"INI bukanlah republik yang saya bisa bangga menjadi
presidennya," tulis Abolhassan Bani Sadr untuk koran
Enghelab-e-Islami (Revolus islam). Pernyataannya ini tentu saja
mengejutkan. Kebetulan kalangan mullah sedang mengecam
kepemimpinannya. Terutama sejak terjadi kerusuhan dalam rapat
raksasa di Universitas Teheran.
Rapat raksasa 5 Maret itu diadakan untuk memperingati wafatnya
bekas PM Mohammad Mossadeq. Serangan mendadak dari kelompok
Hisbullah membuatnya kacau. Kantor Berita Pars melaporkan
pengikut Bani Sadr melawan Hisbullah -- kelompok bersenjata
pendukung mullah -- selama 3 jam. Akibatnya 45 orang cedera.
Republic Islam -- koran resmi Partai Republik Islam (PRI) --
sebelumnya memberitakan 4 orang tewas.
Kerusuhan kali ini kelihatannya berakibat panjang. Presiden Bani
Sadr secara terbuka langsung menuduh Hisbullah sebagai pengacau.
Tentu saja kalangan mullah membantahnya. PM Mohammad Ali Rajai,
yang biasanya memihak PRI, menuduh Bani Sadr menggunakan
kekuasaan hukum sewenang-wenang. Sehari setelah kerusuhan itu
pengawal Bani Sadr memang menahan beberapa anggota Hisbullah
yang diduga terlibat.
Menurut sumber PRI, 80 anggota partai itu telah ditahan oleh
pasukan pengawal presiden. "Yang memulai kerusuhan itu adalah
kaum kontra revolusi yang berpura-pura mendukung Bani Sadr,"
kata PM Rajai dalam suatu pidato televisi. Ia juga menyatakan
pengawal presiden tidak berhak melaksanakan tugas keamanan umum.
Dan secara bertubi-tubi Bani Sadr dipersalahkannya.
Ayatullah Khalkali, bekas Ketua Mahkamah Revolusioner, bahkan
menuntut agar Presiden Iran itu dipecat. "Saya yakin bahwa
Presiden Bani Sadr telah mengkhianati Konstitusi. Ia harus
diadili," kata Khalkali.
Keesokan harinya, 9 Maret, ratusan pendukung kaum mullah
melakukan aksi duduk di kantor Kejaksaan Tehcran. Mereka
menuntut semua tahanan yang terlibat dalam kerusuhan itu supaya
dibebaskan. Menteri Dalam Negeri, Ayatullah Mahdavi Kani, hari
itu juga mengumumkan larangan berdemonstrasi. Ia menuduh bahwa
aksi kerusuhan ini ditunggangi oleh kekuatan antek Amerika.
"Musuh seperti ini berusaha mengalihkan perhatian masyarakat
dari perang dengan Irak," ujarnya.
Memang pertentangan antara kelompok Bani Sadr dan para mullah
ini sudah mendekati puncaknya. Dan Bani Sadr tampak jengkel
sekali. "Saya akan melawan dan tidak akan membiarkan
ketidakadilan berlanjut, meskipun itu harus dibayar dengan
mundur dari jabatan," tulis Bani Sadr dalam Enghelab-e-Islami.
Sikapnya ini ternyata tak meredakan situasi. Jaksa Agung,
Mossavi Ardebili, mengatakan bahwa Presiden Bani Sadr mungkin
harus menghadap Mahkamah Agung untuk menjawab tuduhan
terhadapnya. Dalam suasana yang semakin tegang, Komando
Angkatan Bersenjata Iran mengumumkan dibentuknya pasukan khusus
pengawal presiden. Selama ini sebagian besar pengawal presiden
datang dari Pengawal Revolusi. Loyalitas Pengawal Revolusi
belakangan ini diragukan -- terutama terhadap Bani Sadr --
hingga pasukan pengawal presiden itu terpaksa diganti.
Ayatullah Khomeini, menghadapi situasi seperti ini, hanya bisa
berkata, "Saya akan menindak siapa yang bersalah." Seruan
Khomeini agar rakyat tetap tenang belum meredakan keadaan. Namun
semua penyelesaian selalu dianggap tergantung pada sang
ayatullah.
Tekanan ke arah Bani Sadr dan pendukungnya jelas semakin gencar.
Abbas Amir Entezam, bekas Wakil PM di masa kabinet Mehdi
Bazargan, misalnya, akan diadili. Ini pertama kali seorang bekas
menteri yang pernah ikut menumbangkan Syah akan diadili.
Entezam yang dikenal dekat dengan Bazargan dituduh jadi agen
CIA, suatu siasat para mullah memojokkan Bani Sadr. Selama ini
Bani Sadr selalu berusaha membelanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini