Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon genggam Kosasih Wirahadikusumah tiba-tiba berbunyi, Rabu siang dua pekan lalu. Sebuah pesan pendek masuk ke ponsel Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta itu. "Ribuan ikan mati di perairan Ancol," begitu tertulis pada layar telepon tangannya.
Pesan pendek yang datang dari Teluk Jakarta itu sangat mengganggu pikiran Kosasih. Maklum, inilah peristiwa pertama yang terjadi pada tahun ini. Lagi pula, pengirim pesan pendek itu adalah orang yang dipercaya oleh Kosasih, yakni anak buahnya yang sedang melakukan tugas rutin mengambil sampel air laut di lima titik di wilayah perairan Ancol.
Dan menurut cerita anak buahnya, kematian ikan itu berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Para petugas, kata Kosasih, saat itu melakukan pengukuran di beberapa lokasi di Ancol, yakni di Pantai Marina, Karnaval, Mercure, Bende, dan di Pantai Festival itu. Matahari saat itu sudah tinggi. Jarum jam menunjuk pukul 11.00. Keasaman air laut (pH) juga di kisaran normal, yakni 7,86. "Tapi, dua jam kemudian, ribuan ikan ditemukan mengapung mati," kata Kosasih. Anehnya, ikan yang mati itu seragam, yakni ikan bersirip kuning.
Ada apa gerangan? Apakah ini akibat datangnya ledakan populasi ganggang merah seperti yang terjadi tahun lalu? Mengapa ganggang merah muncul sekarang? Berbagai pertanyaan itu menggedor pikiran Kosasih. Tahun lalu, peristiwa meningkatnya jumlah ganggang merah atau red tide ini sempat terjadi dua kali, yakni pada Mei dan November. Diduga, efek serbuan ganggang merah tersebut membuat ribuan ikan mati mengambang di Teluk Jakarta.
Segera Kosasih memerintahkan tim dari lembaganya, ditambah dengan tim dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan, terjun melakukan penelitian di Teluk Jakarta. Mereka memantau tujuh tempat sekaligus.
Hasilnya sedikit melegakan. Kondisi air Teluk Jakarta masih normal. Warna air laut pun juga seperti hari-hari biasa. Satu-satunya indikator yang agak membikin waswas Kosasih adalah temuan bahwa di beberapa titik populasi fitoplankton agak meningkat.
Fitoplankton adalah tumbuhan bersel satu yang tak kasatmata yang terdiri dari berbagai jenis. Antara lain adalah ganggang merah, ganggang biru, ganggang hijau. Fitoplankton ini umumnya menjadi sumber makanan ikan. Namun, bila populasinya meledak luar biasa, tumbuhan ini bisa membuat ikan megap-megap kehabisan oksigen.
"Air laut memang normal. Tapi, untuk kecerahan, ini memang rendah. Hal ini menunjukkan banyaknya partikel termasuk fitoplankton yang cukup tinggi," kata Tumpak Sidabutar, Ketua Tim Pusat Penelitian Oseanografi Dinamika Laut LIPI. Kendati ditemukan jumlah fitoplankton cukup tinggi, hal itu belum dipastikan sebagai penyebab kematian ikan. Menurut Tumpak, banyak faktor yang menyebabkan kematian ikan tersebut.
Pendapat Tumpak itu didukung oleh Supardiyo, Kepala BPLHD Jakarta Utara. Menurut dia, kematian ribuan ikan kali ini bukanlah gara-gara "pasang merah"sebutan untuk terjadinya ledakan populasi ganggang merah. Ia beralasan, air tidak menunjukkan perubahan warna menjadi keruh kecokelatan. Selain itu, tingkat keasaman masih dalam batas normal. "Seharusnya, dengan derajat keasaman 7,86, ikan-ikan di perairan masih bisa bertahan hidup," tuturnya.
Diduga, penyebab kematian ikan sepanjang rata-rata 10 sentimeter ini adalah perubahan kondisi fisis sedimentasi dari dasar dan kualitas dasar air. Di samping itu, juga karena perubahan suhu yang dinilai cukup sensitif bagi biota laut. "Mungkin faktor suhu, kepanasan atau memang kedinginan. Bukan karena limbah atau pasang merah," ia menambahkan.
Sri Turni Hartati dari Balai Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan mengatakan hal yang sama. Hasil penelitian sementara menunjukkan kadar oksigen melampaui angka empat miligram per liter. Dengan batas nilai di atas empat miligram per liter, ikan laut dapat bertahan dengan baik. "Belum pasti juga penyebab kematian ikan karena kualitas lingkungan," katanya. "Mungkin itu ikan buangan."
Indikasi mengenai hal itu juga diakui Kosasih. Sering kali penangkap ikan hanya menginginkan ikan berkualitas tinggi sehingga membuang begitu saja ikan yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Itulah sebabnya nelayan di Teluk Jakarta tidak mengambil ikan-ikan yang terdampar.
Kosasih punya argumen kuat mengapa kematian ribuan ikan ini tidak terkait dengan fitoplankton. Pertama, tidak ada ikan yang megap-megap atau mabukgejala khas yang biasanya muncul bila ada "pasang merah". Ikan itu, kata Kosasih, sudah mati di tengah laut sebelum terbawa arus ke pantai. Selain itu, ikan yang mati merupakan jenis ikan yang berada di laut lepas yang jauh dari pantai. "Jangankan di pinggir pantai, di Kepulauan Seribu saja sudah susah ketemunya," kata Kosasih.
Berdasarkan penelitian Hartati dari Balai Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan yang ditemukan mati itu terdiri atas empat jenis, yakni Triacanthus nieuhofi, Siganus javus, Polydactylus sp, dan Leioghnatus fasciatus. Keempat jenis ikan tersebut kini masih diteliti di Balai Riset Perikanan Laut.
Fenomena red tide, kata Kosasih, sebenarnya bisa dilihat dari situasi yang mendahuluinya. Pasang merah biasanya terjadi pada masa pancaroba seperti perpindahan dari musim hujan ke musim panas pada April-Mei, atau Agustus-September saat memasuki musim hujan. Biasanya didahului hujan tujuh hari berturut-turut yang membawa massa air dalam jumlah besar, kemudian diikuti panas tujuh hari berturut-turut. Saat panas terik, terjadilah fotosintesis sempurna. "Terjadi penurunan kadar oksigen yang drastis, yang akhirnya membuat banyak ikan mati," kata Kosasih.
Blooming fitoplankton seperti itu umumnya hanya terjadi bila jumlah fitoplankton mencapai sepuluh juta di tiap liter air laut. Ketika terjadi tragedi "pasang merah" pada Mei tahun lalu, misalnya, saat itu tercatat 24,5 juta individu fitoplankton per liter air laut. "Analoginya, jumlahnya ini sama seperti 24 orang berada di ruangan 1 x 1 x 1 meter. Pasti akan banyak yang mati karena kehabisan oksigen," katanya.
Meski demikian, Kosasih menilai terulangnya peristiwa "pasang merah" wajib diwaspadai. Soalnya, wajah Teluk Jakarta sudah amburadul lantaran pencemaran yang sudah berlangsung lama. Pencemaran ini menurunkan kualitas air perairan.
Berdasarkan penelitian, bertambahnya racun detergen atau racun organik dari limbah rumah tangga bisa memicu pertumbuhan luar biasa ganggang merah. Kosasih mengatakan 80 persen pencemaran ini berasal dari buangan sekitar 20 juta penduduk yang menghuni Jakarta dan daerah sekitarnya seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Jumlah ini ditambah lagi limbah 2.000 lebih industri yang berlomba-lomba menimbuni Teluk Jakarta.
Setiap rumah tangga membuang 80 persen limbah dalam bentuk gray water berupa air bekas mencuci, air mandi dan dapur, langsung ke sungai. Gray water ini mengandung detergen dengan kandungan fosfat tinggi. "Fosfat inilah unsur hara yang memicu blooming fitoplankton," kata Kosasih. "Jadi, selama pengelolaan limbah rumah tangga tidak baik, pasang merah akan selalu menghantui kita."
Raju Febrian, Dian Yuliastutia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo