Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlu waktu sekitar sembilan bulan bagi Jaksa Agung Distrik Columbia, Washington, Amerika Serikat, untuk membawa perusahaan raksasa Facebook ke pengadilan karena dugaan pelanggaran atas pemanfaatan data pribadi penggunanya. ”Kantor kami memulai penyelidikan praktik privasi Facebook tak lama setelah insiden Cambridge Analy-tica terungkap, awal tahun ini,” ujar Jaksa Agung Distrik Columbia Karl A. Racine dalam konferensi pers soal gugatan itu, Rabu dua pekan lalu.
Gugatan ini, kata Racine, dilayangkan karena Facebook mengizinkan perusahaan konsultan politik Cambridge Analy-tica mengambil data pribadi sekitar 87 juta penggunanya untuk kebutuhan penyusunan kampanye politik pemilihan Presiden Amerika 2016. Kampanye yang mengantarkan kemenangan Donald Trump ini didasarkan pada profil psikologis dan kepribadian pengguna media sosial yang ditambang dari data Facebook tersebut.
Langkah Racine ini merupakan upaya hukum pertama pemerintah Amerika terhadap perusahaan teknologi yang berkantor pusat di California itu. Penyelidikan mulai dilakukan setelah mantan direktur penelitian di Cambridge Analytica, Christopher Wylie, membuka praktik rahasia perusahaannya itu pada Maret lalu ke media Inggris, Guardian. Pengungkapan itu membuat perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut menjadi sorotan kuat internasional soal perlindungan data pribadi.
Dalam wawancara dengan Washington Post, Wylie menyadari bukan perkara mudah menyeret perusahaan media sosial yang memiliki pengguna lebih dari 2 miliar itu ke ranah hukum. Namun pria kelahiran Kanada, 19 Juni 1989, tersebut yakin saat itu akan tiba. ”Ini hanya soal waktu,” ujar -Wylie, soal dakwaan penegak hukum Amerika dalam memproses kasus Cambridge-Facebook.
Meski baru diketahui publik sembilan bulan lalu, kasus ini bermula pada 2013. Saat itu, Facebook mengizinkan Aleksandr Kogan, peneliti yang berafiliasi dengan University of Cambridge, Inggris, dan perusahaannya, Global Science Research (GSR), meluncurkan aplikasi di platform Facebook bernama ”thisisyourdigitallife”. Aplikasi menawarkan untuk membuat profil kepribadian sebagai imbalan bagi pengguna yang mengunduh aplikasi dan memberikannya akses ke data Facebook mereka.
Tanpa diketahui oleh mereka, ternyata aplikasi ini juga mengumpulkan data dari teman-teman pengguna aplikasi Facebook meski tidak ada persetujuan. Menurut Karl Racine, sebenarnya hanya 852 pengguna Facebook di Distrik Columbia yang memasang aplikasi Kogan. Tapi Kogan berhasil mengumpulkan informasi pribadi dari teman-teman Facebook pengguna tersebut. Belakangan, diketahui ternyata GSR menjual informasi sekitar 340 ribu data pribadi pengguna yang berada di Distrik Columbia ke Cambridge Analytica.
Facebook mengetahui informasi pribadi jutaan penggunanya dicuri dan dijual pada 2015. Facebook, dalam rilis 16 Maret 2018, membantah ada penerobosan keamanan data pribadi. Namun Facebook menangguhkan aksesnya ke data pribadi penggunanya. Rilis itu juga menegaskan bahwa Kogan berbohong dan melanggar kebijakan platform dengan mengirimkan data dari aplikasi yang menggunakan login Face-book ke Strategic Communication Laboratories/Cambridge Analytica.
Menurut Racine, Facebook menunggu lebih dari dua tahun untuk memberi tahu pengguna dan pihak berwenang soal ini. Perusahaan itu juga dinilai gagal melindungi privasi penggunanya dan mengelabui mereka tentang siapa yang memiliki akses ke data mereka serta bagaimana data tersebut digunakan. ”Facebook gagal mengikuti kebijakan perusahaannya sendiri dalam memantau cara aplikasi pihak ketiga menggunakan data yang dikumpulkan dari konsumen, yang mengarah ke penjualan data ke Cambridge Analytica,” tutur Racine.
Dalam gugatan ini, Racine mendakwa Facebook dengan Undang-Undang Prosedur Perlindungan Konsumen, yang memuat pelanggaran atas penyalahgunaan data pribadi. Dendanya adalah US$ 5.000 untuk tiap pelanggaran. Karena ada sekitar 340 ribu data pengguna yang dijual, menurut taksiran CNBC.com, Facebook bisa terancam membayar denda hingga US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 24,77 triliun jika kasus ini terbukti dianggap sebagai ”pelanggaran”. Gugatan ini, kata dia, untuk melindungi konsumen. ”Kami berharap gugatan ini akan memastikan Facebook lebih berhati-hati dengan data konsumen dan ini juga sebagai peringatan bagi jejaring sosial lain.”
Facebook masih mengkaji langkah hukum otoritas di Washington, DC, itu. ”Kami sedang mengkaji gugatan ini dan berharap melanjutkan diskusi dengan jaksa agung di DC dan tempat lain,” ujar Will Castleberry, Wakil Presiden Facebook urusan Kebijakan Publik Daerah dan Negara Bagian.
Kasus Cambridge mungkin bukan kasus hukum terakhir yang harus dihadapi Facebook. Media Amerika, New York Times, Selasa pekan lalu, merilis temuan berdasarkan dokumen dan sejumlah wawancara bahwa Facebook sejak 2010 membuat kese-pakatan berbagi data khusus dengan beberapa perusahaan. Sejumlah dokumen itu mengindikasikan bahwa data pribadi dinilai sebagai komoditas paling berharga di era digital dan diperdagangkan dalam skala besar oleh beberapa perusahaan teknologi di Silicon Valley dan sekitarnya.
Menurut temuan itu, Facebook antara lain mengizinkan mesin pencari Microsoft, Bing, untuk melihat nama-nama dari hampir semua teman pengguna Facebook tanpa persetujuan. Facebook juga memberi perusahaan penyedia hiburan dan film, Netflix, serta aplikasi musik Spotify kemampuan untuk membaca pesan pribadi milik pengguna media sosial ini.
”Melindungi informasi orang membutuhkan tim yang lebih kuat, teknologi yang lebih baik, dan kebijakan yang lebih jelas. Di situlah fokus kami pada sebagian besar tahun 2018.”
Perusahaan jual-beli online Amazon, tulis New York Times, juga mendapatkan izin untuk memperoleh nama pengguna dan informasi kontak melalui teman-teman mereka. Kesepakatan ini pun memungkinkan mesin pencari Yahoo melihat aliran posting teman pengguna Facebook.
Secara keseluruhan, kesepakatan ini melibatkan 150 perusahaan. Kebanyakan bergerak di bisnis teknologi, termasuk pengecer online dan situs hiburan; pembuat mobil; serta organisasi media. Pertukaran data itu untuk mendorong pertumbuhan eksplosif dari perusahaan mitra. Bagi Facebook, mereka akan mendapat lebih banyak pengguna dan meningkatkan pendapatan iklan.
Dalam sebuah wawancara, Steve Satterfield, Direktur Privasi dan Kebijakan Publik Facebook, mengatakan tidak ada praktik kemitraan itu yang melanggar ketentuan privasi pengguna atau tak sesuai dengan ketentuan Komisi Perdagangan Federal. Menurut dia, ada kontrak yang mengharuskan perusahaan mematuhi kebijakan Facebook.
Namun eksekutif Facebook mengakui adanya kesalahan langkah dalam setahun terakhir. ”Kami tahu ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali kepercayaan orang,” kata Satterfield. ”Melindungi informasi orang membutuhkan tim yang lebih kuat, teknologi yang lebih baik, dan kebijakan yang lebih jelas. Di situlah fokus kami pada sebagian besar tahun 2018.”
Meski baru Distrik Columbia yang sudah resmi menggugat, ada peluang langkah yang sama akan dilakukan negara bagian lain. Karl A. Racine mengatakan kantornya telah berdiskusi dengan sejumlah negara bagian lain yang sama-sama tertarik melindungi data dan informasi pribadi konsumen mereka.
Salah satu negara bagian yang juga menyelidiki Facebook adalah New York. Juru bicara Jaksa Agung New York, Amy Spitalnick, mengatakan investigasi terhadap Face-book soal dugaan penyalahgunaan data pribadi pengguna sedang berlangsung. Menurut dia, pengungkapan terbaru New York Times tersebut mencerminkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab. ”Warga New York seharusnya mendapatkan jawaban yang jelas.”
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST, CNBC.COM, GUARDIAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo