Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas perintah negara, semuanya ikut!" Seruan itu mengguntur dari enam pria tak dikenal yang tiba-tiba masuk ke sebuah rumah di Jalan Bangka III No. 40, Jakarta Selatan. Mengaku aparat negara, mereka menyergap Setiadjie Munawar, 45 tahun, dan tiga orang lain yang berada di sana.
Setiadjie sempat tertegun. "Saya pikir itu guyonan April Mop," ujarnya. Hari itu kalender memang tepat menunjuk 1 April, tanggal yang biasa dipakai untuk membuat kejutan dengan maksud humor di antara sesama kawan. Tapi Setiadjie kecele. Penyergapan itu merupakan awal petaka yang menimpa dirinya selama sepekan.
Dari rumah itu, Setiadjie digelandang ke kantornya sendiri di Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan. Setiba di sana, Direktur Pengembangan Bisnis PT Marketlinkindo Persada itu dimasukkan ke ruang rapat di lantai dasar. Sejumlah orang sudah menanti di sana, antara lain Triyono Arsjad, seorang pengacara yang sudah dikenalnya. Saat itu kantor sepi karena libur akhir pekan.
Kendati takut, Setiadjie sempat menanyakan alasan penangkapan dirinya. "Tolong tunjukkan kesalahan saya," katanya. Rupanya, kata Setiadjie, Triyono sakit hati. Beberapa waktu sebelumnya Meifiyanti Suprapto, kakak Setiadjie, mencabut surat kuasa yang telah diberikan kepada Triyono. Surat kuasa itu diberikan dalam kasus industrial antara Meifiyanti dan Unocal Indonesia Companyperusahaan minyak asal Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Meifiyanti menganggap di tangan Triyono kasus itu tak ada kemajuan. Arsjad & Associates, kantor pengacara milik Triyono, sontak melayangkan surat tanggapan. Isinya menjelaskan bahwa tak adanya laporan kemajuan merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Di luar itu, mereka meminta pembayaran jasa pengacara sesuai dengan kesepakatan dengan Meifiyanti sebesar Rp 150 juta. Lalu, ada tuntutan membayar biaya operasional US$ 10 ribu dan ganti rugi US$ 1 juta.
Sebagai penyandang dana kasus Meifiyanti, Setiadjie dianggap ikut berperan dalam proses pencabutan surat kuasa. Maka, ia menjadi sasaran pelampiasan sakit hati kelompok tersebut. Tak cuma diculik dan diinterogasi, Setiadjie juga mengalami penganiayaan. Seorang penculik menusukkan bor ke lengan kanannya. Saat ia berusaha menepis, giliran kunci ganda setir mobil menghantam tubuhnya. Setiadjie, yang terjatuh, kemudian ditarik dan dipukul dengan besi pahat.
Dua hari kemudian para penculik memindahkan Setiadjie ke sebuah rumah di kawasan Rawa Jati, Kalibata, Jakarta Selatan. Lu-sanya, ia diangkut lagi ke sebuah rumah bedeng di daerah Cijantung, Jakarta Timur. Para penculik juga sempat membawanya ke kawasan Depot Pertamina di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menggertak akan menghabisi nyawanya. "Terasa besi menempel di leher. Saya disuruh berdoa. Saya pasrah," ujar Setiadjie.
Puas menyiksa, para penculik memaksa Setiadjie meneken tiga surat pernyataan. Salah satunya berisi kesanggupan membayar US$ 1 juta dan menyerahkan aset berupa mobil serta barang berharga lainnya senilai Rp 3,5 miliar
Selanjutnya, Setiadjie dibawa ke sebuah penginapan di Johar Baru, Jakarta Pusat. Akhirnya, setelah seminggu mengalami penyekapan, ia dipulangkan oleh para penculik ke rumah kakaknya di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Empat hari setelah bebas, ia melaporkan penculikan itu ke Polda Metro Jaya.
Polisi langsung bergerak. Sehari kemudian mereka menangkap Triyono dan Lisa, istrinya, yang sama-sama berprofesi sebagai pengacara. Berikutnya mereka mencokok Adnan Abas, 46 tahun, bekas anggota Angkatan Laut yang terlibat dalam penculikan. "Kami masih mengejar para pelaku lainnya," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Matheus Salempang. Komplotan itu diancam dengan pasal-pasal tentang perampasan kemerdekaan, pemerasan, dan kekerasan.
Namun, Nick Putrajaya, kuasa hukum Triyono Arsjad, menampik kliennya melakukan penculikan dan penyekapan. Demikian pula dengan penyiksaan. "Mati, dong, orang kalau sampai dipahat dan dibor," ujarnya. Nick tak mau menjelaskan apa yang membuat Triyono membawa Setiadjie tanpa kehendaknya sendiri. "Itu sudah masuk materi," ujarnya pendek.
Bagi Setiadjie, mimpi buruk selama sepekan memang telah lewat. Tapi bekasnya masih terlihat. Luka kemerahan sebesar kancing masih tampak di lengan kanannya. Kendati begitu, ia telah memaafkan mereka. "Saya tak boleh memvonis orang. Tapi hukum harus tetap jalan," ujarnya.
Lis Yuliawati, Martha Warta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo