TAK ada gelak tawa di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Opera Kecoa, lakon penuh ger yang akan digelar Teater Koma malam itu, batal. Gantinya, isak tangis dan derai air mata datang dari awak teater pimpinan N. Riantiarno itu. Penonton yang sebagian sudah duduk di kursi hanya menerima selembar pengumuman, sekitar pukul 20.20 WIB. Isinya, pemberitahuan bahwa Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) tidak mendapat izin untuk pergelaran yang direncanakan sampai 7 Desember itu. Pengumuman ini ditandatangani Farida Feisol, Kepala Badan Pengelola GKJ. Ini pukulan kedua buat Teater Koma dalam dua bulan terakhir. Awal Oktober lalu pementasan Suksesi dihentikan polisi pada hari kesebelas atau tiga hari sebelum jadwal. Tak mengherankan bila Riantiarno -- biasa dipanggil Nano --sangat terpukul. "Saya akan menghentikan kegiatan pentas hingga batas waktu yang kelak dianggap tepat untuk pentas kembali," ujar Nano. Apa ukuran batas waktu itu? "Ada kejelasan kriteria, mana yang boleh, mana yang tidak, dan siapa yang jadi polisi sensornya," kata Nano. Tiga kali Teater Koma mengalami sandungan sejak dilarangnya Sampek Engtay di Medan, menurut Nano, tak jelas rincian penyebabnya. Namun, menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Ritonga, alasan itu sudah jelas. "Sifat pertunjukan Opera Kecoa tidak mendidik," ujar Ritonga. "Yang ditonjolkan masalah porno, banci, WTS. Untuk apa itu?" kata Ritonga lagi. Ini diperjelas oleh Kadispen Polda Metro Jaya, Latief Rabar. "Opera Kecoa itu tidak mendidik masyarakat, tidak memberikan informasi yang positif, dan tidak sesuai dengan pembangunan nasional sekarang ini," kata Latief, yang mengaku baru membaca naskahnya selintas. "Di dalam naskah ada soal banci yang dibesar-besarkan. Apa itu mendidik?" ujarnya. Mengapa film-film yang juga cerita soal banci dan sebagainya luput dari perhatian polisi? Bukankah penontonnya justru lebih luas? "Lo, itukan urusan Badan Sensor Film. Polri tidak dapat mencampuri. Sedangkan Opera Kecoa urusan kami karena berhubungan dengan pasal 510 KUHP," ujar Latief Rabar. Pasal 510 menyebutkan perlunya izin kepada polisi untuk mengadakan pesta umum/keramaian umum. Pementasan teater, yang rupanya dianggap keramaian umum ini, harus dilaporkan selambatnya 3 x 24 jam sebelum berlangsungnya acara, untuk mendapatkan izin. Dalam kasus Opera Kecoa ini, pihak GKJ-lah yang seharusnya melapor. Namun, GKJ tidak melakukannya. Alasan GKJ, selama ini cukup hanya memakai izin tahunan. "Kecuali untuk Rhoma Irama, W.S. Rendra, dan Guruh Soekarnoputra harus ada izin khusus," kata Farida. Di luar itu, GKJ jalan terus tanpa melapor tiga hari sebelumnya. "Selama tiga tahun belakangan ini, kami tidak pernah meminta izin khusus itu. Pihak keamanan pun tak pernah menegur kami," kata Farida. Sebelum ini pun Teater Koma sudah berkali-kali pentas di GKJ (antara lain: Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat) tanpa perlu izin khusus dan aman-aman saja. Farida menyebut GKJ dirugikan Rp 30 juta akibat pelarangan Opera Kecoa ini. Belakangan, polisi memakai dalih izin ini. Seperti yang dikatakan Latief Rabar, "Pementasan Opera Kecoa dihentikan karena tidak ada permohonan izin. Masa kita harus membiarkan orang berbuat seperti itu." Penghentian itu pun, kata Latief lagi, diputuskan setelah ada perembukan dengan berbagai pihak. Mulai dari budayawan, seniman, sampai Kodam Jaya. Tak dirinci siapa orangnya. Ada yang menyarankan agar kasus ini dimejahijaukan. Usul itu muncul baik dari kalangan seniman dan budayawan maupun anggota DPR. "Saya tidak menghasut. Tapi saran ini harus dilihat sebagai usaha dalam pendidikan politik," kata Marzuki Darusman, anggota Komisi I DPR, seperti dikutip Kompas. Nano cuma menggeleng. "Saya bukan tipe yang seperti itu meski saya rugi. Saya sendiri kurang sreg kalau harus menuntut," ujarnya. Namun, ia akan tetap membawa Opera Kecoa ke Jepang atas undangan Pusat Kebudayaan Jepang. Pergelaran akan berlangsung di Tokyo, Osaka dan Fukuoka, 22 Februari - 7 Maret 1991. Itulah satu-satunya kegiatan di masa Teater Koma "pamit". Andai kata Teater Koma memperkarakan ke pengadilan, polisi sudah punya kartu truf. "Dia itu ngerti hukum nggak, sih? Lha wong permohonan izinnya saja dia tidak pernah mengurus, kok mau menuntut lewat pengadilan," kata Latief Rabar. Bagaimanapun pelarangan Opera Kecoa ini meresahkan banyak seniman -- apalagi sebelumnya ada kasus dilarangnya dua sajak Rendra. Reaksi seniman misalnya adanya pertemuan spontan di TIM, Kamis pekan lalu. Hadir sekitar 50 seniman, antara lain, Rendra, Arifin C. Noer, Sardono W. Kusumo, dan Ami Priyono. Kabarnya, para seniman ini akan berkunjung ke gedung DPR dalam pekan ini. Omong-omong, mengapa pementasan Opera Kecoa tahun 1985 tidak dilarang? "Saya nggak tahu soal itu. Waktu Opera Kecoa dipentaskan tahun 1985, saya belum jadi kapolda," kata Ritonga. Bunga S., Leila S. Chudori, dan Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini