Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rusia telah menciptakan kendaraan udara tak berawak (UAV) terbaru di tengah meningkatnya ancaman perang nuklir antara Rusia dan Barat. UAV ini dikenal dengan julukan doomsday drone atau "drone kiamat”, yang dirancang untuk misi pengintaian jika terjadi konflik nuklir. Pengembangan drone ini dilakukan oleh Center of Comprehensive Unmanned Solutions (CUS) Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEO lembaga tersebut, Dmitry Kuzyakin menamai drone itu 'Khrust'. Ia menjelaskan bahwa drone ini dirancang untuk memantau radiasi latar belakang dan menjaga keamanan personel ketika terjadi serangan nuklir. Drone ini juga sangat fleksibel dan dapat digunakan untuk memantau tingkat radiasi di area yang mungkin terkontaminasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya yakin bahwa akal sehat akan menang dan dunia akan menahan diri dari menggunakan senjata nuklir sehingga drone kami tidak perlu digunakan. Namun, kami percaya bahwa adalah sebuah kejahatan jika tidak mempersiapkan diri untuk skenario terburuk sekalipun. Spesialis kami telah mengembangkan drone untuk memantau radiasi latar belakang dan memastikan keamanan personel sebagai bagian dari proyek Khrust," ujar Kuzyakin pada Sabtu, 3 Agustus 2024 dilansir dari TASS.
Spesifikasi Drone Kiamat Rusia
Kuzyakin menjelaskan bahwa drone ini dilengkapi dengan berbagai perangkat. Ia mencatat drone dengan pandangan orang pertama (FPV) tersebut sangat gesit dan mampu menjelajahi setiap sudut serta celah sambil membawa sensor untuk mendeteksi zat beracun atau dosimeter khusus.
Selain itu, drone kiamat ini dapat disimpan secara ringkas bersama peralatan darat lainnya. Dengan waktu terbang mencapai 20 menit dalam mode manuver aktif, drone ini memiliki jarak operasional yang bervariasi antara 500 meter di area dengan kontaminasi konstan dan 2 kilometer di area dengan kontaminasi yang berubah-ubah, tergantung pada kondisi medan dan kualitas sinyal.
Drone ini juga bisa dikerahkan dalam waktu kurang dari 30 detik dan dikendalikan dari kendaraan yang tertutup dan bergerak. “Ini berarti UAV tersebut dapat memeriksa tingkat kontaminasi sepanjang rute melalui area yang terkena serangan nuklir, serta menganalisis pusat-pusat ledakan nuklir di kota-kota dan di daratan," kata Kuzyakin.
Selain mengembangkan alutsista berupa drone, CUS hingga kini telah merancang dan menerapkan lebih dari 20 skenario lain. Ini meliputi operasi serangan di lingkungan perkotaan dan bangunan untuk kegiatan kontra-terorisme, serta operasi dari kendaraan lapis baja.
"Kami masih harus menjelajahi lebih banyak industri FPV. Program Khrust dan drone untuk kondisi darurat nuklir bukanlah satu-satunya bidang kerja pusat dalam penggunaan tempur drone FPV yang masih baru bagi semua orang. Kami baru memulai di bidang ini," kata Kuzyakin.
Peluncuran drone kiamat ini terjadi di tengah ketegangan antara Rusia dan Barat. Pada Rabu, 13 Maret 2024 lalu, Presiden Vladimir Putin mengancam negara-negara bahwa Rusia secara teknis siap menghadapi perang nuklir dan bahwa pengiriman pasukan Amerika ke Ukraina akan dianggap sebagai eskalasi konflik yang signifikan.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) Rusia mewarisi senjata nuklir dari Uni Soviet dan memiliki stok hulu ledak nuklir terbesar di dunia. Bahkan Putin mengendalikan sekitar 5.580 hulu ledak nuklir.
Sekitar 1.200 di antaranya sudah tidak aktif, namun sebagian besar masih dalam kondisi baik. Sementara sekitar 4.380 hulu ledak disimpan untuk peluncur strategis jarak jauh dan pasukan nuklir taktis jarak pendek. Jumlah ini menunjukkan bahwa Moskow memiliki kapasitas untuk menghancurkan dunia berkali-kali lipat.
RIZKI DEWI AYU | TASS
Pilihan editor: 14 Negara di Amerika Selatan Beserta Ibu Kotanya