MALAM itu ia duduk di tengah. Diapit Pak Mukti Ali dan Pak Munawir, bekas menteri agama dan menteri agama saat ini. Ada suasana aneh: tiga orang yang duduk sederetan itu seperti mengungkapkan perjalanan yang panjang, yang mungkin lepas begitu saja, di tengah hiruk pikuk tepuk tangan. Tapi suasana kesejarahan ini masih menampakkan cirinya yang kuat. Ada Pak Saifuddin Zuhri, menteri agama sebelum Pak Mukti. Ada Pak Gaffar Ismail, yang lebih senior. Dalam kongres umat Islam pertama, 1945, Pak Gaffar dengan bersemangat berpidato lantang tentang persatuan umat Islam. Masyumi dan sejarahnya yang hiruk pikuk adalah hasil kongres itu. Bagaimana malam peringatan tujuh puluh tahun Pak Rasjidi ini harus dihayati? Apa yang dipikirkan Pak Rasjidi malam itu? Pak Munawir, Pak Mukti, Pak Saifuddin, Pak Gaffar? Sementara itu, di belakang mereka duduk para tokoh muda Islam: Cak Nur, Mas Dawam, Djohan Efendi, Taufiq Ismail, Aswab Mahasin, Utomo Danandjaja, Muslim Abdurrachman, M.M. Billah, Sulastomo, dan lain-lain. Tapi juga ada Habib Chirzin, Ahmad Zacky, Pipip A. Rifa'i, Kurniawan. Mereka kelompok "Islam kota" yang lebih yunior. Dan sederetan nama-nama lain. Duduk diam, tanpa ekspresi, Pak Rasjidi mendengar pidato Pak Mukti. Tersenyum tertahan mendengar sambutan Pak Munawir. Sementara Munawir mendapat 1 1/2 gulden dari orangtua untuk biaya mondok, Rasjidi mendapat 55 gulden. Karena itu, wajar bahwa Pak Rasjidi menjadi menteri agama hanya dalam umur 31, sedangkan Pak Munawir memerlukan umur sampai 57. Dan ketika ia mengucapkan sambutan - untuk dirinya sendiri atau untuk upacara itu - kalimat-kalimatnya terdengar menggumam, seperti tidak bergairah. Di balik jas dan celana hitamnya, ia mengutip ayat Quran dan hadis. Sesekali terdengar kutipan asing. Ia menyebut Kant, Weber, Hurgronje, dan entah siapa lagi. Semua itu membuat imajinasi saya merayap kian kemari. Dalam pidatonya yang datar, berbagai peristiwa dan wajah melintas dan berputar-putar. Sesekali Kiai As'ad, sesekali Tengku Daud Beureueh, kali yang lain wajah Kiai Bisri Sansuri, Cak Nur, Dawam, Aswab. Inikah orang yang telah membuat saya berdebat dengan ayah saya di tahun 1974 ? Sebab, saya membela ide Nurcholish Madjid, sedangkan Ayah membela Rasjidi? Inikah orang yang disebut ahistoris dalam pemikiran Islam? Tapi, perlahan-lahan, saya mulai memperhatikan dia. Dalam umur tujuh puluh tahun, ia masih tegak berpidato selama 15 menit. Dan esok, di subuh hari, orang tua itu akan bangkit untuk salat. Bagaimana cara ia bekerja? Duduk tekun, menulis berbagai buku atau menerjemahkan karya asing, dalam umur yang begitu lanjut? Penatkah ia, dan masuk angin, seperti yang acap saya rasakan? Lama-lama, lewat postur tubuhnya yang menua - yang dulu bernama Saridi -muncul gambar Kotagede. Sebuah kota kecil di Kerajaan Mataram yang sebagian bangunan tuanya mulai menyuruk ke dalam tanah. Di situlah ia lahir pada tahun 1915, di tengah kiprah gerakan reformasi "Islam kota", Muhammadiyah, yang muncul tiga tahun sebelumnya. Dan ia dalam arus itu. Sekali lagi saya melirik Pak Mukti, Pak Munawir, Pak Gaffar Ismail, lalu - entah mengapa - di tengah bayangan wajah tokoh-tokoh Islam yang lebih muda, muncul pak Deliar Noer. Inikah produk terakhir, saat ini, dari gerakan reformasi Islam yang mengharu biru 73 tahun lalu? Walau relatif berbeda dengan Sarekat Islam, kegiatan Muhammadiyah bagaimanapun jelas memperlihatkan sosok gerakan "Islam kota". Kaum ekonomi menengah Muslim yang independen, tetapi secara kultural tertekan oleh wibawa feodalisme keraton, menemukan dasar gerakannya pada Muhammadiyah. Perkumpulan ini datang mewadahi kegelisahan mereka, dan mereka memberikan tanggapan yang relatif lengkap. Bangkitnya golongan borjuis ekonomi di satu pihak diimbangi oleh munculnya intelektualisme Islam di pihak lain, dan keduanya bergumul serta berproses dalam gerakan reformasi. Tapi, dalam jangka 73 tahun itu, yang tersisa adalah kaum intelektual Islam. Pak Rasjidi ada di sini. Ia menjadi menteri agama yang pertama, menjadi diplomat, guru besar, pemikir, dan penulis. Karier yang sama, walau sedikit terbalik-balik, dirintis Pak Mukti dan Pak Munawir. Di bawahnya menyusul tokoh-tokoh yang lebih muda: Deliar, Cak Nur, Dawam, Ahmad Syafi'i, Djohan, Amin Rais, dan lain-lain. Sementara itu, gerakan kaum ekonomi menengah seperti menginjak lantai lumpur, terbenam ke dalam kenangan. Hiruk pikuk kebangkitan borjuis pribumi (Islam) di Surakarta, Pekajangan, Sumatera Barat, hanya tinggal terpapar dalam hasil studi. Tidak pernah mampu mengembangkan dasar-dasarnya yang kuat menjadi kelompok menengah yang relatif dominan di tingkat nasional. Maka, kisahnya menjadi begini: "Syahdan, di awal abad kedua puluh, bangkitlah . . ." Pak Rasjidi, mengapa yang tersisa cuma intelektual pejabat dan bekas pejabat, dari tujuh puluh tiga tahun gerakan reformasi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini