PERANCIS memang bukan surga. Tapi warga Perancis, kata 70% responden dari sebuah pol pendapat, ''Menikmati jaminan sosial terbaik di dunia.'' Dan itulah berkat Presiden Francois Mitterrand dan para pemimpin sosialis lainnya. Toh dalam pemilu akhir bulan lalu Partai Sosialis kalah. Partai Uni Perancis, yang kanan, tengah menang. Ternyata adanya jaminan sosial yang memadai tak secara langsung membawa kesejahteraan. Masalahnya, memang, tak semua orang lalu memperoleh kesejahteraan itu. Benar ada ketentuan, misalnya, tiap keluarga yang mempunyai seorang anak balita memperoleh subsidi sekitar US$ 60 per bulan, dua anak balita US$ 120. Jumlah itu berlipat bila ada tiga anak balita dalam satu keluarga menjadi US$ 238 per bulan. Lalu murid SD dibiayai berlibur dan bermain ski di Pegunungan Alpen selama dua minggu termasuk gurunya tiap tahun. Rekreasi bagi para pegawai pun dijamin. Tempat-tempat peristirahatan disubsidi pemerintah, juga tempat-tempat kebugaran jasmani. Di samping itu pemerintah Perancis juga menetapkan gaji minimal seorang karyawan, yakni sekitar US$ 20 ribu (sekitar Rp 40 juta) per tahun. Dan jika terjadi PHK, ditetapkan si karyawan menerima pesangon 60% dari gaji terakhir dalam lima tahun. Lalu apa yang terjadi? Tak membutuhkan seorang ekonom yang piawai untuk segera melihat bahwa beban para majikan menjadi sangat berat. Semua tunjangan yang serba membuat hidup cukup ini harus dipenuhi. Kalau tidak, seorang majikan tak akan mendapatkan pekerjaan. Maka pemerintah Perancis belakangan mencatat bahwa investasi menurun drastis, lebih banyak usaha yang tutup daripada usaha baru yang dibuka. Dan seterusnya siapa pun bisa mengatakannya: meningkatnya pengangguran. Soalnya, para pengusaha lalu mencari jalan keluar dengan mempekerjakan imigran daripada menerima orang Perancis sendiri. ''Dari gaji seorang pekerja Perancis, saya bisa mempekerjakan 9 orang Maroko, atau 25 orang Thailand, atau 35 orang Cina, 65 orang Rusia, atau 70 orang Vietnam,'' kata Marcel Albert, pemilik sebuah perusahaan garmen. Ironis jadinya, niat pemerintah menyejahterakan warganya justru berdampak tak enak. Tercatat angka pengangguran sampai 10,6% atau 3 juta orang, termasuk sekitar 600 ribu lulusan perguruan tinggi. Maka tugas pertama kabinet baru Perancis, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Edouard Balladur, bekas menteri keuangan, adalah membuka lapangan kerja untuk menampung para penganggur. Dan itu jelas tak mudah karena persyaratan yang sudah disebutkan tadi. Balladur tak bakal berani mengutik-utik soal kesejahteraan sosial dan upah minimum. Itu berbahaya bagi kelangsungan kabinetnya. Mungkin yang bisa dilakukannya adalah penghematan anggaran kabinet. Dalam pertemuannya yang pertama dengan para menterinya pekan lalu, misalnya, ia meminta agar mereka tak lagi menggunakan pesawat bila bertugas, kecuali terpaksa. Menu makan siang yang dihidangkan waktu itu pun sederhana: sepotong ikan salmon dan buah arbei. Tapi jelas, ini sekadar menyimbolkan niat serius Balladur untuk mengefisienkan anggaran pengeluaran penghematan seperti itu tak berarti apa-apa bagi defisit anggaran pemerintah. Sejauh ini para pengamat masih menduga-duga apa yang akan dihemat oleh Balladur, untuk menyusun anggaran baru, Mei nanti. Soalnya memang sulit. Anggaran militer, misalnya, selama ini sudah digunduli juga. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini