WARGA tujuh kampung di sepanjang Sungai Pematang Danau kembali waswas. Genangan dan pembuangan limbah karet PT Perkebunan (PTP) XVIII Danau Salak terlihat meluap berarti sungai masih tercemar, yang pada gilirannya tentu mencemari sawah. Sementara itu, kondisi batang padi dan daun jeruk patut diwaspadai. Penduduk merasa, sewaktu-waktu batang padi bisa membusuk, sedangkan daun jeruk tampak kurang rimbun. Gejala ini dulu juga pernah terjadi. Memang, tanda-tanda pencemaran itu tidaklah separah sebelumnya. Sejak pertengahan 1989 hingga dua bulan lalu, air sungai berwarna cokelat kehitaman dan berbau busuk. ''Bila mengenai kulit, akan terasa gatal,'' kata Mardjuki, ketua Rukun Tetangga (RT) I Desa Pematang Danau. Bagi penduduk Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar (Kal-Sel) ini, sungai penting untuk irigasi. Karena sungai tercemar, 2.000 hektare sawah dan kebun jeruk pun rusak. Selama itu pula hasil panen turun hingga 60%. Warga yang dulu kelebihan beras malah terpaksa membeli. Selain itu, ribuan pohon jeruk mati sehingga produksinya merosot sampai tinggal 25%. Itu pun jeruknya sekecil bola pingpong biasanya sebesar bola tenis. Setelah padi dan jeruk rusak, ada pula sekitar 500 ekor bebek yang akhirnya mati, sesudah berenang di Sungai Pematang Danau. ''Bila dihitung sejak 1989, desa ini menderita rugi tak kurang dari Rp 80 juta,'' kata Fauzan, ketua RT II di sana. Dan ini belum termasuk kerugian enam kampung lainnya (Pesiraman, Pematang Hambawang, Tambak Danau, Kaliukan, Lukgabang, dan Limamar). Setelah ditelusuri, sumber bencana ternyata berasal dari hulu sungai tempat pabrik karet PTP XVIII beroperasi. Di pengujung tahun 1989, para wakil 2.000 kepala keluarga (8.000 jiwa) di tujuh desa mendatangi pengelola pabrik. Mereka tak digubris. ''Setelah didatangi sepuluh kali, barulah pihak PTP, polisi, tentara, dan staf kecamatan melongok kami,'' tutur Fauzan. Pada Juni 1991 Bupati Banjar mempertemukan PTP dan warga desa. Diputuskan, PTP harus menutup saluran limbah yang mengalir ke sungai. Namun, dalam musim panen 1992, batang-batang padi kembali roboh dan membusuk sebelum berbuah. Ternyata PTP belum menutup saluran limbahnya. Penduduk segera mengadu ke Bupati. Lalu pada 24 Desember 1992 diadakan lagi pertemuan antara warga, PTP, dan Pemda. Sekali lagi disepakati bahwa jalan satu-satunya untuk meniadakan pencemaran adalah dengan menutup saluran limbah. PTP juga berjanji bahwa limbah akan dialihkan ke Sungai Riam Kiwa, kira-kira 2,5 kilometer dari saluran pembuangan semula. Namun lagi-lagi itu janji palsu. Air Sungai Pematang Danau tetap kotor, dan penduduk merasa bahwa PTP main kucing- kucingan. Menjelang Idul Fitri lalu, wakil-wakil warga memergoki mesin pompa pada dam pembuangan dimatikan. Petugas PTP mengakui, mesin pompa yang berfungsi mendorong limbah ke tempat lain itu memang sering dimatikan. Akibatnya, limbah meluap ke Sungai Pematang Danau. Mengapa dimatikan? Menurut sebuah sumber di Pemda Kabupaten Banjar, itu ada kaitannya dengan sikap Bupati Banjar, Faisal Hasanuddin. Sampai pekan lalu, pejabat itu belum mengeluarkan izin terhadap pembuangan limbah ke Sungai Riam Kiwa. Izin itu ternyata baru akan diberikan setelah ada rekomendasi dari tim peneliti yang sekarang diterjunkan ke lapangan. ''Kalau limbah itu tidak menimbulkan pencemaran, tentu izin akan diberikan,'' kata kepala humas Kabupaten Banjar. Masalahnya kini, selain kawasan sepanjang Sungai Pematang Danau, wilayah di kiri-kanan Riam Kiwa pun bisa tercemar oleh 900 m limbah karet yang dibuang setiap hari. Tapi kemungkinan itu disangkal keras oleh Ir. Supiyatna, dosen Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, yang bertindak sebagai konsultan PTP Danau Salak. ''Sekalipun 900 m limbah itu tak diolah, tak ada artinya bagi Sungai Riam Kiwa yang berdebit 21.000 m,'' tandas Supiyatna. Apalagi limbah sudah diolah sebelum dibuang. Maksudnya? PTP XVIII memiliki pengolah limbah dengan sistem biologi. Bahan-bahan mineral yang bersifat racun diendapkan dalam lima lagoon (dam penampung) yang ditanami enceng gondok. Tumbuhan air itu berfungsi mengendapkan zat-zat beracun. Dengan demikian, pada lagoon terakhir, air limbah tak lagi berbahaya. Padatan tersuspensinya tinggal 110 miligram/liter. Sedangkan standar baku mutu air limbah yang ditentukan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup terhadap limbah industri karet adalah 150 mg/liter. Biological oxygen demand (BOD) hanya 67 mg/liter, dan standar baku mutunya 150 mg/liter. Hanya saja, pengolah yang mengandalkan enceng gondok itu terkesan tidak cukup canggih. Barangkali PTP Danau Salak perlu mencontoh PTP III Sumatera Utara. Pabrik pengolah karet di sana memiliki instalasi pengolah limbah seharga Rp 5 miliar yang bekerja secara biologis dan kimia. Untuk menurunkan BOD, misalnya, bakteri tertentu dikerahkan. Bahan kimia khusus dipakai untuk menjaring zat-zat berbahaya dan memisahkan air dari karet. Ada tiga kolam masing-masing seluas 2 hektare yang diisi bakteri dan zat kimia. Di tiap kolam, kadar zat berbahaya diurai. Setelah melewati kolam ketiga, BOD tinggal 50 mg/liter dan siap dibuang ke sungai. Priyono B. Sumbogo, Almin Hatta, dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini