Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Tuntutan dari Luisita

Benigno Aquino III dipastikan menjadi Presiden Filipina. Persoalan korupsi dan kekerasan bersenjata akan terus membayangi pemerintahannya.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesekali tangan lelaki itu menyeka keringat sebesar biji jagung di dahinya. Dengan tumpukan kayu di bahunya, petani tebu itu mengaso sebentar di bawah sebuah pohon di perkebunan gula milik keluarga Senator Benigno Aquino III.

Sekitar sepuluh ribu petani bekerja di lahan perkebunan seluas 6.453 hektare di Hacienda Luisita, Provinsi Tarlac, Filipina, itu. Mereka tak berkutik menghadapi masalah kepemilikan tanah milik keluarga Cojuangco—keluarga Benigno dari garis ibu.

Tak seperti di Manila dan kota-kota besar Filipina yang menyambut gegap-gempita kemenangan Noynoy—panggilan akrab Benigno—mereka deg-degan menunggu apa yang akan diperbuat Noynoy terhadap mereka. Kegelisahan hingga kini terus menyelinap di perkebunan berjarak 75 kilometer dari Manila itu.

Mereka berharap tanah itu dibagi-bagikan. Dan masing-masing petani dapat memiliki tiga hektare sesuai dengan program reformasi agraria yang digagas ibu Noynoy, Corazon Aquino, pada 1989. Tapi kesepakatan tersebut dibatalkan pada 2003.

”Kami selalu menghadapi pelecehan dan ancaman pembunuhan dari milisi, tentara, dan petugas keamanan,” ujar Lito Bais, pemimpin Serikat Pekerja Luisita Bersatu. Dia melanjutkan keluhan, bila di masa Presiden Gloria Macapagal-Arroyo saja keluarga Aquino dan Cojuangco bisa berkuasa sedemikian hebatnya, ”Bagaimana pula bila dia yang jadi presidennya?”

l l l

Berita dari Kantor Komisi Pemilihan Umum Filipina itu membuat kubu Aquino bersorak kegirangan. Sudah 40 persen suara masuk kantong senator dari Partai Liberal itu. Beberapa hari lagi, Noynoy akan resmi memimpin negeri berpenduduk 92 juta jiwa itu.

Rusaknya mesin penghitung suara di beberapa daerah, termasuk daerah pemilihannya, Tarlac, tak bisa membendung laju keunggulannya. Komisi Pemilu sudah menghitung 89 persen suara yang masuk database komputer dari mesin otomatis pemungutan dan penghitungan suara.

Suara Noynoy jauh mengungguli tiga kandidat presiden lain. Bekas presiden Joseph ”Erap” Estrada hanya mampu mengumpulkan 20 persen suara. Suara kandidat lain lebih mini lagi. Manny Villar, pebisnis yang menjadi senator dari Partai Nasionalis, dan sepupu Noynoy, bekas Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro, jauh tertinggal dalam pengumpulan suara. Namun Aquino sudah menjamin Gilberto akan memegang satu posisi menteri.

Janji Noynoy dalam kampanye untuk memberantas korupsi membuat dirinya menjadi harapan rakyat Filipina. Pada 1986, ibunya, Corazon Aquino, juga pernah menjadi ikon kebangkitan rakyat Filipina—melalui people’s power—untuk merebut demokrasi. Saat itu, Corry menumbangkan Ferdinand Marcos yang otoriter dan penuh dugaan korupsi. Sebelumnya, suaminya, Benigno Aquino, Sr.—akrab disapa Ninoy—tewas ditembak orang tak dikenal saat kembali dari pengasingan di Amerika Serikat pada 1983.

Sekarang Noynoy menghadapi persoalan yang hampir sama: dugaan korupsi, yang antara lain melibatkan rezim Gloria Macapagal-Arroyo. ”Saya bukan hanya berusaha untuk tak mencuri, tapi saya juga akan memenjarakan para koruptor,” ujarnya dalam pernyataan pers pertamanya setelah pemungutan suara Senin pekan lalu.

Filipina memiliki utang luar negeri yang bertambah jumbo setiap tahun sejak pemerintahan Marcos. Triliunan peso atau miliaran dolar utang luar negeri ini ditengarai menjadi bancakan para koruptor. Tapi, hingga kini, selain Joseph Estrada, belum ada kasus kakap yang disidik di negeri itu.

Calon menteri kesejahteraan sosial dan pembangunan, Corazon Soliman, sedang menghitung berapa banyak penyelewengan yang tergolong korupsi. Corazon adalah menteri pada kabinet Arroyo yang mundur pada Juli 2005 karena dugaan korupsi yang dilakukan Arroyo. Saat itu dia juga menyeru Arroyo supaya mundur dari jabatannya. Sejak itu Corazon, berbalik menjadi pendukung Aquino.

Untuk menjamin tak ada korupsi di pemerintahannya, Aquino membentuk komite untuk menyeleksi calon menterinya. ”Sudah ada calon-calonnya, sebelum dia disumpah menjadi presiden,” kata Corazon, yang menjadi salah satu anggota komitenya.

Pemerintah Noynoy juga akan segera mengkaji ulang proyek-proyek yang anggarannya menggelembung pada enam bulan terakhir masa kepemimpinan Arroyo. ”Kami tak mau kebobolan karena warisan masa lalu,” ujar Corazon. Untuk menghemat uang negara, Aquino juga berjanji akan merampingkan kabinetnya. Pada masa Arroyo, kabinetnya berisi 40 menteri. ”Saya juga tak akan sering-sering ke luar negeri,” ujarnya. Semrawutnya bea-cukai dan penyelundupan juga mendapat perhatiannya. ”Saya akan mereformasi lembaga-lembaga yang diduga menjadi sarang penyelundupan.”

Tak cuma penyelewengan duit negara yang membebani Aquino. Negeri itu terkenal pula dengan kekerasan bersenjatanya. Ribuan milisi sipil bersenjata bertebaran di Mindanao dan bagian Filipina lain. Noynoy harus memeras otak untuk membereskan masalah ini.

Menjelang pemilu Senin pekan lalu saja, tercatat lima orang tewas ditembak di pinggiran Manila. Mereka adalah pendukung calon wali kota yang bersaing di San Jose. Kelimanya ditembak oleh polisi. Di pinggiran Manila yang lain, terjadi pembunuhan di dekat kotak suara. Sepuluh orang tewas di dua tempat: Bazilan dan Talaba. Dua di antara yang tewas adalah tentara dan polisi yang menjaga kotak suara di tempat itu.

Di Maguindanao, dua orang tewas dalam baku tembak di antara milisi pendukung dua kandidat saat pemilihan wali kota. November lalu, di provinsi ini 57 orang tewas diberondong peluru oleh milisi salah satu keluarga calon wali kota, Ampatuan. Pembunuhan itu ditengarai sebagai teror terhadap calon wali kota lain agar tak berani maju sebagai kandidat.

Selain menghadapi kekerasan akibat persaingan politik di berbagai daerah, Aquino mesti menghadapi ancaman kelompok muslim dan kaum Marxis. Teresita Deles, menteri yang juga mundur dari pemerintahan Arroyo, menyatakan Aquino segera merundingkan kesepakatan damai dengan pemberontak Tentara Rakyat Baru (NPA) yang bergerilya di daerah-daerah yang beraliran kiri. Pemberontakan ini sudah berlangsung sejak 1960.

Aquino juga langsung mengagendakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Front Pembebasan Islam Moro yang sudah mendapatkan daerah otonom di Filipina Selatan. ”Perundingan dengan kedua kelompok itu terus-terusan ditunda selama pemerintahan Arroyo,” kata Theresia, yang bakal menjadi menteri di kabinet Aquino.

Sebelum membereskan aneka persoalan warisan pemerintahan masa lalu, bujangan kelahiran 50 tahun lalu itu mesti membereskan soal tanah di perkebunan tebu dan pabrik gula milik keluarganya di Luisita. Saat berkampanye di sini, dia menyerukan tekad memberantas korupsi.

Di sini pula, sebelum maju sebagai kandidat presiden, dia berjanji membagikan seluruh tanah di Luisita kepada para petani melalui Departemen Reformasi Agraria. ”Saya prihatin dengan kesejahteraan mereka,” ujarnya. Urusan ini tak gampang. Dia mesti berunding dengan sepupu dan kerabatnya yang menjadi pemilik bersama lahan itu. Selanjutnya, ia harus memikirkan cara memberikan aset itu, tanpa mewariskan utang perusahaan kepada petani.

Tak mengherankan banyak petani masih meragukan janji kampanye Aquino. Paulo Cruz, pemimpin petani muda di sana, masih ingat bagaimana tentara menembaki mereka yang unjuk rasa pada November 2004. Peristiwa itu menewaskan tujuh orang. ”Salah satu yang mati adalah pemimpin muda kami. Mayatnya digantung di depan gerbang perkebunan,” katanya.

Noynoy, yang saat itu menjadi senator dari wilayah tersebut, tak berbuat apa pun. Banyak kasus pelecehan terhadap perempuan di sana pun tak pernah mendapat tanggapan dari sang senator. ”Jadi bagaimana bisa kami percaya dia sekarang?”

Pedring Lasa, seorang petani berusia 70 tahun, malah bersaksi bahwa Aquino yang menghentikan implementasi pembagian tanah buat para petani pada 2006. Padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan bahwa Departemen Reformasi Agraria akan membagikan tanah itu sesuai dengan undang-undang. ”Saya tak yakin nasib kami lebih baik di tangan dia,” ujar pria yang anaknya tewas ditembak dalam demonstrasi 2004 itu.

Lito, salah satu pemimpin petani, menyerukan agar para petani tak berhenti berusaha mendapatkan hak mereka, yaitu sebidang tanah yang dijanjikan undang-undang. ”Kami akan tetap berjuang, biarpun Aquino presidennya,” ujarnya. ”Sudah terlalu lama kami diam. Biarlah kami berjuang untuk anak-cucu kami, meski nyawa taruhannya.”

Yophiandi (Daily Inquirer, Philippine Star, GMA News)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus