ADA yang bilang Nyonya Kartika Ratna yang menghebohkan itu
karena memperebutkan harta peninggalan suaminya, H. Thaher,
dengan Pertamina -- kini bermukim di Swiss. Maka sulitlah ia
memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Malang awal bulan ini, yang
meminta janda cantik tersebut menghadiri persidangan bulan
depan.
Perkara yang di Malang itu memang terlalu kecil dibanding
urusannya dengan Pertamina yang menyangkut uang sekitar Rp 50
milyar. Tuntutan yang diajukan Djajoesman, penduduk Jalan
Langsep, hanya berupa ganti rugi tak lebih dari Rp 50 juta.
"Hanya karena nama Kartika Ratna sajalah perkara ini jadi
menarik," kata Pengacara R.A.F. Soearso Basoeki yang memegang
kuasa Djajoesman.
Ketika suaminya masih berkuasa di Pertamina, sekitar 1973,
Kartika Ratna membeli sebidang tanah di Desa Purwodadi di daerah
"atas" Malang. Maksudnya hendak membangun perumahan atas pesanan
Pertamina. Pembelian 4 hektar tanah tersebut dilakukan Kartika
Ratna bersama ayahnya, Tedja Kusuma Tandio, melalui Djajoesman.
Jual beli dilakukan secara "sahabat". Sawah milik Thalib,
Sampan, Saman Atmodjo, Samud, Sarwi dan Djajoesman sendiri
dibayar Rp 600/mÿFD -- padahal pasarannya ketika itu sekitar
Rp 2.000. Tapi transaksi terserbut, menurut Djajoesman, disertai
janji Kartika Ratna yang hendak mengangkatnya sebagai semacam
"pelaksana pembangunan".
Perjanjian memang tak tertulis. Sebab, ketika Djajoesman
meminta diadakan perjanjian hitam di atas putih, konon
Kartika menjawab: "Apa janji saya selama ini tidak tepat?"
Memang begitulah. Pembayaran berlangsung lancar -- malah
dengan uang dollar segala. Djajoesman jadi percaya, padahal
ketika itu ia belum tahu, Kartika Ratna adalah istri seorang
milyuner yang memang patut dipercaya.
Basori
Setelah lama ditunggu-tunggu, begitu kata Djajoesman,
pembangunan tak juga dilaksanakan. Bukankah Pertamina lagi repot
urusan keuangan? Dari beberapa potret Kartika Ratna di
koran-koran, lengkap dengan cerita tentang perselisihannya
dengan Pertamina, tahulah Djajoesman dengan siapa ia dulu
berurusan. Ia kemudian ikut-ikutan pula bersengketa dengan
nyonya itu. Ia mengajukan gugatan ke pengadilan karena merasa
telah dirugikan dan menuduh nyonya tersebut ingkar janji.
Pengadilan memperhatikan gugatannya. Agustus tahun lalu
pengadilan meletakkan sitaan jaminan atas tanah yang
ditunjuknya. Tapi muncul perlawanan dari Mohamad Basori,
Direktur PT Teja Sekawan, yang merasa lebih berhak atas tanah
tersebut. Teja Sekawan, kata Basori, telah membeli tanah
tersebut dari perusahaan eeal estate Ratna Malang Land seharga
Rp 66 juta (pada 1979 dan baru dibuat akta resmi Juni 1980).
Yang dilawan termasuk juga Kartika Ratna dan Tedja Kusuma
Tandio. Basori mengatakan, di atas tanah sengketa itu ia akan
membangun 50 rumah. Direktur Teja Sekawan yang lain, Peter,
menyatakan: "Sebetulnya, kalau Djajoesman mau baik-baik saja,
kami tak keberatan memberi semacam uang penghargaan Rp 2-3 juta
-- tapi sekarang lain lagi . . ."
Djajoesman (60 tahun) memang tak hendak mundur, meskipun
katanya, seorang pejabat Kodim Malang ikut pula
mendesak-desaknya agar mencabut gugatannya. "Perkara sudah
sampai ke pengadilan," katanya, "jadi saya tak begitu gegabah
mencabutnya."
Repotnya, pengadilan tentu sulit menghadirkan Kartika Ratna.
Sebab, jangankan untuk perkara perdata, sedangkan Jaksa Agung
sendiri tak dapat memaksa nyonya tersebut pulang ke tanah air.
Perkara yang lebih besar memang menunggunya. Ia harus
mempertanggung jawabkan tuduhannya -- katanya, beberapa pejabat
juga menerima komisi dari luar negeri, seperti halnya suaminya
-- yang dibeberkannya di pengadilan Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini