TEPAT pukul 12.00 GMT (19.00 WIB) Senin pekan ini wilayah udara Bosnia-Herzegovina dinyatakan sebagai kawasan bebas terbang. Setiap pesawat yang berani melanggar larangan itu, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB pekan lalu, akan ditembak jatuh oleh pesawat tempur Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang ditugasi mengamankan wilayah tersebut. Untuk itu NATO telah menyiagakan sekitar 50 pesawat tempur di Vicenza, Italia. ''Operasi ini mengandung risiko tinggi, dan perang besar akan terjadi,'' ujar Radovan Karadzic, pemimpin politik Serbia, mengomentari larangan terbang itu. Ancaman terhadap NATO memang bukan dari pesawat-pesawat Serbia, tapi dari darat. Sabtu lalu dikabarkan bahwa sejumlah persenjataan berat penangkal pesawat udara terlihat dimobilisasi di sekitar Bandara Sarajevo. Gara- gara itu pula Badan Komisi Pengungsi PBB (UNHCR) membatalkan penerbangan sejumlah pesawat pengangkut bantuan pangan ke Sarajevo. ''Kami menunda penerbangan selama tiga hari,'' ujar John McMillan, juru bicara UNHCR. Tak cuma itu tampaknya yang dilakukan Serbia menjawab larangan Dewan Keamanan PBB. Mereka juga makin meningkatkan serangan militer di sejumlah wilayah yang berpenduduk muslim di antaranya serangan terhadap Kota Srebrenica, yang terletak di sebelah timur laut wilayah Bosnia. Sebanyak 60.000 penduduk muslim gagal diungsikan UNHCR ke daerah aman. Soalnya, mereka tak hanya diblokir oleh serangan militer Serbia, tetapi juga dihambat para milisi Bosnia, yang tak menginginkan kota itu dikosongkan. Srebrenica, salah satu kota yang diberikan ke Bosnia berdasarkan pembagian 10 daerah semiotonomi. Ironisnya, krisis perang saudara yang tak pernah terselesaikan sejak dua tahun itu makin diperburuk oleh kelalaian UNHCR sendiri. Sebanyak 48 peti berisi amunisi, ditemukan dalam iring-iringan truk PBB yang mengangkut obat-obatan dan bahan pangan, dapat menuju Sarajevo Jumat pekan lalu. Sejumlah persenjataan lain juga ditemukan di Bandara Sarajevo, yang berada di bawah pengawasan pasukan PBB (UNPROFOR). Senjata- senjata itu, sebanyak 30.000 dan terdiri dari senapan mesin dan senjata laras panjang, diduga untuk memperkuat para pejuang muslim. ''Kepercayaan kami telah dikhianati, dan para pejabat organisasi internasional kehilangan otoritas,'' bunyi sebuah kecaman pejabat tinggi Serbia terhadap PBB. Pihak UNHCR telah menyatakan bertanggung jawab dan berjanji akan mengusutnya. Melihat situasi terakhir ini tampak penyebab berlanjutnya krisis Bosnia bukan hanya dari pihak-pihak bersengketa saja, tetapi juga karena campur tangan pihak ketiga. Bahkan ada yang menganggap blokade udara Dewan Keamanan itu pun tak punya arti sama sekali. Sebab operasi udara NATO itu semakin mendorong milisi bersenjata Serbia meningkatkan serangan atau melakukan tindakan pembalasan. Sasaran mereka, siapa lagi kalau bukan 23.000 personel PBB yang tengah menjalankan misi kemanusiaan di Bosnia. Maka John J. Mearsheimer, guru besar ilmu politik pada Universitas Chicago, dalam tulisannya di Harian International Herald Tribune mengusulkan agar Amerika Serikat berani bertindak di luar jalur. Yaitu, mengirim sejumlah peralatan perang ke kelompok muslim Bosnia, Kroasia, atau mungkin Albania, tanpa mempedulikan resolusi Dewan Keamanan. Dengan begitu, Amerika maupun NATO tak perlu banyak kehilangan personelnya, dan biayanya pun sedikit. Lagi pula strategi ini akan membuat Serbia mati kutu karena harus melawan tiga musuh sekaligus: Kroasia, muslim Bosnia, dan Albania. Didi P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini