Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebongkah kemewahan di tengah ...

Suasana di kota kota phnom penh, kamboja.tidak ada larangan memiliki senjata. jam malam mudah dilanggar. rezim hun sen mencanangkan operasi pasar. di luar phnom penh kemiskinan masih terasa.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebongkah Kemewahan di Tengah Jam Malam Di Phnom Penh, jejak zaman Ladang Pembantaian tak lagi tersisa. Berikut laporan koresponden TEMPO Yuli Ismartono, yang berkunjung ke sana Juli lalu. DI Phnom Penh sekarang musim hujan. Suatu sore, ketika turun gerimis, terdengar bunyi rentetan tembakan. Penjaga Hotel Monorom, tempat saya tinggal, langsung keluar pintu depan, sambil menarik pistolnya. Ia lalu menembak langit: dorr, dorr, dorr. Melihat saya kaget, ia ketawa. "Jangan takut. Ini kebiasaan orang Kamboja menolak hujan," katanya. Itulah ironi. Sementara jadi pembicaraan di warung-warung dan hotel-hotel bahwa tentara Kamboja sering kekurangan senjata dan amunisi, orang gampang saja memiliki ala-t pembunuh itu dan memboroskan peluru. "Phnom Penh kota koboi," kata seorang pemilik toko. Larangan memiliki senjata api di ne-geri yang sedang berperang saudara itu memang tak ada. Dan senjata mudah dibeli. Di Hotel Cambodiana, di meja penerangan dipasang tulisan (dalam bahasa In-ggri-s dan Kamboja): "Titipkanlah senjata -Anda di sini sebelum ma-suk ke dalam." Ironi itu melekat pula pada peraturan. Jam malam untuk menjamin keamanan sering dilanggar. "Mudah, kok, melewati blokade-blokade keamanan," tutur seorang Kamboja yang mengajak makan malam hingga melebihi batas waktu pukul 9. "Kasih saja sebungkus rokok, kita bisa lewat," kata dia. "Sebungkus rokok", itulah ironi yang lain. Setelah ekonomi pasar digelindingkan pemerintah, ramainya perdagangan disertai tumbuh suburnya pungutan liar. Kendaraan umum dan truk yang melaju di luar kota tiba-tiba dihentikan petugas keamanan. Padahal, sopir tak melakukan pelanggaran apa pun. Ia hanya diminta "mentraktir" dengan rokok atau bayar kontan. Sebuah pemandangan yang mengesankan saya temukan dalam perjalanan di Provinsi Kompong Chanang. Sebuah pikap mengangkut sejumlah ayam hidup melaju di depan mobil yang saya tumpangi. Dari pintu belak-ang, terlihat bergantungan kaki-kaki ayam diikat. Tiap beberapa kilometer, di pos pemeriksaan yang menyetop semua kendaraan pikap itu pun disetop. Dan tiap kali selesai diperiksa, begitu truk itu mulai jalan lagi, ditariklah seekor ayam oleh seorang petugas. Kejadian ini terulang di tiap pos keamanan, dan tak jelas apakah sopir memang tak tahu tiap kali ayamnya hilang seekor, atau pura-pura tak tahu. Bayangkan saja bila pikap itu harus menempuh jarak yang panjang -- soalnya pos keamanan memang terdapat di sepanjang jalan mana pun. Di tengah ironi itulah ekonomi pasar digelindingkan oleh rezim Hun Sen-Heng Samrin. Dan Phnom Penh, ya hanya ibu kota ini saja, memang lalu berias meriah. Lihat, di jalan-jalan Phnom Penh, becak, gerobak, dan mobil impor berbagai merek dan jenis seperti tiba-tiba muncul dari bawah aspal, dan bikin macet. Mobil-mobil itu kebanyakan mobil bekas asal Singapura, yang dijual murah. Sementara itu, di toko-toko dan pusat perdagangan, barang-barang buatan luar negeri menantang siapa yang beruang. Dari barang elektronik Jepang sampai rokok 555 dan wiski Johnny Walker -- minuman alkohol favorit pria Kamboja. Restoran-restoran selalu penuh, menghidangkan macam-macam makanan. Bila seoran- langganan pesan bir, pasti si pelayan lalu menunjukkan hafalannya: "Heinecken dari Denmark, Beck dari Jerman, Foster dari Australia, atau Singha dari Muangthai, Tuan?" Tempat-tempat hiburan, seperti diskotek dan bar, buka sampai lewat tengah malam, dan penuh. Tak peduli ada jam malam, gadis-gadis selalu siap melayani tamu. Tapi Phnom Penh hanyalah sebuah kota berpenduduk sekitar 300.000. Ia tak mewakili Kamboja yang dihuni tujuh juta jiwa. Percobaan menciptakan masyarakat satu kelas, sama rata sama rasa 10 tahun lalu, eksperimen yang menyebabkan Kamboja disebut sebagai Ladang Pembantaian, hanya beberapa kilometer dari Phnom Penh, masih tercium jejaknya. Di luar Phnom Penh kemiskinan yang kental dan kerusuhan perang mengancam nasib. Itulah warisan eksperimen Pol Pot, pemimpin Khmer Merah. Warisan yang membuat PBB dan Bank Dunia memasukkan Kamboja sebagai salah satu negara termiskin. Dalam suasana seperti itu bermacam bisnis dikejar. Ada seorang Taiwan yang datang untuk beli besi tua, sisa-sisa perang Vietnam. Seorang Swedia sedang berunding dengan pemerintah untuk memasang jaringan telepon dan telekomunikasi. Ada juga sepasang orang Arab dari Yordania. "Kami wakil biro perjalanan yang ingin membantu orang-orang suku Cham, suku yang beragama Islam, untuk naik haji," kata Mohammed Hasan. Usaha yang masih berkaitan dengan perang datang dari seorang Inggris, pensiunan tentara bernama Colin Mitchell. Veteran Perang Dunia II dan veteran penasihat tentara Malaysia di masa konfrontasi dengan Indonesia pada 1963 itu mengaku ahli ranjau yang berhasil menyapu bersih medan-medan perang Afghanistan belum lama ini. "Kementerian Pertahanan Kamboja akan memakai jasa saya untuk membersihkan ladang-ladang penuh ranjau yang dipasang oleh gerilyawan Khmer Merah," katanya. Mitchell sudah menemukan enam jenis ranjau di Kamboja. Ia menolak menyebutkan harga jasanya. Hanya kerja si penyapu ranjau itulah yang langsung mengingatkan bahwa Kamboja masih jauh dari damai, malah boleh dikata sebaliknya. Sejak ditarik pulangnya pasukan Vietnam, situasi militer di medan perang memburuk. Kelompok-kelompok gerilya lebih berani menyerang desa dan kota-kota di pedalaman. Akibatnya, penduduk setempat lari cari suaka. Kini, di dekat beberapa ibu kota provinsi, muncul kamp-kamp penampungan. Menurut pejabat PBB yang memberi bantuan pangan dan pakaian, jumlah pengungsi sudah mencapai 100.000. Ada juga di antara para pengungsi yang telantar di Phnom Penh dan mereka akhirnya menganggur atau menjadi pengemis. Mereka menambah berat beban yang dipikul oleh ibu kota ini. Sebab, di samping Phnom Penh yang gemerlapan, ekonomi sosialnya sebenarnya makin memburuk. Lowongan kerja terbatas. Pengangguran, terutama di antara kaum pemuda, tinggi. Pendidikan pun merana -- buku, peralatan, dan tenaga pengajar jauh dari memadai. Bagi pemuda, keadaan ini sangat mencemaskan. Ditambah lagi ancaman kena wajib militer, akhirnya banyak yang memilih lari ke luar negeri, naik kapal pengungsi. Lahirlah "orang perahu" dari Kamboja, yang beberapa lama lalu terdampar di Indonesia. "Anak saya tidak melihat masa depan di negeri ini, jadi bersama temannya ia mengambil risiko, asal bisa keluar," kata Rani, seorang pelayan di Hotel Monorom. Maka, sulit dimengerti, sebongkah kemewahan dan kekayaan yang ada di Phnom Penh. Kata Francois Grunewald, seorang Prancis yang bekerja pada suatu organisasi swasta yang memberi bantuan teknologi pertanian, "Itulah tragedi Kamboja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus