DI Jalan Tvreskaya, di pusat Kota Moskow, musik pengantar kubur karya Chopin mengalun pelan. Ini bukan prosesi penguburan biasa. Ini adalah sebuah protes yang pahit. Di mobil jenazah, bukan cuma ada bunga-bunga dukacita, tetapi juga tulisan "roti, susu, daging, dan ikan". Kata penyiar TV Moskow yang menayangkan prosesi ini, "Dengan kesedihan teramat dalam, warga Moskow dan tamu di ibu kota mengucapkan selamat tinggal kepada makanan." Memang sudah diramalkan, politik ekonomi Gorbachev tak akan langsung memperbaiki ekonomi Soviet. Namun, yang terjadi di ibu kota negeri itu di hari-hari memasuki musim dingin kini sungguh di luar dugaan. Ketegangan berebut beli makanan di toko-toko yang hampir melompong adalah pemandangan sehari-hari. Tengoklah Toko Makanan No. 4 di Jalan Bolshaya Dorogomilovskaya, Moskow, pekan lalu. Sekitar 50 orang, yang antre membisu berjam-jam hanya untuk sebungkus besar spageti di muka toko dengan rak kosong itu, mulai saling sikut, teriak, dan saling dorong begitu penjual muncul. Mereka tahu, siapa yang di belakang tak akan kebagian: stok yang ada hari itu tak mencukupi untuk 50 orang. Akhirnya si penjual ikut berteriak, mengancam, "Bahan makan ini akan saya sebar ke jalan jika kalian tak berhenti." Gawatkah Moskow? "Setidaknya, di zaman Stalin, Anda bisa memperoleh daging dan sayuran tanpa berebut," tambahnya. "Tapi Anda baru bisa mendapatkannya bila tak ditembak lebih dulu," celetuk seorang mahasiswa, yang sama-sama antre. Seorang wanita menimpakan kesalahan pada Raisa Maximovna, istri Presiden Mikhail Gorbachev. "Ia terbang keliling dunia, menyantap makanan di tempat-tempat terbaik, sementara kami tak punya apa-apa," gerutunya. Bisa jadi, karena mendengar gerutuan rakyat semacam itulah, Gorbachev, pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, membatalkan hadir dalam penerimaan hadiah Nobel pekan depan di Norwegia. Orang nomor satu Kremlin ini pun menyalahkan dirinya atas kelangkaan pangan dan krisis etnik yang diderita Soviet. "Kami bersalah pada kaum pekerja. Kami semua, khususnya saya sebagai pribadi," ujar Gorby, di muka Konperensi Partai Komunis Kota Moskow, pekan lalu. Bukan cuma di Moskow, yang biasanya punya persediaan makanan melimpah, terjadinya krisis pangan. Jumat dua pekan lalu, Pravda melaporkan, di Leningrad banyak ambulans dipanggil untuk menolong warga jompo yang tumbang setelah berjam-jam antre di muka toko-toko makanan. Sejak Sabtu pekan lalu, di kota terbesar kedua di Soviet itu, pencatuan makanan diberlakukan. Sebenarnya makanan bukannya sama sekali tak ada. Di pasar bebas di Moskow dan kota-kota lain, menurut para pelancong, makanan berlimpah. Namun, harga yang dipasang sangat tinggi dan tak terjangkau rakyat berpenghasilan rendah, khususnya para pensiunan. Para pengamat asing mengatakan, panen gandum Uni Soviet terbesar tahun ini mencapai sekitar 240 juta ton. Masalahnya, para petani tak lagi mau menjual gandum pada badan pemerintah. Maka, Jumat pekan lalu, keluar dekrit baru Presiden Gorbachev: para buruh Soviet diberi hak mendistribusikan makanan, dari produsen sampai ke tangan konsumen. Semua untuk menghindari penumpukan dan pembusukan makanan, pencurian, serta penyelewengan. Langkah ini seperti membenarkan kecurigaan bahwa terjadi "sabotase ekonomi". Para pemimpin kubu radikal di Moskow dan Leningrad mencurigai kelompok komunis garis keras menggunakan kelangkaan pangan ini untuk menghasut rakyat melawan kubu radikal. Masalah sebenarnya, menurut sejumlah pengamat, terletak pada buruknya sistem distribusi, pergolakan politik antarrepublik, daerah, serta pemerintah pusat. Kekurangan transportasi menyebabkan makanan membusuk di ladang-ladang pertanian, dan korupsi menyebabkan hasil ladang muncul di pasar gelap. Menurut Vladimir Tikhonov, anggota parlemen Soviet, negaranya kehilangan 60% produk pertanian tahun ini karena kesalahan manajemen. Untunglah, menunggu keputusan KTT Masyarakat Eropa (ME) di Roma pekan depan, sejumlah anggota menyalurkan bantuan secara bilateral. Kamis pekan lalu, kiriman pertama dari Jerman sudah tiba dengan pesawat Aeroflot. Bantuan seberat 37 ton, berisi mentega, mi, dan sup siap masak ini didistribusikan ke rumah-rumah jompo, panti piatu, rumah sakit anak, dan kelompok asal etnik Jerman di Moskow. Rupanya, warga Jerman banyak yang merasa berutang budi kepada Gorbachev karena berkat pemimpin Kremlin itulah Jerman dapat bersatu. "Dompet bantuan" yang dibuka sejumlah media Jerman kebanjiran jutaan mark dan paket-paket makanan. Klub sepak bola tersohor, Bayern Muenchen, menjanjikan 3,2 juta mark untuk warga Soviet dari hasil pertandingan. Dalam KTT Keamanan dan Kerja Sama Eropa (CSCE) di Paris bulan silam, Gorbachev menyerahkan "daftar kebutuhan makanan" Uni Soviet pada kepala-kepala negara Barat. Menurut koran Jerman Bild, "permintaan bantuan" itu mencakup 500.000 ton daging, 500.000 ton minyak goreng, 100.000 ton mi, dan 50.000 ton susu bubuk. Yang tampaknya mesti diperhitungkan oleh para ekonom dunia kini, bantuan itu punya dampak samping: merugikan pihak negara-negara Eropa Timur yang selama ini mengekspor makanan ke Soviet. "Bantuan Barat ke Soviet bakal merusak ekspor pertanian Hungaria," ujar Deputi Menteri Pertanian Hungaria, Laszlo Saross, pada Reuters. Repotnya lagi, bantuan itu tentulah sekadar pertolongan pertama. Mustahil membantu 10 juta orang Moskow, dan 5 juta orang Leningrad, terus-menerus. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini