Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Aula Gatot Subroto, Markas Besar Cilangkap, Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Widodo Adi Sutjipto membuat sejarah. Pada Rabu, 19 April 2000 itu, ia menyatakan tentara telah meninggalkan fungsi sosial politik yang "telah menyimpang dari jati diri TNI sebagai bayangkari negara".
Semua petinggi tentara ada di ruang itu, termasuk tiga kepala staf angkatan. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid juga hadir. Panglima pertama dari Angkatan Laut itu lalu melanjutkan, "Secara fungsional, TNI kini telah mengonsentrasikan diri pada pelaksanaan tugas-tugas pertahanan."
Widodo, terakhir Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Kabinet Indonesia Bersatu I, ketika itu menyatakan TNI tak lagi bertanggung jawab sepenuhnya di bidang keamanan, yang telah menjadi tanggung jawab kepolisian. Inilah babak penting yang mengakhiri sepak terjang militer dalam pelbagai sisi kehidupan negara melalui doktrin dwifungsi.
Bermula dari konsep "jalan tengah" buatan Abdul Haris Nasution pada 1958, dwifungsi menjadi pintu masuk tentara ke dunia politik. Inti konsep itu adalah pemberian kesempatan kepada militer-sebagai salah satu kekuatan politik-untuk berperan di pemerintahan atas dasar asas negara kekeluargaan. Konsep ini dicetuskan untuk mencegah kudeta militer, yang akan terulang jika sekali saja dilakukan. "Jalan tengah" Nasution dimatangkan lewat doktrin Tri Ubaya Cakti, yang merupakan hasil Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung.
Presiden Soeharto benar-benar memanfaatkan dwifungsi tentara itu buat menyokong kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih. Demi "stabilitas politik dan keamanan", ia menunjuk para perwira menjadi menteri, gubernur, hingga bupati. Di level desa, tentara juga menjadi lurah atau kepala desa. Dengan dwifungsi pula, tentara memperoleh tiket gratis ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Hasilnya, pembangunan berjalan stabil-meski kemudian ketahuan rapuh dan korup. Menurut Jenderal Endriartono Sutarto, Panglima TNI pengganti Widodo, Soeharto mementingkan urusan "perut" rakyat. Ia mengabaikan keterbukaan-sesuatu yang kemudian menjadi kebutuhan orang banyak.
Endriartono menceritakan sebuah anekdot buat menggambarkan suasana saat itu. Suatu ketika, Soeharto memancing dan gagal mendapatkan ikan. Padahal orang lain banyak memperoleh ikan. Ditanya soal itu, seorang nelayan menjawab, "Jangankan ikan, di depan Bapak, orang saja enggak berani buka mulut."
Pada 21 Mei 1998, kekuasaan Soeharto runtuh. Peran tentara digugat. Perlahan-lahan Cilangkap mulai mengubah diri, walau dengan tarik-menarik pelbagai kepentingan. Dalam buku Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Salim Said menilai pidato Widodo di Cilangkap itu sebagai resminya tentara meninggalkan dwifungsi.
MENURUT Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, selain meninggalkan dwifungsi, tentara sebenarnya punya pilihan: berkeras mempertahankan Soeharto. Namun sebagian petinggi tentara menganggap masa itu adalah waktu yang tepat buat membuka jalan demokrasi. "Kalau Pak Harto dipertahankan, betapa berdarah-darahnya Monas ketika itu," katanya.
Menjelang kejatuhan Soeharto, Jakarta dan beberapa kota lain rusuh dan porak-poranda. Di Ibu Kota, tank dan panser dijadikan barikade di sudut-sudut kota dan seputar Istana Kepresidenan. Jalan menuju Monas dan Istana ditutup rapat. Pecinan dijaga tentara bersenjata lengkap. Semua toko dan rumah di kawasan itu mengunci pintu. Sebagian empunya lari ke luar negeri.
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat riuh-rendah. Puluhan ribu mahasiswa menguasai gedung itu. Mereka menuntut Soeharto mundur. Massa juga berencana menggelar apel akbar sejuta orang di Silang Monas, persis di depan Istana Kepresidenan, pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1998.
Gerakan ini gagal. Tentara menyiapkan kawat berduri mengelilingi Monas. Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Kivlan Zein mengancam akan menembak Amien Rais, ketika itu Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, jika nekat menggelar apel. "Aparat menyiapkan tank dan peluru tajam untuk menghalau massa," kata Kivlan dalam buku Konflik dan Inwtegrasi TNI-AD.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto tak kuasa menahan gelombang protes. Ia menyampaikan pidato menyatakan mundur. Gugatan terhadap dwifungsi tak juga surut, bahkan terus menguat. Sejak itulah Cilangkap membuat sejumlah perubahan.
Menurut Jenderal Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima TNI, tekanan masyarakat bukan satu-satunya yang mempengaruhi perubahan tentara. "Jikapun ditekan, kalau kami menolak, perubahan tak akan terjadi," kata Fachrul, kini Ketua Partai Hati Nurani Rakyat. Ia mengatakan keinginan reformasi sudah jauh muncul sebelum 1998. Para perwira ketika itu berpikir TNI telah menjadi lembaga super.
Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Kepala Staf Sosial Politik, menyatakan hujatan dari publik atas peran tentara itu mematangkan dan mempercepat perubahan. "Kesadaran reformasi sudah ada sebelum Soeharto lengser," kata Yudhoyono, kini presiden, dalam buku SBY Sang Demokrat.
Memang, perubahan minor dilakukan tentara pada tahun-tahun terakhir Orde Baru. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Edi Sudradjat, misalnya, mencetuskan gagasan back to basic. Menurut dia, tentara harus profesional, mementingkan tugas pertahanan negara.
Pada era Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf, juga ada upaya menata tentara yang masuk wilayah sipil. Ia melarang tentara aktif berdagang. Mereka yang melanggar aturan itu dipecat atau diminta pensiun dini. M. Jusuf juga melarang perusahaan didirikan di bawah kesatuan tentara. Soeharto pada 1981 sudah memberikan peringatan kepada tentara. Tugas kekaryaan tentara tidak boleh salah arah menjadi penyaluran tenaga tentara ke sektor-sektor di luar tentara.
Toh, pernyataan-pernyataan itu berhenti menjadi slogan. Kalaupun dijalankan, tidak ajek karena diabaikan pengganti sang pembuat kebijakan. Pada 1997, Jenderal R. Hartono, yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak dua tahun sebelumnya, bahkan ikut-ikutan mengenakan jaket kuning ketika menghadiri kampanye Golkar.
Reformasi mulai digarap benar-benar ketika Cilangkap membentuk tim beranggotakan 32 jenderal dan enam kolonel. Sejumlah perwira yang dikenal reformis menjadi anggota, seperti Agus Widjojo, Yudhoyono, dan Agus Wirahadikusumah. Segera setelah Soeharto jatuh, tim merilis empat paradigma baru TNI. Pertama, tentara tidak harus di depan. Kedua, tentara yang semula bisa menduduki jabatan sipil menjadi hanya mempengaruhi untuk tujuan baik. Ketiga, tentara mengubah cara mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung. Keempat, tentara bersedia melakukan pembagian peran politik dengan komponen bangsa lain.
Empat paradigma baru ini sebenarnya hanya memperhalus dwifungsi, yang ketika itu sudah menjadi kartu mati bagi Cilangkap. Menurut Agus Widjojo, perlu waktu bagi tentara untuk benar-benar lepas dari peran politik. "Konsep paradigma baru itu rampung hanya dua bulan setelah Pak Harto lengser," kata Agus.
Memang ada perwira berpikiran radikal. Dipimpin Agus Wirahadikusumah, kelompok ini keras menyuarakan perombakan tentara. Ketika menjadi Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana, ia bahkan mengatakan komando teritorial harus dibubarkan. Padahal pembinaan teritorial pun telah menjadi "agama" bagi tentara. Agus mengusulkan penghapusan bertahap, dimulai dengan penghapusan komando teritorial terendah, bintara pembina desa alias babinsa.
Agus Widjojo dan sejumlah perwira progresif juga mengusulkan fungsi pembinaan teritorial diserahkan kepada pemerintah daerah. Fungsi tentara dibatasi pada bidang pertahanan saja. Komando teritorial tidak punya wewenang menjangkau masyarakat. "Ada batas yang tegas antara wilayah tentara dan sipil," katanya. Selama Orde Baru, komando resor militer, komando distrik militer, komando rayon militer, dan bintara pembina desa dilibatkan buat menggalang kekuatan pada pemilu dan pencalonan bupati, camat, atau kepala desa.
Gagasan radikal itu ditentang kelompok konservatif, seperti Jenderal Tyasno Sudarto, Kepala Staf Angkatan Darat 1999-2000, dan Panglima Daerah Militer Jakarta Raya Djaja Suparman. Tyasno mengatakan reformasi sudah jauh melenceng. Menurut dia, reformasi cenderung berkiblat ke Amerika Serikat dan sejumlah negara maju.
Tyasno mengatakan tentara Amerika benar-benar tinggal di barak karena mereka dibentuk negara. "Di Indonesia, tentara yang mendirikan negara," ia menegaskan. Dengan alasan itu, Tyasno menganggap dwifungsi sebenarnya tak perlu dihapus.
Pada akhirnya, tentara harus tunduk pada zaman. Mereka tak kuasa menahan tuntutan perubahan. Dwifungsi tinggal menjadi sejarah, setelah pidato Laksamana Widodo di Aula Gatot Subroto, Cilangkap, itu.
Tim Liputan Khusus 10 TAHUN Reformasi TNI
Penanggung Jawab: Budi Setyarso
Koordinator: Sunudyantoro
Penulis: Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera, Yandi M.R., Dwidjo Utomo Maksum, Oktamandjaya Wiguna, Cheta Nilawaty
Penyumbang Bahan: Mahbub Djunaidy, David Priyasidharta (Jember)
Periset: Evan Koesumah
Editor: Budi Setyarso, Arif Zulkifli, Nugroho Dewanto, Idrus F. Shahab, Amarzan Loebis, M. Taufiqurohman, Hermien Y. Kleden, Wahyu Muryadi
Editor Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh
Fotografer: Mazmur A. Sembiring, Suryo Wibowo, Jacky Rachmansyah
Desain Visual: Gilang Rahadian, Eko Punto P., Hendy Prakasa, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Aji Yuliarto, Agus Darmawan S., Tri Watno Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo