AYATULLAH Ruhollah Khomeini berpantang mundur, apalagi bila
sudah tercium olehnya bau kemenangan, begitu kata Daniel Pipes,
sejarawan pada Universitas Chicago. Sungguh bau kemenangan itu
pekan lalu berubah jadi berita kemenangan. Tapi dunia tidak
terkejut. Bukan karena Pipes.
Jauh-jauh hari para pemuka Iran rajin sekali
menggembar-gemborkan rencana penyerangan ke Irak. Kali ini
terlaksana. Dengan tujuan Basra, ada 8 divisi yang dikerahkan
dari perbatasan Uni Soviet.
Irak sebaliknya tidak berdiam diri. Tapi rupanya Operasi
Ramadhan -- nama sandi untuk penyerbuan ke Irak itu --
sedemikian sakti hingga pasukan Iran dengan mudah menerobos
daerah ranjau, barikade kawat berduri dan parit-parit
perlindungan.
Dalam tempo kurang dari 1 jam, 13 Juli malam, pasukan Iran
mematahkan perlawanan tentara Irak yang dikabarkan terserang
"lesu darah". Sekitar 500
tentara loyo itu tertawan, sedang pasukan Iran yang diduga
menyerbu dari 3 jurusan, berhasil menyusup sejauh 25 km hanya
dalam tempo 2 x 24 jam.
Dari Teheran diberitakan, pasukan terdepan sudah berada 7 km
dari Basra. Ini adalah kota minyak terpenting di Irak sekaligus
pelabuhan ekspor satu-satunya, sesudah Suriah menyumbat
pipa-pipa minyak Irak yang bermuara ke Laut Tengah. Andaikata
Basra jatuh, cepat atau lambat ekonomi Irak akan lumpuh. Apalagi
jika sampai hubungan lalulintas Irak dengan negara-negara Arab,
pemberi bantuan yang setia itu terputus. Kalau begitu, posisi
Irak benar-benar gawat.
Menurut Radio Baghdad, tentara Irak berhasil menahan kemajuan
musuh, di sektor selatan. Sebagai balasan atas serangan artileri
Iran yang dilancarkan ke Basra, Irak menembaki sasaran ekonomi
di 3 kota: Kermanshah, Ilam dan Khorramabad.
Menurut seorang jubir Iran, 4 pesawat Irak ditembak jatuh
berikut 2 divisi disapu bersih. Kemampuan tentara Iran
belakangan ini memang mengagumkan banyak orang, tidak terkecuali
para ahli militer AS.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Khomeini menghimbau pasukan
Irak agar membangkitkan pemberontakan terhadap Presiden Saddam
Hussein. "Sekarang saudaramu bangsa Iran sudah datang untuk
menyelamatkan kamu dari rezim kafir itu . . . maka wajib atasmu
untuk keluar rumah dan membantu saudaramu bangsa Iran."
Khomeini sejak lama menganut politik anti-Saddam. Dan walaupun
tentara Irak sudah mundur dari wilayah Iran, Radio Teheran tiap
kali mengingatkan bahwa perang 22 bulan itu tidak akan berakhir
bila Saddam masih berkuasa di Baghdad. Baru saja lahir satu
resolusi Dewan Keamanan PBB supaya Iran-Irak berhenti perang,
tapi Teheran tampaknya tak peduli. Maka sebagian pengamat
meramalkan bahwa andaikata Basra jatuh, pasukan Iran akan
langsung bergerak ke ibukota Irak untuk menghajar Saddam,
pemimpin, Partai Baath, seorang Islam Sunni yang menurut
Khomeini telah menindas orang-orang Irak yang Syiah.
Tapi kali ini tentara Irak berada dalam posisi mempertahankan
tanah air. Senjata rudal Frog-7 dan Scud-B milik Irak
sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan untuk menghantam tentara Iran.
Negara-negara Teluk dilanda kecemasan, terutama Kuwait yang
perbatasannya hanya 30 km dari Basra. Arab Saudi mencela Teheran
karena meniup-niupkan api peperangan, di saat Baghdad
memperlihatkan usaha ke arah perdamaian.
Memang, sejak Juni, Presiden Saddam Hussein berusaha membujuk
Khomeini ke meja perundingan. Ia bukan saja menarik mundur
pasukan Irak dari wilayah Iran, tapi juga tidak keberatan bila
sebuah mahkamah internasional menyelidiki sebab-sebab perang,
seperti yang dituntut Khomeini. Irak tak lupa menawarkan dana
perbaikan untuk kerugian akibat perang yang diderita Iran.
Sebaliknya Menteri Perminyakan Iran Mohammad Gharazzi berkata
belum lama ini di Wina bahwa bila pemerintah Partai Baath
(maksudnya Saddam) jatuh, maka Iran sama sekali tidak akan
menuntut pembayaran dana reparasi.
NAMPAKNYA habis peluang bagi Presiden Irak untuk menyelesaikan
perang ciptaannya sendiri secara baik-baik. September 1980,
pasukannya menerobos perbatasan Iran, menguasai wilayah seluas
6000 km2. Tapi 22 bulan kemudian, sekarang ini, justru kursi
kepresidenannya yang terancam.
Ia masih harus memperhitungkan orang-orang Irak beraliran Syiah
yang melarikan diri ke utara, lalu mendirikan Balatentara
Penyelamat menurut model pengawal revolusi Iran. Militansi
mereka begitu mencemaskan hingga Arab Saudi mengancam akan
menghentikan subsidi US$ 1,5 milyar pada Suriah yang -- bersama
Libya --tampil sebagai sekutu Iran. Dan Presiden Mesir Mubarak
yang tidak begitu akrab dengan Saddam Hussein kini terpaksa ikut
bersedih. Akibat penyerbuan Iran bisa merepotkan dalam negeri
Mesir sendiri. Sekarang di Mesir banyak kaum fundamentalis Islam
sedang diadili, sementara para pengikut mereka bisa dengan mudah
dijalari demam kemenangan Khomeini.
Yang pasti persiapan Irak sebagai penyelenggara pertemuan
negara-negara Non-Blok akan banyak terganggu. Pertemuan yang
direncanakan September mendatang sebenarnya diharapkan bisa
menyanjung tinggi Saddam Hussein, satu hal yang diharamkan
Khomeini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini