Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDERHANA.
Sebetulnya itu adalah karakter karya-karya Arswendo Atmowiloto di masa kejayaan majalah Hai pada 1970-an dan 1980-an yang menjadi ”teman” generasi saya: serial Kiki dan Komplotannya, Imung, serta Keluarga Cemara, yang menjadi serial populer di televisi (1996-2004).
Ratusan episode yang berkisah tentang keluarga Abah yang semula kaya raya tapi kemudian jatuh miskin karena ditipu karyawannya itu menjadi tontonan luar biasa populer—selain Si Doel Anak Sekolahan—hingga kini dan menjadi semacam ikon drama televisi keluarga Indonesia. Novel Ars-wendo itu sengaja memulai cerita ketika Abah (dulu diperankan Adi Kurdi), Emak (semula diperankan Lia Waroka, lalu Novia Kolopaking, dan terakhir oleh Anneke Putri), serta kedua putri mereka, Euis dan Ara, terpaksa pindah ke gubuk di desa dan hidup dari bekerja serabutan. Kisah si kaya menjadi miskin ini memang agak mengingatkan kita pada serial televisi Little -House on the Prairie, yang juga berkisah tentang keluarga sederhana di Amerika Serikat yang merupakan semibiografi penulisnya, Laura Ingalls Wilder, tentang bagaimana ketiga anak keluarga Wilder tumbuh pada abad ke-19 dan menghadapi berbagai tantangan.
jaff-filmfest.org
Keluarga Cemara dalam versi televisi pun—yang disutradarai Dedi Setiadi—berurusan dengan persoalan kecil meski diawali dengan sebuah drama besar, yakni Abah yang tertipu dan keluarga terseret pada kemiskinan serta duka lara. Persoalan kecil itulah yang tampaknya terasa mewakili banyak pembaca (dan penonton), misalnya tentang si kecil Ara atau Cemara yang perlahan memasuki masa remaja mempertanyakan perkembangan tubuhnya kepada si Emak, berantem-berantem kecil dengan sang kakak, dan seterusnya. Keistimewaan serial ini, selain kesederhanaan cerita, adalah karena semua tokoh tampil meyakinkan. Dari Abah yang sabar, Emak yang merentangkan sayapnya melindungi anak perempuannya, dan bagaimana mereka bersikap atas kehidupan yang mendadak miskin. Bahwa mereka selalu mengakhiri tiap episode dengan sikap tabah dan penuh keriaan adalah sebuah tontonan yang sudah sangat langka di abad ini.
Abah versi film kini diperankan Ringgo Agus Rahman dan Emak diperankan Nirina Zubir dengan para putrinya, Euis yang menanjak remaja (Adhisty Zara) dan Ara si kecil yang ”ogah” menjadi pohon cemara (Widuri Sasono).
Seperti pada awal serial televisi Keluarga Cemara, keluarga Abah ditipu—kali ini oleh iparnya sendiri—yang menyebabkan 10 menit pertama sebagai drama terbesar dari seluruh film. Selanjutnya adalah bagaimana Abah yang penuh rasa bersalah serta Emak yang tentu saja lebih gagah mengatasi persoalan finansial dengan membuat opak dan meminta si sulung menjualnya di sekolah. Ketegangan makin tinggi karena Euis yang sudah remaja ingin bertemu dengan kawan-kawan Jakarta—geng dance club—sementara Abah melarangnya karena Bogor terlalu jauh.
Seperti pada awal serial televisi Keluarga Cemara, keluarga Abah ditipu—kali ini oleh iparnya sendiri—yang menyebabkan 10 menit pertama sebagai drama terbesar dari seluruh film. Selanjutnya adalah bagaimana Abah yang penuh rasa bersalah serta Emak yang tentu saja lebih gagah mengatasi persoalan finansial dengan membuat opak dan meminta si sulung menjualnya di sekolah.
Sutradara Yandy Laurens mencoba membawa serial ini ke masa kini: smartphone, dance club, Internet, dan perubahan kehidupan sosial akibat teknologi. Tapi inti cerita tetap sama. Pusat kisah tetap pada si kecil Cemara, yang dalam film ini masih berusia 7 tahun dan polos. Dia anak yang cerdik, cergas, dan penuh kebaikan (ingatkah, wahai penonton ”sepuh”, bagaimana dalam salah satu episode televisi Cemara bersedia membotakkan kepalanya untuk menjual rambutnya demi menolong mereka yang kesusahan?).
Sulit untuk tak menyukai karakter Cemara, yang dimainkan dengan bagus oleh Widuri Sasono, dan sulit untuk tak bersimpati kepada Abah, apalagi Emak yang dalam keadaan marah tak pernah menjerit sedikit pun.
Keluarga ini kebalikan dari keluarga dalam film Kembang Kertas (Slamet Rahardjo, 1985), kisah keluarga Jakarta yang ayahnya ditangkap karena kasus korupsi dan keluarganya harus pindah ke rumah susun. Sementara keluarga Prabowo—demikian nama tokoh dalam film tersebut—menjadi tidak karuan (si sulung yang diperankan Dewi Yull dan si bungsu yang dimainkan Ria Irawan sama-sama menjadi kacau dan mereka bermain sangat bagus), keluarga Abah adalah contoh ideal sebuah keluarga yang bisa menahan badai sebesar apa pun. Harus diingat bahwa Abah ciptaan Arswendo Atmowiloto adalah korban penipuan; sementara tokoh Pak Prabowo (diperankan Zainal Abidin) dalam cerita Putu Wijaya yang diangkat menjadi film oleh Slamet Rahardjo adalah sang koruptor yang menjadi sumber bencana.
Bahwa kemudian kita mendengar lagu Harta yang Berharga, soundtrack serial TV Keluarga Cemara yang kini dinyanyikan dengan bagus oleh Bunga Citra Lestari, maka genaplah sudah. Tahun 2019 dimulai dengan sebuah kalimat manis dari film ini: ”Puisi yang paling bermakna adalah keluarga….”
Memang kita sering lupa bahwa kesederhanaan (tema film) justru membawa karya ini menjadi bersinar.
Leila S. Chudori
Sutradara: Yandy Laurens
Skenario: Yandy Laurens dan Ginatri S. Noer Berdasarkan novel karya Arswendo Atmowiloto
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Adhisty Zara, Widuri Sasono, Gading Marten
Produksi: Visinema Pictures, Ideosource Entertainment, dan Kaskus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo