MANAKALA Vietnam secara besar-besaran merayakan sepuluh tahun kejatuhan Saigon, rakyat Kamboja diam-diam mengenang sepuluh tahun kejatuhan Phnom Penh, 17 April berselang. Hari itu, ibu kota Kamboja ini direbut Pol Pot dari penguasa Lon Nol, dan mulailah pemerintahan teror merajalela sampai tentara Vietnam menghentikannya, Januari 1979. Selama hampir empat tahun algojo Pol Pot dan Khmer Merahnya diperkirakan membantai lebih dari dua juta rakyat tak berdosa, dan menceraiberaikan mereka. Kini, di Phnom Penh berkuasa pemerintah Republik Rakyat Kamboja di bawah pimpinan Heng Samrin, sementara Pol Pot bergerilya di hutan-hutan dekat perbatasan Muangthai. Ia dikabarkan sehat walafiat, sedangkan Pangeran Sihanouk, yang pekan lalu minta cuti, justru digerogoti penyakit gula dan darah tinggi. Persis pada hari peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika, presiden RDK (Republik Demokratik Kamboja) itu diberitakan bermaksud istirahat satu tahun. Imbauan ASEAN agar rencana itu dibatalkan ternyata disambut baik oleh sang pangeran. Para pengamat pun lalu menafsirkan permohonan cuti Sihanouk hanya sebagai sebuah siasat, menguji kemantapan posisinya sendiri seraya menjajaki dukungan dunia luar terhadap RDK. Untuk itu, dia memilih momentum yang tepat, peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika. Kehilangan lima putra dan 14 cucu semasa teror Pol Pot, Sihanouk - yang digulingkan oleh Lon Nol pada 18 Maret 1970, dan sejak itu hidup berpindah-pindah antara Beijing dan Pyongyang - ternyata sampai kini tetap bertahan sebagai satu-satunya tokoh pemersatu Kamboja. Ia bisa diterima oleh semua lapisan rakyat di sana. Mungkin karena kharisma dan wibawa itu pula, Vietnam menginginkan dia kembali ke Phnom Penh. Tapi, katanya, "Saya bukan pengkhianat. Saya tidak akan mengabdi pada mereka." Sihanouk sesungguhnya dapat memainkan peran lebih besar, tapi dia tentulah punya banyak alasan untuk menolak uluran Vietnam. Sementara itu, putranya, Pangeran Norodom Ranaridh, bersama-sama pemimpin KPNLF Son Sann melawat ke Washington. Mereka mendesak AS agar memberi bantuan senjata, suatu hal yang selama ini dihindari Washington karena keterlibatan militer dianggap memperlemah posisinya sebagai perantara ke arah penyelesaian damai. Walaupun Son Sann bicara bahwa "keran bantuan AS telah dibuka", dalam posisi terjepit kini, gerilyawan yang dipimpinnya tidak dapat berbuat banyak. Sesudah tiga basis penting RDK - Ampil, Tatum, dan Phnom Malai - jatuh, dan RRC juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberi "pelajaran kedua" pada Vietnam, maka tampaknya tidak ada kesulitan bagi Hanoi untuk - kalau mereka mau menggilas semua basis gerilyawan yang tersisa. Dalam kegawatan seperti ini, tiba-tiba saja ASEAN merencanakan pendekatan baru. Adalah menlu Malaysia Tengku Ahmad Rhitaudeen yang mengungkapkan sebuah rencana yang intinya akan mengundang RDK dan pemerintahan Heng Samrin untuk berunding dalam ruang terpisah dengan ASEAN sebagai perantara. Sebuah gagasan segar yang masih akan dimatangkan lagi dalam sidang ASEAN di Brunei, bulan depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini