DUA bekas Kepala Negara Kampuchea berunding di sebuah istana tua
di Pyongyang, Korea Utara. Keduanya pekan lalu berusaha membina
koalisi anti-Vietnam di tanah air mereka, tapi gagal. Khieu
Samphan -- yang memimpin gerilyawan Khmer Merah -- diduga masih
mencurigai rencana Pangeran Norodom Sihanouk. Tapi, "pintu
perundingan lanjutan belum tertutup," kata Sihanouk yang kini
bermukim di Pyonyang.
Sihanouk konon mengusulkan pelucutan senjata seluruh pasukan di
Kampuchea segera setelah tentara pendudukan Vietnam mundur dari
negeri itu. "Pihak Khmer Merah menyatakan prajurit mereka akan
kehilangan semangat dalam memerangi tentara Vietnam jika senjata
mereka harus dilucuti setelah kemenangan kelak," kata Sihanouk.
Di Kampuchea kini terdapat 200.000 tentra Vietnam yang
membeking pemerintahan Presiden Heng Samrin.
Bila semua pasukan dilucuti, kata Khieu Samphan, akan terbuka
peluang bagi Vietnam kembali lagi. Tapi bagi Sihanouk dalih
Khieu Samphan itu suatu "iktikad jelek". "Kalau Khmer Merah
tetap memegang senjata, mereka bisa menelan pengikut Sihanouk
dan kelompok Son Sann, lalu merebut kekuasaan," ujarnya.
Sihanouk cenderung mempercayai soal keamanan Kampuchea
sepeninggal tentara Vietnam di tangan pasukan pemelihara
perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kenapa Sihanouk tidak mempercayai Khieu Samphan? Setelah
menggulingkan pemerintahan PM Long Boret, pengganti Presiden
Lon Nol yang kabur ke Amerika Serikat, April 1979, Khmer Merah
meminta Sihanouk untuk memimpin Kampuchea kembali. Karisma
Sihanouk waktu itu dibutuhkan, apalagi Kampuchea sedang
berantakan akibat perang. Sihanouk setuju. Tapi setahun setelah
diangkat sebagai kepala negara, ia disingkirkan Khieu Samphan.
Ia baru bisa meloloskan diri dalam Januari 1979, ketika tentara
Vietnam menyerbu. Kemudian ia mengasingkan diri di luar negeri.
Keadaan Kampuchea, di bawah rezim Khmer Merah maupun Heng
Samrin, parah sekali. Kelaparan merajalela. Penduduk selalu
dalam ketakutan. Kalau bukan pihak penguasa, kelompok gerilyawan
menteror. Maka orang kembali berpaling kepada Sihanouk untuk
menjadi tokoh pemersatu. Ia dihubungi oleh pihak gerilyawan
maupun negara besar scperti Amerika Serikat dan RRC.
Sihanouk menyatakan kesediaannya menjadi pemimpin "baru"
Kampucha. Syaratnya AS dan RRC supaya membantu Laskar Sihanouk
dengan peralatan militer, dan netralitas Kampuchea supaya diakui
lagi. Tapi persoalan ialah bagaimana menempatkan Khmer Merah
pimpinan Khieu Samphan dalam hirarki nasional Kampuchea.
Di Pyongyang, Khieu Samphan menyetujui gagasan pembentukan
Laskar Sihanouk yang bebas dan terlepas dari Khmer Merah, dan
pemakaian sistem parlementer dengan berbagai partai politik,
serta penyelenggaraan pemilihan umum dengan pengawasan
internasional. Tentang rencana pemilu itu Sihanouk menyatakan:
"Saya pribadi tidak keberatan jika partai pro-Vietnam pimpinan
Heng Samrin mengambil bagian." Khieu Samphan diam dalam hal
ini.
Khieu Samphan juga datang dengan usul. Yaitu, agar dibentuk
suatu "tentara nasional" untuk memerangi pasukan Vietnam di
Kampuchea.
Sementara Sihanouk dan Khieu Samphan berembuk di Pyongyang,
pemimpin gerilyawan Son Sann, bekas PM Kampuchea, terbang ke
Paris mencari dukungan militer dan keuangan AS. Tujuannya ialah
memerangi Khmer Merah maupun rezim Heng Samrin. Hasil perjalanan
Son Sann belum jelas.
Perundingan yang digarap Sihanouk dan Khieu Samphan tampak masih
akan dilanjutkan di Beijing, Mei. Peranan RRC diduga akan
mempercepat proses pembentukan Front Anti Vietnam, tentu bersama
Sihanouk dan Khieu Samphan.
Sementara itu Phnom Penh mengizinkan pembicaraan terbuka
mengenai naskah konstitusi baru Kampuchea. Tapi diskusi ala
Phnom Penh jelas mempertahankan kehadiran tentara Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini