Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mengatasi Batin Leluhur

Cai Zhisong, perupa Cina, menampilkan patung-patung yang diilhami prajurit terakota. Menolak patung sebagai monumen politis.

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki Cina itu berdiri setengah membungkuk. Kedua tangannya jatuh di kedua sisi badannya. Kedua kakinya berjinjit, seakan sedang melangkah pelan. Tangannya nyaris tak terlihat, tertutup lengan jubahnya yang panjang dan bersabuk tali. Dia memang mengenakan hanfu, pakaian tradisional Cina dari masa Dinasti Han (206 SM-220 M), yang jadi cikal-bakal kimono. Baju itu berkerut-kerut, melambangkan dirinya dari kalangan bawah.

Gestur patung timah seukuran orang dewasa karya perupa muda Cina, Cai Zhisong, itu menggambarkan kepasrahan. Hal itu diperkuat pada posisi kepala dan raut wajahnya. Kepalanya tunduk, matanya tertutup, dan bibirnya setengah terbuka.

Ketidakberdayaan adalah hasil refleksi Cai ketika dia menginjak usia 33 tahun pada 2005, lima tahun setelah dia menyelesaikan Custom to Motherland No. 1 ini. Kepasrahan pula yang muncul dalam Custom to Motherland No. 2. Patung dari timah dan tembaga itu menggambarkan pria Cina berkostum hanfu sedang menyembah: tubuhnya menelungkup dengan lutut, jidat, dan tangan rata dengan tanah. Tapi jubah patung kedua ini rapi dan licin, menandakan dia dari kalangan atas.

Bagi Cai, kepasrahan adalah sikap nrimo terhadap hidup, dan sikap ambisius hanyalah ketidaktahuan anak muda. ”Kekuatan dari tindakan membabi-buta itu sangat terbatas dan terlalu lemah untuk melawan kekuatan luar masyarakat,” ujarnya.

”Di mata saya, sejarah manusia adalah serangkaian lukisan dari perjuangan hidup individu yang tak terhitung banyaknya, kesedihan bertukar tangkap dengan sukacita. Saya tak pernah mendengar pohon atau manusia abadi, tapi di dalam hidupnya yang pendek, keduanya harus menanggung berbagai tingkat rasa sakit untuk waktu yang relatif lama,” katanya.

Dua patung ini dipamerkan pekan lalu bersama 15 patung lain dan beberapa lukisannya di Museum Nasional, Jakarta, dan dilanjutkan di Linda Gallery, Pacific Place, Jakarta, hingga Agustus nanti. ”Cai adalah satu dari lima besar pematung Cina,” kata Karyadi, General Manager Linda Gallery.

Nama alumnus dan dosen Departemen Patung Akademi Seni Rupa Pusat di Beijing itu mencuat sejak dia pada 2002 memenangi Taylor Prize, hadiah tertinggi dalam Pameran Salon Musim Gugur Paris, organisasi penting yang telah mempromosikan karya seni rupa modern Prancis abad ke-20. Ini pertama kalinya seniman Cina meraih kehormatan terbesar itu dalam sejarah seratus tahun usia pameran tersebut. Pameran itu didirikan oleh tiga seniman terkemuka Prancis—pematung Rodin, pelukis Renoir, dan arsitek Franz Rurdin—pada 1903. Banyak seniman terkenal dunia yang telah memamerkan karyanya di sana, seperti Gauguin, Cezanne, Renoir, Matisse, dan Picasso.

Namun, ketika dunia menganggap Cai telah melakukan terobosan dalam seni rupa kontemporer Cina, di kampung halamannya dia menghadapi reaksi berbeda. Gambaran kepasrahan itu sempat memicu kontroversi di Negeri Tirai Bambu. Beberapa kritikus mempertanyakan, misalnya, mengapa Cai membuat patung orang yang membungkuk atau tidak mengekspresikan pokok soal yang positif dan optimistis. Cai memahami reaksi tersebut. ”Sejarah telah menjadi beban bagi bangsa ini dan perkembangannya di masa kini. Itu tak dapat dilupakan,” katanya.

Bagi masyarakat Cina, patung Cai memang membangkitkan kenangan pada sejarah. Banyak lukisan dan perkakas tembikar kuno yang menggambarkan masyarakat dari masa Dinasti Han. Misalnya pada patung Custom to Motherland No. 3 dan No. 4. Yang pertama berupa lelaki berjubah hanfu berdiri dengan kedua ujung lengan panjangnya menyatu, menutupi kedua tangannya. Yang kedua berupa perempuan dengan kedua lengan bajunya yang besar menggelantung di kedua sisi tubuh. Keduanya dalam posisi diam dan mata tertutup—bentuk lain dari ketidakberdayaan.

Kedua patung timah ini mirip dengan patung-patung tembikar dan lukisan kuno dari masa Dinasti Han. Tapi seniman yang tertarik mempelajari budaya klasik negerinya sejak duduk di sekolah menengah atas itu tak sekadar menirunya, seperti banyak dilakukan seniman Cina. Dia hanya meminjam bentuk klasiknya dan menjadikannya karya modern dan memasukkan ekspresi pribadinya. Dengan cara itu, tujuannya untuk memelihara sejarah dan budaya leluhurnya tetap tercapai, tapi unsur kontemporer dia perkenalkan.

Pilihan bahan timah juga membuat patung seri Custom to Motherland ini berbeda dengan patung pada umumnya. Sifat timah yang lunak dan warna kelabu gelapnya membedakannya dengan patung tembikar biasa. Dia juga tak mencetaknya, tapi membangunnya dari rakitan lempeng-lempeng timah.

Cai juga menggunakan timah saat membuat seri Rose, yang berbentuk mawar berbagai ukuran yang dibangun dari keping-keping timah yang dilengkungkan menjadi kelopak-kelopak bunga pada kanvas berbingkai. Mawar menjadi simbol dari gagasan Cai tentang cinta. ”Cinta itu seperti bunga timah, yang akan dipajang di rak dan rusak dan menjadi sampah yang berat,” katanya.

Cai sebenarnya telah merintis pembuatan patung-patung ini sejak masa kuliahnya. Selama lima tahun di sana, dia meneliti dan membuat model berbagai patung, suatu metode belajar seni yang berbeda dengan mendengar ceramah dosen tentang sejarah seni dan memutar slide gambar di depan kelas. Dengan cara ini, Cai dapat mempelajari sejarah seni bangsa Mesir, Yunani, Cina, dan Maya di Amerika sebagai bahasa untuk mengekspresikan gagasannya. Jejak-jejak dari kebudayaan itulah yang diolahnya untuk membuat berbagai karya dalam pameran ini.

Mencuatnya karya Cai perlu dilihat dalam konteks sejarah patung negeri itu. Sejak Republik Rakyat Cina berdiri dan dipimpin Partai Komunis Cina, aliran seninya mengikuti realisme yang didukung rezim komunis di Uni Soviet. Karya yang hebat adalah yang monumental. Patung yang bagus adalah monumen, yang dibikin untuk kepentingan propaganda politik. Contoh karya semacam ini dapat kita temukan pada karya sejumlah pematung Soviet yang dihadiahkan kepada Indonesia di masa Orde Lama, seperti Patung Tani di dekat Kwitang, Jakarta.

Patung-patung porselen kuno atau monumen Cina tak memberi ruang bagi ekspresi pribadi. Karya itu menyamaratakan orang sebagai manusia kebanyakan, yang sama dan seragam. Prajurit digambarkan sebagai para lelaki gagah dengan senjata dan kuda, seperti digambarkan 8.000 patung prajurit terakota di makam Shi Huangdi dari Dinasti Qin, kaisar pertama Cina yang wafat sekitar 210 sebelum Masehi, di dekat Kota Sian, Provinsi Shensi.

Di tangan Cai, sosok prajurit itu jadi mirip patung-patung Yunani kuno: telanjang dan atletis. Itu yang digambarkannya dalam seri Ode to Motherland, yang menampilkan profil prajurit zaman dulu dalam berbagai pose, dari yang pasrah seperti patung di seri sebelumnya, membentangkan tangan, berlutut, sampai melengkungkan tubuh. Semua gaya itu, tentu saja, tak lazim dalam menggambarkan prajurit Cina.

Cai rupanya sedang mengatasi patung sebagai monumen politis dan menggesernya ke wilayah pribadi. Kepada Wu Hong, kurator Cina dan Pemimpin Redaksi Art Union, Cai menyampaikan sikapnya. ”Seorang pejabat kebudayaan Prancis dulu menanyakan kepada saya apakah saya percaya bahwa saya seniman Cina atau seniman internasional. Saya jawab, ’Saya adalah seniman umat manusia’,” katanya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus