Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mutu kejahatan meningkat

Setelah penyelundupan impor, kini penyelundupan ekspor. fasilitas SE dari pemerintah merupakan obyek baru penyelundup.

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tidak pernah ada fasilitas pemerintah yang tidak dimanipulasikan, tampaknya. Fasilitas Sertifikat Ekspor (SE), semacam hadiah pemerintah untuk merangsang ekspor nonmigas, ternyata tidak luput dari kecurangan itu. Pekan-pekan ini Pengadilan Negeri Jakarta Utara, untuk pertama kalinya, mengadili perkara manipulasi SE dengan tertuduh direktur dan karyawan PT Jagarin, eksportir pakaian jadi, Budi Setiawan Ishak dan Robert Sumampow. Jaksa T.M. Siahaan menuduh Budi danRobert, sejak 1982 sampai 1983, hampir 100 kali memanipulasikan SE sehingga merugikan negara Rp 2,5 milyar. Caranya, kata Siahaan, Jagarin mengekspor pakaian jadi darl bahan baku luar negeri, tapi melaporkannya seakan-akan memakai bahan baku dalam negeri. Sesuai dengan ketentuan, bila yang diekspor itu berasal dari bahan baku luar negeri, eksportir mendapat pengembalian bea masuk bahan baku ketika mengekspor kembali bahan jadinya. Tapi, bila memakai bahan baku dalam negeri, eksportir mendapat perangsang dari pemerintah berupa SE. Kesempatan semacam itulah, menurut Jaksa, yang dimainkan Budi dan Robert. Pengusaha yang memproduksi pakaian jadi di kawasan Bonded Warehouses Indonesia (BWI) itu telah memasukkan lebih dari 5 juta yard tekstil luar negeri ke gudangnya. Tapi, semua bahan baku yang belum dibayar bea masuknya itu, belakangan, dilaporkannya musnah ketika terjadi kebakaran di gudang Jagarin, Agustus 1983. Pada periode yang sama, Budi dan Robert memasukkan pula 250.000 yard tekstil dari PT Lucky Print, yang merupakan bahan baku dalam negeri. Tapi bahan baku dalam negeri itu mereka laporkan ke Bea Cukai berjumlah 5 juta yard. Untuk mengelabui petugas, satu bal tekstil dalam negeri dipecah-pecah oleh para terdakwa menjadi beberapa pis, seakan-akan setiap pis adalah satu bal. Untuk lebih lancar, mereka memalsukan blangko formulir, faktur, surat jalan, kuitansi, dan bahkan tanda tangan direksi PT Lucky Print. Berkat bantuan dari petugas Bea Cukai dan BWI, menurut Jaksa, Jagarin berhasil mengelabui pemerintah seakan-akan memproduksi pakaian memakai tekstil dalam negeri. Hasil produksi perusahaan itu, kata Jaksa, dieskpor para terdakwa ke berbagai negara, di antaranya ke Austria, Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat. Berdasarkan bukti-bukti ekspor itu, mereka mendapatkan perangsang SE senilai Rp 2,5 milyar. Dalam periode yang sama, kata Jaksa, Budi dan Robert melakukan manipulasi yang lebih hebat. Beberapa kali mereka memasukkan pakaian jadi dengan label lengkap made in Indonesia dari luar negeri. Semua barang itu dilaporkan kepada Bea Cukai sebagai bahan baku. Barang-barang jadi produksi luar negeri itulah yang kembali diekspor untuk mendapatkan perangsang dari pemerintah. Baik Budi maupun Robert, atas pertanyaan ketua maielis hakim. Soeharto. membantah semua tuduhan. Pengacara mereka, Moh. Assegaf, Wahyu Afandi, dan Nursalim, meminta sidang ditunda sepekan untuk membacakan eksepsinya. Sebab, menurut Assegaf, kliennya dituduh melanggar ordonansi bea yang sudah dihapuskan oleh Inpres No. 4/1985. "Jika ada perubahan undang-undang, seharusnya yang diterapkan adalah peraturan yang menguntungkan terdakwa," ujar Assegaf. Apa pun keputusan hakim nanti, sebenarnya bukan hanya jagarin yang diusut kejaksaan karena- didugamemanipulasikan SE. Sekurang-kurangnya saat ini kejaksaan tengah menyidik empat eksportir lainnya. Salah satu di antaranya adalah eksportir mainan anak-anak PT Tomi Utama Toy. Perusahaan mainan anak-anak yang mengekspor produksinya ke Hong Kong, Sri Lanka, dan Australia itu diduga memalsukan dokumen-dokumen ekspornya, baik dalam jumlah maupun harganya. Lebih parah lagi, konon, suatu kali beberapa perusahaan di Sri Lanka dan Australia mengembalikan barang-barang Tomi karena mereka merasa tidak pernah mengimpor barang-barang itu dari Indonesia. Akibat ekspor fiktif semacam itu, kabarnya, negara dirugikan Rp 2,5 milyar. Direktur PT Tomi, Santoso Tjoa, membantah keras. Katanya, ia hanya mengekspor barang-barang mainan itu kepada Borowell Trading di Hong Kong. Sebab itu, ia merasa yakin bahwa barang-barangnya yang kembali itu merupakan impor pengusaha Hong Kong itu, karena sebelumnya ada perjanjian bahwa pihak importir bisa mengembalikan barang-barang yang rusak. "Tapi tidak benar barang-barang seharga Rp 200 saya laporkan berharga Rp 1.900. Bagaimana bisa mainan itu berharga Rp 200 - plastiknya saja tidak bisa dibeli segitu?" ujar Tjoa. Benar atau tidak bantahan Tjoa, pengadilanlah yang berhak menentukannya. Yang pasti, setelah bertahun-tahun mengusut penyelundupan di bidang impor, kini kejaksaan mendapat pekerjaan baru: penyelundupan ekspor. Kejahatan pun semakin bermutu, tampaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus