak sesulit dulu untuk dimanfaatkan. Tapi, memang, kesempatan ini terbatas bagi yang punya biaya. Toh, setidaknya, mereka yang sekolah ke luar negeri ikut memberikan tempat bagi yang tetap di tanah air. Sebagaimana mereka yang memilih sekolah swasta karena merasa punya biaya, bagaimanapun, telah ikut memberikan tempat di sekolah negeri bagi yang biaya sekolahnya pas-pasan. Bambang Bujono Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini