Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG itu, 9 September tahun lalu, terbit sebuah harapan. Raja Bhumibol Adulyadej dan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menunjuk kepala staf angkatan darat baru. Dan ia berasal dari kalangan yang hampir tak pernah diperhitungkan dalam percaturan politik nasional. Ia Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, bagian dari minoritas muslim, dikenal dekat dan loyal terhadap Raja.
Memang, setelah penunjukan itu, bunyi tembakan tak sering terdengar di tiga provinsi selatan—Pattani, Yala, dan Narathiwath. Raja dan Thaksin telah menilai penunjukan lulusan Akademi Militer Kerajaan Thailand Chulachomklao pada 1969 itu bisa menyelesaikan konflik berdarah. Sonthi—cucu pemimpin muslim nasional di negara itu—risau bahwa konflik harus diselesaikan dengan senjata semata.
Sonthi berjanji menggunakan pendekatan baru dan efektif untuk mengurangi intensitas perang sipil. ”Angkatan bersenjata akan keluar,” kata Sonthi waktu itu. Janji yang dibuktikan peserta latihan militer tingkat lanjut di Amerika dan veteran Perang Vietnam itu dengan membuka pintu dialog dengan para gerilyawan.
Entah mengapa, dalam perkembangannya Thaksin mulai bimbang. Ketika kerusuhan meletup lagi, Thaksin meminta Sonthi meredamnya dengan kekuatan militer. Ia pernah bertugas di korps infanteri tentara kerajaan dan menjadi komando pasukan khusus. Tapi memerangi orang-orang Islam sesuatu yang sulit.
Diperkirakan, sejak itu ia menyimpan kesumat terhadap atasannya. Sonthi, kelahiran 2 Oktober 1946, mulai gemar mengkritik Thaksin: termasuk provokasinya agar publik tak mempercayai pemimpin yang korup. Tindak-tanduknya disokong penuh mantan panglima tentara Thailand Jenderal Surayud Chulanont dan Presiden Dewan Penasihat Kerajaan Jenderal Prem Tinsulanonda. Kedua penasihat Raja itu juga yang mempengaruhi Raja menunjuk Sonthi sebagai panglima.
Sonthi kerap bolak-balik istana. Ia tahu, Raja mendukungnya. Pengamat militer dan politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti melihat ada problem pribadi antara Sonthi, Bhumibol, dan Thaksin. Raja dan panglima punya visi sama. Mereka, menurut Ikrar, menilai Thaksin arogan, terlalu keras, dan cenderung otoriter dengan cara yang demokratis. ”Sonthi sering bertanya kepada Raja, apa yang bisa ia perankan,” kata Ikrar.
Mungkin Raja dan panglima kelewat putus asa. Sadar susah menumbangkan Thaksin dengan cara demokratis, mereka menggunakan cara lawas yang sudah kenyang dilalui Bhumibol. Kudeta dianggap paling mustajab. Ketika Thaksin mengumumkan pemecatan Sonthi dari New York, hanya berbeda beberapa menit kemudian, Sonthi menjawabnya dengan pamer kekuatan militer. Ketika Thaksin tengah menghadiri Sidang Umum PBB di New York, panglima ini mengerahkan tank dan pasukannya menyusuri jalan-jalan utama di ibu kota negara kerajaan itu dan menguasai kantor pemerintahan.
Tak ada setetes darah pun tumpah. Usai berpaling di kantor Thaksin, Sonthi meminta restu tindakannya kepada Raja Bhumibol. Raja di negara mayoritas Buddha ini memberinya mandat tambahan. Ia menjadi perdana menteri sementara dan Ketua Dewan Reformasi Demokratis, mengisi pemerintahan dan parlemen yang dibekukan.
Bagi Ikrar, momen restu Raja ini penting untuk mengingatkan Thaksin bahwa otorisasi Raja makin kuat terutama setelah ulang tahun ke-60 kekuasaannya. ”Tidak ada yang berani menggugat jika atas nama Raja,” katanya. Persetujuan raja Buddha kepada pemimpin muslim ini juga membawa agenda lain mengangkat citra kerajaan di mata umat muslim di Thailand Selatan. Angin segar yang disambut hangat Wakil Presiden Pattani United Liberation Organization yang kini menetap di Swedia, Lukman B. Lima. ”Kami harap situasi politik ini bisa diselesaikan Jenderal Sonthi sebagai pemimpin baru.”
Di luar itu, ada sepercik kekhawatiran. Sejak junta militer berkuasa, pers tak lagi leluasa bergerak. Militer, kata koordinator pemantau South East Asian Press Alliance (SEAPA) Chuah Siew Eng, telah membatasi media melakukan pekerjaannya. Bahkan kantor berita asing seperti CNN, BBC, dan CNBC ikut dibungkam. ”Khususnya berita tentang Thaksin dan sentimen antikup,” katanya.
Istiqomatul Hayati (AP, The Star, The Nation, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo